22 May 2017

Atribut Kunci Rezim Resolusi

Berkaca pada krisis 2008, kelompok negara G20 menyepakati untuk membuat pengaturan guna mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalan bank, utamanya bank sistemik. Dalam hal kegagalan bank tidak terhindarkan, pelaksanaan resolusi diupayakan agar: (1) meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan; (2) menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritikal (critical functions); dan (3) menghindari penggunaan anggaran negara.

Untuk memberi arahan dan pedoman dalam pengembangan rezim resolusi yang efektif, Financial Stability Board (FSB) menyusun Key Attributes (KA) of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions. Dalam KA tersebut dijabarkan mengenai atribut, perangkat, dan kewenangan yang diperlukan untuk menunjang agar rezim resolusi dapat berfungsi efektif, beberapa diantaranya yakni: Recovery & Resolution Plan, Temporary Stays, Statutory Bail-in, Cross Border Recognition, dan Safeguards.

Recovery & Resolution Plan
Untuk mengurangi kemungkinan kegagalannya, bank diharuskan memiliki modal kuat dan bantalan (buffer) tebal untuk menyerap kerugian dan rekapitalisasi. Sedangkan agar pelaksanaan penyehatan/pemulihan dan resolusinya dapat berjalan terencana dan efektif, bank diwajibkan mempersiapkan Recovery and Resolution Plan (RRP).

Recovery Plan (rencana pemulihan) berisi identifikasi opsi dan rencana tindakan yang akan dilakukan bank untuk memulihkan operasinya menjadi normal dan sehat kembali dengan berbagai skenario permasalahan. Recovery Plan memuat detail prosedur eskalasi, tata kelola, personel, dan dukungan sistem informasi untuk memastikan penerapan setiap opsi dapat dilakukan secara tepat waktu dalam kondisi adanya tekanan. Recovery Plan disusun oleh bank, direview atau disetujui oleh pengawas bank, serta dijalankan oleh bank ketika pemicu (trigger) yang ditetapkan terlewati.

Sedangkan Resolution Plan merupakan perencanaan untuk menghadapi kondisi bank yang tidak dapat lagi dipulihkan atau telah mencapai titik tidak dapat disehatkan (Point of Non-Viability/PoNV). Pemicu resolusi menurut definisi FSB yakni: “when a bank is no longer viable or likely to be no longer viable and other measures have proved insufficient to prevent failure”. Detail kriteria yang menjadi pemicu resolusi perlu disusun dan didiskusikan antara pengawas bank dan otoritas resolusi dalam hal pelaksana fungsi tersebut berada pada institusi yang berbeda.

Dalam penyusunan Resolution Plan, bank menyampaikan kepada otoritas resolusi, informasi, data, dan dokumen yang memuat aspek keuangan, operasional, dan legal, serta hubungan saling ketergantungan antar entitas dalam group bank tersebut. Berdasarkan informasi, data, dan dokumen tersebut, otoritas resolusi mengidentifikasi dan memetakan critical functions dan critical shared services bank, serta menetapkan strategi dan opsi resolusi yang sesuai dengan kondisi bank tersebut.

Otoritas resolusi melakukan resolvability assessment untuk menilai feasibilitas dan kredibilitas Resolution Plan tersebut secara berkala, serta mengidentifikasi hambatan atau kendala pelaksanaan resolusi, serta meminta bank mengatasi hambatan atau kendala tersebut. Berdasarkan resolvability assessment tersebut, otoritas resolusi dapat memberi rekomendasi kepada bank untuk merubah struktur dan proses bisnisnya. Resolution Plan disusun otoritas resolusi berdasarkan informasi, data, dan dokumen yang disampaikan bank, dilakukan resolvability assessment secara berkala dan dijalankan oleh otoritas resolusi ketika bank memasuki fase resolusi.

The responsibility for developing and maintaining, and where necessary, executing the recovery plan lies with the bank’s senior management. Whereas the responsibility for developing and maintaining, and where necessary, executing the resolution strategies set out in resolution plan lies with the resolution authority. The resolution authority should have unimpeded access to banks where that is material for the purposes of resolution planning, and the preparation and implementation of resolution measures.”

Temporary Stays
Kontrak keuangan umumnya memiliki klausul jika salah satu pihak mengalami default, pailit, bangkrut, atau dilikuidasi, maka konterparti-nya berhak melakukan set-off atau netting aset dan kewajiban; eksekusi jaminan; atau tindakan lain yang disebut early termination rights. Pelaksanaan resolusi bank akan terganggu atau menjadi tidak efektif, apabila pelaksanaan resolusi tersebut menjadi pemicu pihak-pihak yang berkontrak dengan bank melaksanakan early termination rights.

Pembatalan kontrak dan eksekusi early termination rights yang bebarengan akan berdampak pada kondisi bank tersebut dan stabilitas sistem perbankan. Dalam KA dinyatakan bahwa pelaksanaan resolusi harusnya tidak menjadi pemicu eksekusi early termination rights sepanjang bank masih memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Apabila eksekusi early termination rights tidak terhindarkan, otoritas resolusi harus memiliki wewenang untuk dapat menghentikan sementara pelaksanaannya (power to impose a temporary stay on early termination rights).

Kewenangan tersebut untuk memberi kesempatan otoritas resolusi melaksanakan tindakan resolusi yang diperlukan, misalnya memindahkan kontrak kepada bank lain atau bank perantara. Kewenangan menghentikan sementara tersebut tidak diberlakukan terhadap semua kontrak, melainkan hanya kontrak yang memenuhi kriteria tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Penghentian sementara tersebut di banyak negara pada umumnya dibatasi paling lama 2 hari kerja.

Di Amerika Serikat, kontrak yang dapat diberlakukan temporary stays meliputi: securities contracts; commodity contracts; forward contracts; repurchase agreements, dan swap agreements. Sedangkan di Kanada meliputi: specified derivatives agreements; agreements to borrow or lend securities or commodities; agreements to clear or settle securities, futures, options or derivatives transactions; agreements to act as a depository for securities; repurchase agreements; specified margin loans; dan specified master agreements.

Dalam penyusunan Resolution Plan, bank harus menyampaikan data, informasi, dan dokumen mengenai kontrak yang memenuhi kriteria tersebut agar otoritas resolusi dapat mengidentifikasi potensi permasalahannya dan menyusun perencanaan untuk mengatasinya, terutama jika kontrak atau konterparti-nya tunduk pada hukum negara lain. Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan tersebut, dalam International Swaps and Derivatives Association (ISDA) master agreement telah dimasukkan Resolution Stay Protocol yang memuat klausul bahwa setiap pihak yang berkontrak menyatakan tunduk dan mengakui kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan temporary stays.

The termination of large volumes of financial contracts upon entry into resolution could result in a disorderly rush for the exits that creates further market instability and frustrates the implementation of resolution measures aimed at achieving continuity.”

Statutory Bail-In
Dalam KA disebutkan bahwa otoritas resolusi harus memiliki wewenang untuk melakukan statutory bail-in dalam pelaksanaan resolusi bank. Statutory bail-in merupakan tindakan menghapuskan sebagian/seluruh kewajiban (write down) dan/atau mengubah sebagian/seluruh kewajiban (convert) menjadi modal ketika bank memasuki fase resolusi. Statutory bail-in dimaksudkan untuk menghindari penggunaan anggaran negara dalam pelaksanaan resolusi bank. Disebut statutory bail-in karena tindakan ini wajib dilakukan oleh otoritas resolusi sebelum dana resolusi (resolution fund) dapat digunakan.

Sebagai contoh, dalam EU BRRD diatur sekurangnya 8% dari kewajiban bank harus dilakukan bail-in terlebih dahulu sebelum dana resolusi dapat digunakan untuk melaksanakan resolusi terhadap bank tersebut.

Dalam pelaksanaan statutory bail-in, perlu ditetapkan kategori kewajiban bank yang dapat dilakukan bail-in (bail-inable debts), serta kewajiban yang dikecualikan dari bail-in. Secara umum yang dapat menjadi bail-inable debts adalah unsecured and uninsured liabilities. Urutan penerapan statutory bail-in pada umumnya mengikuti creditor hierarchy yang berlaku pada negara tersebut. Statutory bail-in dapat dilakukan terhadap bank gagal, dan dapat pula dilakukan terhadap bank perantara dengan cara mengubah bail-inable debts bank gagal menjadi penyertaan saham pada bank perantara, sehingga debtholders bank gagal akan menjadi shareholders bank perantara.

Selain statutory bail-in, pelaksanaan bail-in dapat pula didasarkan pada kontrak (contractual bail-in) antara bank dengan kreditur. Bank dapat menerbitkan surat utang yang memuat klausul akan terhapus atau terkonversi menjadi modal apabila kondisi bank melewati tingkat pemicu tertentu, misalnya jika KPMM bank 8%. Surat utang yang dikenal dengan sebutan contingent convertibles securities (CoCos) tersebut ada yang memiliki tingkat pemicu tinggi (high trigger CoCos) yang umumnya digunakan untuk memperbaiki tingkat permodalan bank pada fase recovery (pemulihan), ada pula yang memiliki tingkat pemicu lebih rendah.

Pemilihan jenis dan jumlah CoCos yang diterbitkan didasarkan pada strategi permodalan bank karena CoCos dapat diperhitungkan sebagai Additional Tier 1 (AT1) Capital jika memenuhi kriteria tertentu. Dalam penerbitan CoCos juga mempertimbangkan semakin tinggi pemicunya semakin tinggi pula imbal hasil yang harus dibayar bank. Kewenangan otoritas resolusi melakukan statutory bail-in berlaku pula terhadap CoCos yang pemicunya belum terlampau tetapi terhadap bank tersebut sudah dilakukan tindakan resolusi.

Pelaksanaan bail-in dapat menimbulkan dampak berantai dan meningkatkan biaya dana bagi perbankan. Dalam hal bail-inable debts yang diterbitkan bank dibeli perusahaan asuransi, dana pensiun, atau perusahaan sekuritas, pelaksanaan bail-in dapat menggeser permasalahan perbankan ke sektor jasa keuangan lainnya. Penerbitan bail-inable debts akan relatif lebih mahal bagi bank mengingat investor akan mempertimbangkan potensi risiko surat utang tersebut dihapus atau dikonversi menjadi saham. Selain itu, dalam pelaksanaan bail-in perlu pengaturan lebih lanjut dalam hal debtholders tidak memenuhi persyaratan (fit & proper) sebagai shareholders.

Dalam hal terdapat bank domestik menerbitkan surat utang (bail-inable debts) yang tunduk pada hukum negara lain, otoritas resolusi harus memastikan pelaksanaan bail-in atas surat utang tersebut dapat efektif dilakukan, diantaranya melalui cross border recognition.

Unlike a debt-for-equity swap, where the terms of any exchange of debt for shares are negotiated by the relevant private parties. A bail-in is not negotiated and it would be imposed upon the bank and its creditors by the resolution authority. There would be no requirement to get the consent of shareholders, creditors, or the existing management of the bank. And there is no requirement for court approval of the bail-in.”

Cross Border Recognition
Berdasarkan KA, koordinasi dan kerjasama antara home dan host authorities sangat didorong dan dianjurkan dalam pelaksanaan resolusi lintas negara agar resolusi tersebut dapat berjalan efektif. Meski demikian, KA juga mengakui perlunya memberi diskresi bagi otoritas resolusi untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menjaga stabilitas di negaranya ketika koordinasi dan tukar informasi dengan otoritas lain tidak dapat dilakukan. Untuk mendukung resolusi lintas negara, otoritas resolusi harus memiliki kewenangan untuk mengakui tindakan resolusi yang dilakukan otoritas resolusi negara lain (cross border recognition), antara lain dengan cara mengambil tindakan resolusi yang sama atau tindakan lain untuk mendukung tindakan resolusi otoritas negara lain tersebut (supportive measures).

Pengakuan tersebut umumnya dengan mempertimbangkan dampak tindakan resolusi negara lain tersebut terhadap stabilitas sistem perbankan, perlindungan konsumen, serta potensi penggunaan anggaran negara. Otoritas resolusi perlu mendapat perlindungan hukum (legal protection) dalam melaksanakan cross border recognition. Cross border recognition dapat dilakukan dengan dua pendekatan: statutory recognition dan contractual recognition.

Dalam statutory recognition, otoritas resolusi suatu negara secara otomatis mengakui tindakan resolusi yang dilakukan oleh otoritas resolusi negara lain. Penerapan pendekatan ini dapat dilakukan secara multilateral, seperti yang berlaku di Uni Eropa di mana setiap anggota Uni Eropa, sesuai BRRD, wajib mengakui tindakan resolusi yang dilakukan oleh otoritas resolusi negara EU lainnya; atau secara bilateral di mana dua negara membuat Cooperation Agreement (CoAg) yang mengatur tindakan resolusi mana yang secara otomatis akan saling diakui, dan tindakan resolusi mana yang tidak otomatis diakui. Penerapan statutory recognition dipandang merupakan bentuk yang ideal, namun akan menghadapi kendala ketika otoritas resolusi memiliki mandat dan wewenang yang bervariasi. Dengan makin banyaknya otoritas yang menerapkan KA, diharapkan perbedaan kewenangan antar otoritas akan semakin berkurang.

Contractual recognition dimaksudkan sebagai solusi sementara dan untuk melengkapi statutory recognition. Dalam pendekatan ini, pengakuan tersebut dicantumkan dalam klausul kontrak yang mengikat para pihak. Dalam penerapan contractual recognition perlu dipastikan semua kontrak telah memuat klausul yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa diperlakukan berbeda atas jenis kontrak yang sama. Cross border recognition utamanya diperlukan dalam pelaksanaan kewenangan otoritas resolusi terkait temporary stays dan statutory bail-in.

Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, dalam hal terhadap suatu bank dilakukan resolusi, konterparti-nya berhak melakukan “early termination right”. Otoritas resolusi perlu memiliki kewenangan menunda sementara (temporary stays) untuk mencegah pelaksanaan hak tersebut. Apabila kontrak tersebut dilakukan antara dua atau lebih bank yang tunduk pada hukum negara yang berbeda, maka temporary stays tersebut harus diakui oleh otoritas resolusi negara yang terlibat. Sedangkan dalam pelaksanaan statutory bail-in, apabila dilakukan bail in terhadap surat utang (bail-inable debts) yang tunduk pada hukum negara lain, maka pelaksanaan bail-in tersebut harus dipastikan dapat terlaksana dan diakui oleh otoritas negara lain tersebut.

Dalam pendekatan statutory recognition, otoritas negara-negara yang terlibat dapat membuat CoAg, MoU, atau bersepakat dalam Crisis Management Group. Sedangkan jika menggunakan pendekatan contractual recognition, otoritas resolusi perlu mewajibkan bank untuk mencantumkan klausul dalam setiap kontrak atau setiap penerbitan surat utang yang tunduk pada hukum negara lain, yang menyatakan bahwa dalam hal dilakukan temporary stays atau statutory bail-in akan tunduk pada kewenangan otoritas resolusi negara tempat kedudukan bank tersebut.

Jurisdictions should provide for transparent and expedited processes to give effect to foreign resolution measures, either by way of a mutual recognition process or by taking measures under the domestic resolution regime that support and are consistent with the resolution measures taken by the foreign home resolution authority.”

Safeguards
Metode resolusi bank secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: closed bank resolution dan open bank resolution. Dalam closed bank resolution, resolusi dilakukan dengan melakukan penutupan terdapat bank gagal, yang pilihannya antara lain: pelaksanaan likuidasi, pengalihan aset dan kewajiban (P&A), atau pendirian bank perantara. Sedangkan dalam open bank resolution, pada intinya bank tetap dipertahankan beroperasi dan dilakukan tindakan lain seperti penambahan modal, pemberian pinjaman, atau pembelian aset bermasalah. Pelaksanaan likuidasi sering disebut sebagai jalan normal bagi bank untuk keluar dari sistem perbankan atau disebut “normal insolvency proceedings”.

Dalam pelaksanaan likuidasi, nilai aset bank diupayakan dapat dipertahankan sehingga dapat memberi tingkat pengembalian (recovery rate) yang tinggi bagi para kreditur. Namun mengingat bank telah dicabut izinnya, penggunaan basis gone-concern dalam pengelolaan aset bank akan berpotensi menyebabkan penurunan nilai aset. Selain itu, terhentinya layanan kepada nasabah (kreditur & debitur, perorangan & perusahaan) akan berdampak pada konsumsi, investasi, dan riil ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, pelaksanaan likuidasi dipandang merupakan opsi resolusi bank gagal yang memakan biaya paling mahal dan tingkat pengembalian paling rendah bagi kreditur.

Pelaksanaan resolusi bank selain likuidasi, dilakukan dengan mempertahankan keberlangsungan fungsi-fungsi kritikal bank dengan cara mengalihkan sebagian aset dan kewajiban kepada bank lain atau bank perantara; atau mempertahankan bank beroperasi dan memberi bantuan keuangan (open bank assistance/OBA). Setelah krisis 2008, opsi OBA (bail-out) sedapat mungkin dihindari karena dapat menimbulkan moral hazard, persaingan tidak sehat, dan rasa ketidak-adilan, selain membebani anggaran negara.

Dengan pelaksanaan resolusi tersebut diharapkan layanan perbankan dapat terjaga keberlangsungannya, stabilitas sistem perbankan dapat terpelihara, sehingga secara keseluruhan biaya kegagalan bank akan lebih murah dan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi bagi kreditur dibandingkan pelaksanaan likuidasi. Berdasar pada pandangan tersebut, KA mengatur bahwa apabila dilaksanakan resolusi, harus dipastikan tidak ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank dilakukan likuidasi, yang disebut prinsip No Creditors Worse Off than in Liquidation (NCWOL).

Selain itu, pembebanan kerugian bank harus memperhatikan creditor hierarchy di mana pemegang saham merupakan pihak pertama yang harus menyerap kerugian, dan selanjutnya diikuti pemegang hybrid capitals, subordinate debts, senior debts, serta dapat pula termasuk nasabah penyimpan yang tidak dijamin. Kreditur dengan kategori atau kelas yang sama harus memperoleh tingkat pengembalian yang sama pula, dan tidak diperkenankan membedakan perlakuan kepada kreditur berdasarkan lokasi klaim dan kewarganegaraannya. Penerapan prinsip NCWOL dan creditor hierarchy tersebut disebut Safeguards, yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap hak kepemilikan (property right) bagi kreditur dengan menggunakan asumsi bahwa pengembalian dari hasil likuidasi bank merupakan jumlah minimal yang akan diterima dan menjadi hak kreditur.

Dalam KA juga diatur bahwa otoritas resolusi dapat menetapkan kebijakan yang keluar dari prinsip pari passu dengan memperlakukan berbeda kreditur pada kelas yang sama. Kebijakan tersebut hanya dapat dilakukan jika dipandang perlu untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dan memaksimalkan nilai bagi kepentingan kreditur secara keseluruhan.

Sebagai ilustrasi, ketentuan creditor hierarchy di beberapa negara menempatkan simpanan yang tidak dijamin pada kelompok yang memiliki prioritas yang sama dengan unsecured debts. Dalam transaksi P&A, otoritas resolusi dapat menetapkan pengalihan seluruh simpanan beserta aset berkualitas baik dengan nilai setara kepada bank lain. Dengan kebijakan tersebut, nasabah penyimpan yang tidak dijamin akan memperoleh tingkat pengembalian yang berbeda dengan unsecured creditors, meski sesuai creditor hierarchy harusnya pari passu. Mengingat aset yang tertinggal pada bank sebagian besar berkualitas buruk, ada kemungkinan unsecured creditors tersebut akan memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank secara keseluruhan dilakukan likuidasi. Jika demikian, sesuai prinsip NCWOL, unsecured creditors tersebut berhak memperoleh kompensasi dari otoritas resolusi.

Dalam memenuhi prinsip NCWOL, sesuai pedoman KA, segera setelah dilaksanakan resolusi, otoritas resolusi menunjuk independent valuer untuk menghitung dan membandingkan antara tingkat pengembalian yang diterima kreditur setelah dilakukan resolusi dengan tingkat pengembalian jika terhadap bank dilakukan likuidasi (hypothetical liquidation scenario). Jika independent valuer menemukan ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah, otoritas resolusi harus memberikan kompensasi kepadanya. Kreditur diberikan hak untuk mengajukan keberatan dalam hal tidak sepakat dengan keputusan otoritas resolusi.

Untuk menunjang penerapan Safeguards tersebut, perlu disusun mekanisme penanganan keberatan bagi kreditur dan diberikan wewenang kepada otoritas resolusi untuk menggunakan dana resolusi guna membayar kompensasi kepada kreditur.

"As a resolution tends to be less value destructive than liquidation, creditors as a whole should be made better off in resolution under most circumstances. However, there may be instances where in order to preserve financial stability or maximise the financial institution’s value for the benefit of creditors as a whole, the resolution strategy may render certain creditors worse off as compared to liquidation. Creditors should have a right to compensation where they do not receive at a minimum what they would have received in a liquidation of the firm under the applicable insolvency regime."

Baca Lanjutannya...

27 February 2017

Bank Sistemik Itu Seperti Gambar Porno

Beberapa tahun lalu media massa ramai memberitakan persidangan kasus Bank Century. Dalam satu sesi persidangan, pengacara terdakwa menyampaikan pandangan dan menghadirkan saksi yang mendukung argumen bahwa pada tahun 2008 perbankan kita mengalami krisis dan penutupan Bank Century akan memiliki dampak sistemik.

Sebaliknya, penuntut umum berupaya membuktikan bahwa pada saat itu tidak terjadi krisis perbankan dan kegagalan Bank Century tidak berdampak sistemik.

Sebelum tahun 2008, kriteria bank berdampak sistemik sepertinya memang secara sengaja dibiarkan tidak jelas atau sering disebut dengan istilah constructive ambiguity, ketidak-jelasan yang bermanfaat. Ketidak-jelasan tersebut dimaksudkan untuk memberi ruang bagi pengambil kebijakan mempertimbangkan kondisi riil saat kejadian kegagalan bank, serta untuk menghindari adanya bank yang meyakini dirinya berdampak sistemik dan berharap akan diselamatkan ketika mengalami permasalahan.

Dampak sistemik sering dikaitkan dengan teori too big to fail (TBTF). Merujuk pada wikipedia : “The too big to fail (TBTF) theory asserts that certain corporations, particularly financial institutions, are so large and so interconnected that their failure would be disastrous to the greater economic system, and they therefore must be supported by government when they face potential failure”.

TBTF mulai populer ketika FDIC pada tahun 1984 melakukan penyelamatan dalam bentuk open bank assistance (OBA) kepada Continental Illinois National Bank and Trust Company, yang saat itu merupakan bank terbesar ketujuh di Amerika Serikat. FDIC melakukan resolusi dengan membeli kredit macet (bad loans), menyuntikkan modal, dan memberikan pinjaman kepada bank tersebut. Opsi OBA tidak lagi dimiliki FDIC sejak ditetapkannya Dodd-Frank Act pada tahun 2010.

Ketiadaan kriteria yang jelas menyebabkan penilaian terhadap dampak berantai kegagalan suatu bank menjadi relatif sulit dilakukan. Dalam suatu seminar yang pernah penulis ikuti, seorang pemateri menyatakan “systemic bank is just like pornography, you only know it when you see it”. Bank sistemik diibaratkan seperti gambar porno, kita hanya akan mengetahui atau memahaminya ketika kita melihatnya sendiri. Akan sulit bagi seseorang untuk meyakinkan orang lain bahwa suatu bank memiliki dampak sistemik, tanpa orang tersebut mengetahui, merasakan, atau mengalaminya sendiri. Terlebih jika peristiwanya sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Selain itu, mirip dengan kriteria dan persepsi orang terhadap ke-porno-an suatu gambar, kriteria dan persepsi yang digunakan masing-masing orang untuk menilai dampak sistemik suatu bank sangat mungkin berbeda.

Berkaca pada pengalaman tahun 2008, para pimpinan negara kelompok G20 telah menyepakati untuk membatasi moral hazard bagi bank berdampak sistemik (systemically important bank atau SIB) dan mengakhiri konsep TBTF. Semua bank, terutama SIB, diberi pesan yang kuat bahwa sebesar apapun ukurannya dapat saja menjadi gagal dan ditutup. Resolusi SIB ke depan diupayakan dapat memenuhi 3 tujuan yakni: meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritisnya (critical functions), dan menghindari penggunaan uang pembayar pajak (anggaran negara).

Dengan paradigma baru tersebut, SIB akan diidentifikasi dan ditetapkan sebelumnya (pre-determined) agar dapat diminta memenuhi persyaratan atau kewajiban tertentu. Dalam rangka mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalannya, bank sistemik wajib menyiapkan bantalan tebal dalam bentuk kapasitas menyerap kerugian dan melakukan rekapitalisasi yang disebut Total Loss Absorbing Capacity (TLAC).

Selain itu, bank sistemik juga harus menyusun rencana pemulihan (recovery plan) untuk mengatasi berbagai skenario permasalahan keuangan yang mungkin dihadapinya, dan rencana mati (resolution plan) untuk mempersiapkan pelaksanaan resolusi atas kegagalannya, yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP). RRP sering disebut sebagai living wills atau surat wasiat.

Dalam rangka menetapkan bank yang secara global berdampak sistemik (G-SIB), Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) merumuskan indicator-based measurement approach yang terdiri dari aspek kegiatan lintas negara (cross jurisdictional), ukuran (size), keterkaitan (interconnnectedness), ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability), dan kompleksitas (complexity). Berdasarkan indikator tersebut, sejak tahun 2011 dilakukan asesmen terhadap bank yang memenuhi kriteria G-SIB dan daftarnya diumumkan pada setiap bulan Nopember.

Berdasarkan hasil skoring (systemic importance score) berbagai aspek tersebut, G-SIB dikelompokkan menjadi 4 bucket. Selanjutnya bucket ke-5 ditambahkan untuk menghalangi (dis-incentive) G-SIB agar tidak terus memperbesar potensi dampak sistemiknya. Apabila ada G-SIB yang memenuhi kriteria bucket 5, akan dibuat bucket kosong lagi di atasnya dengan tambahan persyaratan dan kewajiban yang lebih berat.

Berdasar pengelompokan tersebut, G-SIB diwajibkan memenuhi tambahan modal antara 1% sampai 2,5% dalam bentuk modal inti utama atau Common Equity Tier 1 (CET1) yang disebut Capital Surcharge atau Systemic Buffer. Tahapan penerapan (phase in) ketentuan capital surcharge tersebut yakni: tahun 2016 (25%), 2017 (50%), 2018 (75%), dan 2019 (100%). Beberapa negara (Amerika Serikat, Swiss) menetapkan capital surcharge yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh BCBS.

Untuk kriteria bank yang secara domestik memiliki dampak sistemik (D-SIB), masing-masing otoritas diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri dengan tetap memperhatikan kriteria G-SIB tanpa aspek cross jurisdictional. Kriteria lain dan informasi kualitatif dapat ditambahkan apabila dipandang perlu berdasarkan pertimbangan pengawas. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia telah menetapkan kriteria dan mengumumkan D-SIBnya, sedangkan beberapa negara lainnya seperti Filipina sudah menetapkan kriterianya namun belum atau tidak mengumumkan daftar D-SIBnya.

Sesuai Pasal 1 angka 5 UU PPKSK, bank sistemik didefinisikan sebagai bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.

Pada Pasal 17 UU PPKSK dinyatakan dalam rangka mencegah krisis sistem keuangan di bidang perbankan, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia menetapkan bank sistemik. Penetapan bank sistemik pertama kali dilakukan pada kondisi stabilitas sistem keuangan normal. OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan pemutakhiran daftar bank sistemik secara berkala setiap 6 bulan. OJK menyampaikan hasil penetapan dan pemutakhiran daftar bank sistemik kepada KSSK. Pasal 52 UU PPKSK mengatur penetapan bank sistemik dilakukan pertama kali paling lambat 3 bulan sejak UU tersebut diundangkan.

Pada Desember 2015, OJK telah menetapkan Peraturan OJK Nomor 46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharge. Dalam POJK tersebut, indikator yang digunakan dalam penetapan bank yang berdampak sistemik meliputi eksposur bank (size), keterkaitan dengan sistem keuangan domestik (interconnectedness), dan kompleksitas kegiatan usaha (complexity). Sedangkan untuk faktor ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability) tidak menjadi indikator tersendiri melainkan merupakan sub-indikator dari kompleksitas. Bobot setiap indikator tersebut ditetapkan sama (equal weight).

Ketentuan pengelompokan dan besarnya capital surcharge yang ditetapkan dalam POJK tersebut sama dengan yang diatur BCBS yakni terdiri dari 4 bucket dan besarnya capital surcharge antara 1% sampai 2,5% dari ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko atau Risk-Weighted Asset/RWA) yang harus dipenuhi dengan komponen modal inti utama (CET1). Pemenuhan capital surcharge diberlakukan bertahap mulai tahun 2016 sampai dengan tahun 2019. Dalam POJK tersebut disebutkan penetapan bank sebagai SIB tidak mencakup kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (KCBA), dengan kata lain KCBA tidak akan pernah ditetapkan menjadi bank sistemik (D-SIB) di Indonesia. Daftar D-SIB di Indonesia tidak diumumkan ke publik.

Baca Lanjutannya...

13 February 2017

Penjaminan Simpanan Syariah

Pada Juli 2015 lalu, media massa ramai memberitakan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, DSN merekomendasikan pendirian BPJS Kesehatan Syariah dengan menggunakan akad dan praktik yang sesuai syariah. Berita tersebut memicu perdebatan mengingat sudah lebih 100 juta orang yang mengikuti program BPJS Kesehatan.

Sebagaimana dimaklumi, sejak konsep syariah diterima dan diterapkan dalam sistem perekonomian kita, beberapa kegiatan usaha telah memiliki sistem ganda (dual system) konvensional dan syariah, di antaranya perbankan, perasuransian, pembiayaan, pergadaian, dan dana pensiun.

Gagasan penerapan penjaminan simpanan syariah juga mengemuka akhir-akhir ini. Sejak beroperasi, LPS telah menjamin simpanan di bank syariah, namun belum menerapkan sistem penjaminan simpanan syariah.

Simpanan di Bank Syariah
Dalam pengerahan dana masyarakat, terdapat berbagai jenis kontrak (akad) yang lazim digunakan bank syariah, yakni: wadiah (titipan), qard (pinjaman), murabahah (biaya plus), mudharabah (bagi hasil), dan wakalah (keagenan).

Pada perbankan syariah di Indonesia, untuk produk simpanan (giro, tabungan, dan deposito) yang lazim digunakan hanya 2 jenis akad yakni wadiah dan mudharabah. Simpanan berakad wadiah merupakan titipan yang dijamin pengembalian pokoknya oleh bank, namun tidak boleh diperjanjikan adanya tambahan atau bonus (athaya). Pemberian tambahan atau bonus bagi nasabah didasari pada keikhlasan dari pihak bank semata.

Sedangkan simpanan berakad mudharabah menjanjikan bagi hasil dalam pengelolaan dananya. Pada simpanan berakad mudharabah, bank tidak boleh menjamin pengembalian pokok simpanannya kepada nasabah.

Dalam UU Perbankan Syariah, simpanan didefinisikan sebagai dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad wadiah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad mudharabah dalam bentuk deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu disebut investasi. Nasabah pemilik simpanan disebut nasabah penyimpan dan nasabah pemilik investasi disebut nasabah investor. Meskipun dalam UU tersebut dikategorikan sebagai investasi, simpanan berakad mudharabah termasuk dalam lingkup penjaminan LPS.

Dasar Penjaminan Simpanan Syariah
Saat ini sudah banyak negara yang menerapkan dual banking system, perbankan syariah dan konvensional, namun belum banyak yang menerapkan sistem penjaminan simpanan ganda (dual deposit insurance system). Dalam penerapan penjaminan simpanan syariah, terdapat perbedaan pandangan terkait dasar pemikiran dan operasionalisasinya.

Untuk simpanan dengan akad wadiah, qard, dan murabahah, ahli syariah menyepakati diperbolehkannya pemberian penjaminan atas simpanan tersebut. Pada akad wadiah misalnya, mengingat sifatnya berupa titipan, bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah. Pengembalian pokok simpanan tersebut dapat dijaminkan kembali oleh bank kepada pihak ketiga, dalam hal bank tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam skema ini, penjamin simpanan bertindak sebagai penjamin dari penjamin pertama (acting as guarantor to a guarantor). Sebagai alternatif, kedudukan penjamin simpanan dapat pula sebagai penjamin kedua atas simpanan berakad wadiah tersebut bersama-sama dengan bank (double guarantors).

Sedangkan pada akad mudharabah dan wakalah, ahli syariah menyepakati larangan bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah. Berdasarkan pandangan tersebut, kalangan ahli syariah klasik berpendapat tidak diperbolehkan adanya penjaminan terhadap simpanan dengan akad mudharabah dan wakalah. Sebagaimana dimaklumi, simpanan berakad mudharabah merupakan bentuk simpanan yang proporsinya paling besar di banyak negara yang memiliki perbankan syariah. Tidak diperbolehkannya penjaminan terhadap simpanan berakad mudharabah inilah yang menjadi salah satu alasan sistem penjaminan simpanan syariah belum banyak diterapkan. Simpanan berakad mudharabah umumnya juga dimiliki nasabah yang sudah paham risiko atau sudah siap menanggung rugi atas penempatan dananya sehingga tidak memerlukan penjaminan.

Sebaliknya kalangan pakar syariah kontemporer berpandangan bahwa bank memang dilarang memberikan penjaminan terhadap pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah kepada nasabah, namun pihak ketiga dalam hal ini penjamin simpanan diperbolehkan memberikan penjaminan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut, penjaminan atas pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah dapat pula dilakukan oleh penjamin simpanan. Mengingat bank tidak menjamin pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah, premi penjaminan dibebankan pada nisbah yang menjadi hak nasabah penyimpan.

Argumen lain yang menjadi dasar penerapan penjaminan simpanan syariah diantaranya bertujuan turut menjaga stabilitas sistem keuangan, pemberian perlakuan yang sama dengan simpanan pada perbankan konvensional, memberi kemaslahatan atau kebaikan kepada umat, dan dalam rangka menampung aspirasi nasabah penyimpan di perbankan syariah.

Sistem Penjaminan Simpanan Syariah
Dalam pelaksanaan penjaminan simpanan syariah, perlu dipenuhi beberapa prinsip syariah yang meliputi: tidak mengandung riba; gharar (ketidakpastian/ ketidakjelasan); dan maysir (judi). Untuk itu, terdapat beberapa hal yang perlu diatur berbeda dengan penjaminan simpanan konvensional, antara lain : (1) akad penjaminan; (2) pengelolaan dana penjaminan; dan (3) lingkup penjaminan.

Akad Penjaminan
Dalam penjaminan simpanan syariah, kontrak (akad) antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan harus jelas dan ditetapkan di awal. Beberapa akad antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan yang dapat dipertimbangkan antara lain: tabarru, kafalah, atau dharibah.

Dalam akad tabarru’, bank peserta mengumpulkan premi (fee) untuk dikelola oleh penjamin simpanan yang nantinya akan digunakan untuk membayar kembali simpanan nasabah ketika ada bank peserta penjaminan yang dicabut izinnya. Akad ini dapat dikombinasikan dengan akad ta’awuni yang dapat diartikan sebagai prinsip tolong menolong antara sesama peserta penjaminan. Akad tabarru’ ini lazim digunakan dalam kontrak asuransi komersial yang sering pula disebut sebagai akad takaful.

Kesediaan bank mengumpulkan premi (fee) dan saling menanggung sesama peserta penjaminan tersebut secara syariah harus didasarkan pada sifat sukarela (voluntary). Sehingga dalam sistem penjaminan simpanan, penerapan akad tabarru’ lebih tepat dilakukan untuk penjaminan simpanan yang sifat kepesertaannya tidak wajib. Meskipun penggunaan akad ini dapat saja diterapkan apabila semua bank syariah sepakat terhadap perlu dan pentingnya menjadi peserta penjaminan.

Pada akad ini, akumulasi premi tidak menjadi milik penjamin simpanan melainkan milik bersama bank peserta penjaminan. Penjamin simpanan hanya bertindak sebagai administrator penjaminan dan menerima fee dari pengelolaan dana penjaminan. Bank Deposit Security Fund (BDSF) di Sudan dan Jordan Deposit Insurance Corporation (JODIC) di Yordania mengunakan pendekatan akad ini.

Sedangkan akad kafalah merupakan suatu bentuk kontrak penjaminan yang secara bahasa memiliki arti a-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Pada akad ini, penjamin menjanjikan akan memenuhi hal yang diperjanjikan kepada pihak terjamin. Dalam sejarah, akad ini sering digunakan untuk jaminan pembayaran hutang, jaminan pengembalian barang, dan/atau jaminan menghadirkan orang.

Pada akad kafalah, penjamin simpanan (kafil) memberikan jaminan atas pembayaran kembali simpanan sampai jumlah tertentu kepada nasabah penyimpan (makfuul lahu) dalam hal bank (makfuul ‘anhu) tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dicabut izinnya. Sebagai imbalan atas pemberian jaminan tersebut, bank membayar fee (ujroh) secara periodik. Dengan adanya fee (ujroh) tersebut, akad ini disebut pula sebagai kafalah bil ujroh.

Mengacu pada praktek di masa lalu, sebagian ahli syariah berpandangan pembayaran fee (ujroh) atas akad kafalah tersebut tidak diperbolehkan mengingat tujuan akad tersebut untuk kebaikan dan tolong menolong semata. Sementara sebagian lainnya, termasuk DSN, berpandangan dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima fee (ujroh) sepanjang tidak memberatkan pihak terjamin (Fatwa No: 11/DSN-MUI/IV/2000).

Untuk memenuhi unsur tidak memberatkan, besarnya fee (ujroh) harus mempertimbangkan beban riil yang harus ditanggung oleh penjamin dalam melaksanakan penjaminan tersebut. Akumulasi fee (ujroh) yang dibayar bank peserta sepenuhnya menjadi milik penjamin simpanan. Malaysia Deposit Insurance Corporation menggunakan pendekatan akad kafalah bil ujroh ini.

Akad lain yang dapat diterapkan dalam sistem penjaminan simpanan syariah adalah dharibah, yang secara bahasa diterjemahkan sebagai pajak. Dalam akad ini, penjamin simpanan diposisikan sebagai unsur Pemerintah atau negara yang diberi kewenangan untuk menjamin simpanan dengan memungut premi kepada bank peserta penjaminan. Pemberian wewenang memungut premi penjaminan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemaslahatan kepada nasabah penyimpan berupa perlindungan atas keamanan simpanannya di bank syariah dan terciptanya stabilitas sistem perbankan syariah.

Selain akad tabarru, kafalah, dan dharibah, penggunaan akad lain yang sesuai syariah dapat pula dikaji untuk dapat diterapkan sesuai kondisi masing-masing negara.

Pengelolaan Dana Penjaminan
LPS telah membayar klaim penjaminan terhadap simpanan pada beberapa BPR Syariah yang dicabut izin usahanya. Nasabah penyimpan pada BPR Syariah tersebut tentu berharap pembayaran klaim penjaminan yang diterima berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan hasil kelolaan dana yang sesuai prinsip syariah.

Sampai saat ini, pengelolaan dana penjaminan dari penerimaan premi sampai pembayaran klaim penjaminan belum dipisahkan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Sehingga ketika LPS membayar klaim penjaminan kepada nasabah bank syariah yang dicabut izinnya, tidak dapat dipastikan apakah dana yang digunakan berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan/atau hasil investasi yang sesuai prinsip syariah. Meskipun saat ini LPS telah menempatkan dananya pada surat berharga negara syariah (Sukuk) yang nilainya melebihi jumlah seluruh premi penjaminan yang diterima dari perbankan syariah.

Belum diterapkannya sistem penjaminan terpisah tersebut mempertimbangkan antara lain masih relatif sedikitnya jumlah bank syariah, atau relatif kecilnya porsi aset/simpanan perbankan syariah dibanding aset/simpanan perbankan nasional. Dipandang dari sisi pendanaan, jumlah bank syariah yang relatif sedikit mengakibatkan tarif premi penjaminan simpanan syariah dapat menjadi lebih mahal karena hanya sedikit bank yang diminta berkontribusi menanggung biaya kegagalan bank syariah. Pemisahan dana penjaminan simpanan syariah dan konvensional memiliki konsekuensi antara kedua dana tersebut tidak boleh saling membantu (no cross subsidy).

Lingkup Penjaminan
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2005 diatur simpanan di perbankan syariah yang dijamin LPS yaitu : a. giro berdasarkan prinsip wadiah; b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah; c. tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; d. deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau e. simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan pengawas perbankan.

Pada saat PP tersebut ditetapkan, giro berdasarkan prinsip mudharabah belum ditetapkan sebagai jenis simpanan yang dapat dipasarkan oleh bank syariah, meskipun menurut fatwa DSN jenis simpanan tersebut sesuai syariah. Dalam perkembangannya giro berdasarkan prinsip mudharabah ditetapkan dapat dipasarkan bank syariah, sehingga dalam Peraturan LPS Nomor 2 Tahun 2010, giro berdasarkan prinsip mudharabah termasuk sebagai bentuk simpanan syariah yang dijamin LPS.

Akad mudharabah pada dasarnya dibedakan menjadi dua, mudharabah mutlaqah (unrestricted investment accounts) apabila nasabah penyimpan tidak memberikan arahan atau batasan tertentu (misalnya jenis usaha, lokasi usaha, dan/atau jenis pelayanan) kepada bank dalam penyaluran dananya; dan mudharabah muqqayadah (restricted investment accounts) jika nasabah memberikan arahan atau batasan tertentu kepada bank dalam penyaluran dananya.

Simpanan dengan akad mudharabah muthlaqah dijamin oleh LPS. Sedangkan simpanan dengan akad mudharabah muqayyadah tidak semua dijamin oleh LPS. Ditinjau dari pihak yang menanggung risiko, akad mudharabah muqayyadah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yakni: risiko ditanggung oleh bank syariah yang pengadministrasiannya dilakukan secara on balance sheet, atau risiko ditanggung oleh pemilik dana/nasabah yang pengadministrasiannya dilakukan secara off balance sheet (chanelling). LPS hanya menjamin simpanan berakad mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank syariah.

Sejak 13 Oktober 2008, nilai simpanan yang dijamin LPS paling banyak Rp 2 milyar per nasabah per bank. Sesuai Peraturan LPS, nilai simpanan yang dijamin tersebut mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil (mudharabah), saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS, atau bank umum konvensional yang menjadi induk UUS. Khusus untuk simpanan pada UUS, LPS hanya akan membayar klaim penjaminan apabila izin usaha bank umum konvensional yang menjadi induk UUS tersebut dicabut. Sedangkan jika izin UUS yang dicabut oleh OJK, baik atas permintaan bank umum konvensional yang menjadi induknya maupun karena pengenaan sanksi dari OJK, maka kewajiban UUS kepada nasabah penyimpan menjadi tanggung jawab bank umum konvensional yang menjadi induknya.

Ketentuan tingkat bunga penjaminan tidak diberlakukan untuk simpanan di bank syariah. LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang dapat diterima nasabah penyimpan di bank syariah, mengingat besarnya bagi hasil tidak tentu, bersifat fluktuatif, dan tidak diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di bank syariah apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return) melebihi tingkat bunga penjaminan, simpanan di bank syariah tersebut tetap dijamin oleh LPS. *****

Baca Lanjutannya...

07 February 2017

LPS Beyond Penjaminan

Beberapa tahun lalu, media massa diramaikan pemberitaan mengenai penyelamatan Bank Century. Salah satu yg menjadi topik pemberitaan tersebut terkait peran LPS dalam melaksanakan penyertaan modal sementara (PMS) pada bank tersebut.

LPS sesuai namanya, sering dipahami hanya melakukan penjaminan simpanan ketika bank dicabut izinnya. Bagaimana ceritanya sampai LPS melakukan penyelamatan Bank Century yang notabene masih beroperasi dan izinnya tidak dicabut.

Dalam UU 24/2004, LPS mempunyai 2 fungsi yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan tsb diwujudkan dengan penyelamatan bank melalui PMS, yang diikuti upaya penyehatan lainnya.

Dalam UU PPKSK, LPS diberi tambahan pilihan metode resolusi bank selain PMS, yakni: mengalihkan sebagian/seluruh aset dan/atau kewajiban bank gagal kepada bank lain (purchase & assumption) atau kepada bank perantara (bridge bank).

Program Restrukturisasi Perbankan
Selain itu, UU PPKSK juga mengamanatkan tambahan tugas baru kepada LPS yang sangat strategis dalam menunjang kestabilan dan kesinambungan sistem keuangan/perbankan kita. Apabila dalam kondisi krisis sistem keuangan dan terjadi permasalahan sektor perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, KSSK merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). LPS ditetapkan sebagai penyelenggara PRP tersebut.

Dalam penyelenggaraan PRP tersebut, LPS mendapat dukungan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Dana penyelenggaraan PRP berasal dari: (a) pemegang saham bank atau pihak lain berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang tertentu menjadi modal; (b) hasil pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal dari aset dan kewajiban bank yang ditangani; (c) kontribusi industri perbankan; dan/atau (d) pinjaman yang diperoleh LPS dari pihak lain.

LPS bertanggung jawab atas pengelolaan serta penatausahaan aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari penyelenggaraan PRP. LPS harus memisahkan pencatatan aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari penyelenggaraan PRP dari aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari pelaksanaan fungsi dan tugas LPS berdasarkan UU LPS. Dalam pelaksanaan PRP tersebut, LPS mendapatkan tambahan kewenangan yang luas.

Integrated Protection Scheme
Pada tingkat global, saat ini berkembang gagasan untuk membangun sistem penjaminan yang terintegrasi dalam rangka memberikan perlindungan terhadap seluruh konsumen jasa keuangan yg disebut sebagai Integrated Protection Scheme (IPS). IPS terdiri dari penjaminan simpanan nasabah bank (Deposit Insurance Scheme/DIS), penjaminan pemegang polis asuransi (Insurance Guarantee Scheme/IGS), dan penjaminan dana investor (Investor Compensation Scheme/ICS).

Pengembangan IPS tersebut didasari pertimbangan makin komplek dan terintegrasinya produk jasa keuangan yang dijual kepada masyarakat yang dapat mengandung gabungan unsur simpanan, asuransi, dan/atau investasi. Dari sisi kelembagaan, terdapat pula kecenderungan perusahaan jasa keuangan memiliki anak perusahaan yang bergerak pada industri jasa keuangan yang berbeda kegiatan usahanya (konglomerasi). Selain itu, beberapa waktu terakhir terdapat pula kecenderungan untuk menerapkan pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi.

Dalam menghadapi perkembangan global tersebut, penjamin simpanan dipandang perlu meningkatkan kesiapannya dalam menghadapi krisis sistem keuangan dan memperluas lingkup perlindungannya terhadap konsumen jasa keuangan lain, sehingga dapat berkontribusi nyata dalam memelihara stabilitas sistem keuangan. Penerapan IPS merupakan satu opsi kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Beberapa negara yang telah menerapkan IPS tersebut antara lain: FSCS-UK dan KDIC-Korea menjamin sekaligus simpanan nasabah bank, polis asuransi, dan dana investasi; MDIC-Malaysia dan SDIC-Singapura menjamin simpanan nasabah bank dan polis asuransi; dan Esisuisse-Swiss menjamin simpanan nasabah bank dan dana investasi.

Di Indonesia, LPS telah melaksanakan penjaminan simpanan nasabah bank sejak tahun 2005. Untuk penjaminan dana investor, pada tahun 2014 telah didirikan PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia (P3IEI) atau Indonesia Securities Investor Protection Fund (SIPF). Lingkup penjaminan dana investor pada saat ini sebesar Rp100 juta per investor pada setiap perusahaan peserta/anggota penjaminan. Penjaminan tersebut untuk melindungi dana investor pasar modal dalam hal terjadi pembobolan atau penyalahgunaan dana oleh perusahaan sekuritas, bukan penjaminan atas risiko atau kerugian investasi.

Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Penyelenggaraan program penjaminan polis tersebut akan diatur dengan undang undang yang harus ditetapkan paling lama 3 tahun sejak UU Perasuransian diundangkan atau paling lambat 17 Oktober 2017.

Dalam pembahasan UU Perasuransian tersebut, muncul gagasan untuk menunjuk LPS sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi dengan alasan antara lain: tidak perlu membentuk lembaga baru, LPS sudah berpengalaman mengelola penjaminan simpanan nasabah bank, dan agar terdapat keselarasan kebijakan antara penjaminan simpanan nasabah bank dengan penjaminan polis asuransi. Penunjukan pelaksana program penjaminan polis asuransi tersebut masih akan menunggu penetapan UU dimaksud.

Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. Selain itu, keberadaan program penjaminan polis dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi.

Beyond Penjaminan
Dengan pelaksanaan fungsi sesuai UU LPS, tambahan mandat sebagai penyelenggara PRP, serta kemungkinan tambahan tugas sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi, LPS akan memiliki fungsi, tugas, dan wewenang yang jauh lebih luas dari sekedar sebutan namanya sebagai penjamin simpanan.

Kita mungkin pernah mendengar tagline “beyond marketing” yang digunakan konsultan pemasaran untuk menunjukkan bahwa mereka menyediakan jasa yang lebih luas dari sekedar pemasaran dan penjualan. Sebuah perusahaan konstruksi juga menggunakan tagline “beyond construction” untuk menunjukkan reposisi dan rebranding perusahaannya yang tidak sekedar berkutat pada konstruksi bangunan. Tidak ketinggalan industri perbankan syariah juga menggunakan tagline “beyond banking” untuk menunjukkan luasnya jangkauan produk perbankan yang mereka tawarkan melampaui produk perbankan yang konvensional.

Melihat peran strategisnya dalam mendukung dan memelihara stabilitas sistem keuangan, LPS tentu saja dapat memposisikan diri dan layak menyandang predikat “Beyond Penjaminan”.

Baca Lanjutannya...

05 February 2017

Ragam Sistem Penjaminan Simpanan

Sesuai dengan tujuan kebijakan publik (public policy objective/PPO) yang ditetapkan, sistem penjaminan simpanan memiliki beragam variasi di banyak negara. Berbeda dengan bank sentral atau pengawas bank yang umumnya memiliki wewenang dan tanggung jawab yang relatif seragam di berbagai negara, desain sistem penjamin simpanan antara satu negara dengan negara lainnya seringkali tidak dapat diperbandingkan satu sama lain.

Pilihan desain penjamin simpanan dipengaruhi banyak faktor, utamanya faktor mandat dan PPO. Faktor selain itu diantaranya struktur dan sistem perbankan, sistem perekonomian, hukum kebangkrutan atau kepailitan, serta sistem akuntansi dan keterbukaan informasi.

Berikut beberapa ragam variasi desain sistem penjamin simpanan:

Implisit atau Eksplisit
Suatu negara dapat memilih memberikan penjaminan secara implisit terhadap simpanan yang ada pada perbankannya. Pada pilihan ini, tidak ada peraturan perundangan atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani penjaminan simpanan. Namun dalam kondisi sistem perekonomian yang memburuk atau apabila terjadi kegagalan bank yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem perbankan, negara tersebut dapat mengaktivasi pemberian penjaminan terhadap kewajiban bank, baik untuk penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas (limited guarantee) maupun penjaminan menyeluruh (blanket guarantee).

Dalam penjaminan secara implisit, industri perbankan tidak terbebani oleh pembayaran premi dan pemenuhan persyaratan atau kewajiban penjaminan lainnya di muka. Akan tetapi tidak adanya mekanisme formal yang dapat mempercepat nasabah mendapatkan kembali simpanannya jika bank dicabut izinnya, mengharuskan setiap nasabah untuk selalu memonitor kondisi keuangan bank dan pada kondisi tertentu hal tersebut dapat menyebabkan nasabah menjadi rentan dan mudah panik.

Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, praktek terbaik penjaminan simpanan saat ini dilakukan secara eksplisit dengan menetapkan peraturan perundangan dan membentuk/menugaskan lembaga tertentu sebagai pelaksana penjaminan.

Blanket Guarantee atau Limited Guarantee
Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan akan terjaga pada titik tertinggi apabila negara memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank. Namun untuk mendapat manfaat maksimal tersebut perlu pula mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan. Penjaminan menyeluruh akan dapat memberi beban terhadap keuangan negara, selain dapat pula menimbulkan moral hazard.

Dalam hal pembiayaan blanket guarantee dibebankan kepada industri perbankan, premi penjaminan yang dibayar bank akan menjadi relatif tinggi. Oleh karena itu, pembiayaan blanket guarantee umumnya didukung pendanaan dari Pemerintah. Sebagai dampak samping blanket guarantee, bankir cenderung menjadi kurang hati-hati dalam mengelola usahanya, sementara nasabah tidak terdorong untuk memonitor kondisi keuangan bank di mana simpanannya ditempatkan. Blanket guarantee umumnya hanya diterapkan sementara ketika suatu negara menghadapi krisis atau gangguan pada stabilitas sistem perbankannya.

Sistem penjaminan simpanan sampai jumlah tertentu (limited guarantee) merupakan upaya untuk mengurangi dampak samping dari blanket guarantee. Nasabah kecil yang umumnya tidak mempunyai akses informasi dan kemampuan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan suatu bank perlu dilindungi. Nasabah ini seringkali bereaksi berlebihan terhadap rumors mengenai keadaan suatu bank yang dapat menimbulkan bank runs atau sebaliknya terlambat mengambil tindakan untuk menyelamatkan simpanannya. Penjaminan terbatas merupakan praktek terbaik yang diterapkan di banyak negara dan merupakan Core Principles yang menjadi indikator efektifitas suatu sistem penjaminan simpanan.

Lembaga Pemerintah, Swasta, atau Gabungan
Pengelola penjaminan simpanan dapat merupakan lembaga Pemerintah, swasta, atau gabungan. Apabila dipilih lembaga Pemerintah sebagai pelaksana penjaminan, dapat dilakukan dengan membentuk lembaga khusus tersendiri atau membentuk unit pada lembaga pengawas perbankan, bank sentral, atau kementerian keuangan. Sedangkan penjamin simpanan yang dilaksanakan oleh lembaga yang berstatus swasta murni pada umumnya pembentukannya dilakukan oleh asosiasi perbankan.

Status lembaga penjamin simpanan dapat pula merupakan lembaga gabungan dengan memasukkan unsur dari Pemerintah dan swasta. Pemilihan bentuk lembaga sebagai pelaksana penjaminan sangat tergantung pada mandat yang diberikan pada lembaga tersebut. Di beberapa negara yang mempunyai kebijakan membatasi peran Pemerintah dalam dunia usaha, lembaga penjaminan dirancang hanya bertugas membayar klaim penjaminan simpanan dan dikelola oleh asosiasi perbankan. Namun apabila penjamin simpanan dirancang memiliki wewenang yang lebih luas, termasuk misalnya memiliki beberapa kewenangan publik atau quasi judisial, pelaksanaan penjaminan akan dilakukan oleh lembaga Pemerintah.

Pay Box atau Risk Minimizer
Ditinjau dari sisi mandatnya, penjamin simpanan dapat bervariasi dari yang bermandat hanya melakukan pembayaran klaim (paybox); melakukan pembayaran klaim penjaminan dan fungsi resolusi bank (paybox plus); melakukan pembayaran klaim penjaminan dan berperan aktif dalam pemilihan opsi resolusi sebagai upaya meminimalkan biaya kegagalan bank (loss minimizer), sampai melakukan langkah yang komprehensif untuk meminimal risiko kegagalan bank (risk minimizer).

Sebagai risk minimizer, penjamin simpanan tidak hanya melakukan pembayaran klaim penjaminan, melaksanakan fungsi resolusi bank, dan meminimalkan biaya kegagalan bank, melainkan juga melakukan pengawasan prudensial dan melakukan intervensi terhadap bank bermasalah. Perbedaan mandat tersebut dapat berimplikasi pada struktur organisasi, tata kelola, program penjaminan, pendanaan, serta wewenang yang dimiliki oleh penjamin simpanan.

Baca Lanjutannya...

03 February 2017

Asymmetric Information

Untuk meningkatkan disiplin pasar, dalam Basel II Pilar 3, bank diwajibkan mengungkapkan informasi tertentu seperti portofolio aktiva dan profil risikonya agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mengawasi bank. Namun tidak semua lapisan masyarakat dapat diharapkan untuk melakukan disiplin pasar.

Persepsi pasar terhadap suatu bank dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan dan kelengkapan data/informasi bank, serta kemampuan nasabah penyimpan, kreditur, serta investor dalam menilai kondisi bank berdasarkan data/informasi yang tersedia.

Bank merupakan pihak yang paling mengetahui mengenai kondisi keuangannya termasuk prospek dan risiko yang dihadapinya, dibandingkan nasabah penyimpan, kreditur, dan investor. Untuk mengatasi ketidakseimbangan atau kesenjangan informasi (asymmetric information) tersebut, harus ada mekanisme yang mewajibkan bank mengungkapkan (disclose) semua fakta material mengenai kondisi keuangannya. Nasabah penyimpan akan menghadapi risiko simpanannya tidak dapat kembali tepat waktu dan/atau tepat jumlah apabila kondisi keuangan bank memburuk yang dapat berakhir pada pencabutan izin usaha bank tersebut.

Pada dasarnya risiko yang dihadapi nasabah penyimpan karena adanya asymmetric information tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua tipe/jenis, yakni: Pertama, bank mengungkapkan semua fakta material mengenai kondisi keuangannya, namun nasabah tidak mempunyai pengetahuan atau kemampuan untuk memahami informasi yang diungkapkan; dan Kedua, bank mengungkapkan informasi yang tidak benar mengenai kondisi keuangannya.

Sistem penjaminan simpanan dirancang dan ditujukan untuk dapat melindungi nasabah penyimpan yang memiliki simpanan sampai jumlah tertentu (nasabah kecil) dari kedua tipe/jenis risiko tersebut. Sedangkan nasabah yang memiliki simpanan lebih besar dari jumlah yang dijamin (nasabah besar) diharapkan dapat melakukan analisa data/informasi bank, mengukur risiko penempatan dananya pada bank tersebut, serta melakukan upaya untuk melindungi dirinya sendiri.

Dalam perspektif penjaminan simpanan, terdapat beberapa kebijakan/program yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan disiplin pasar, antara lain; pembatasan jumlah yang dijamin; pembatasan jenis yang dijamin; pembatasan pihak yang dijamin; koasuransi; dan pengaturan prioritas pembagian hasil likuidasi bank.

Adanya pembatasan jumlah simpanan yang dijamin menyebabkan nasabah yang simpanannya melebihi jumlah yang dijamin akan menghadapi risiko kerugian apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup karena sebagian simpanannya tidak dijamin. Oleh karena itu, nasabah besar akan terdorong untuk selalu memonitor kondisi dan kinerja bank.

Penjamin simpanan dapat pula tidak menjamin jenis simpanan tertentu yang dipandang lebih sebagai sarana investasi (investment tools) atau hanya dimiliki kategori nasabah tertentu saja, misalnya NCD, structured deposits, dan simpanan dalam valuta asing. Peningkatan disiplin pasar dapat pula dilakukan dengan mengecualikan penjaminan terhadap simpanan milik pihak yang dipandang memiliki kemampuan melakukan analisa kondisi bank, seperti : bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan perusahaan sekuritas. Para institutional investors tersebut dipandang mampu melindungi dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan perlindungan dari sistem penjaminan simpanan.

Penerapan koasuransi juga dimaksudkan sebagai upaya mendorong disiplin pasar. Koasuransi dalam penjaminan simpanan diartikan sebagai pembagian risiko antara nasabah penyimpan dengan penjamin simpanan. Dalam penetapan lingkup penjaminan, setiap nasabah penyimpan dirancang ikut menanggung sebagian risiko atas pilihan penempatan dananya pada bank tertentu. Sebagai misal, lingkup penjaminan ditetapkan maksimal Rp1 milyar dengan koasuransi 90%, artinya nasabah yang memiliki simpanan Rp500 juta hanya akan dijamin sebesar Rp450 juta (90%), sementara yang Rp50 juta (10%) tidak dijamin dan dipandang sebagai risiko yang harus ditanggung oleh nasabah atas keputusannya menempatkan simpanan pada bank tersebut.

Dalam penetapan prioritas pembagian hasil likuidasi bank (creditor hierarchy atau depositor preference), pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah. Posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya lazimnya digantikan oleh penjamin simpanan (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Nasabah penyimpan yang dijamin akan ditetapkan memiliki prioritas dibandingkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan unsecured creditur lain, dalam hal pihak yang disebut belakangan diharapkan melakukan disiplin pasar.

Sebaliknya seluruh nasabah penyimpan dapat pula ditetapkan memiliki prioritas yang sama dalam pembagian hasil likuidasi bank dengan unsecured creditur lainnya (pari passu), dalam hal tidak diharapkan disiplin pasar dari mereka.

Dalam penjaminan LPS, hanya diterapkan 2 kebijakan dalam rangka mendorong disiplin pasar, yakni; (1) pembatasan jumlah simpanan yang dijamin maksimal Rp 2 milyar per nasabah per bank, dan (2) penetapan hak subrogasi LPS memiliki prioritas dibanding pembayaran simpanan yang tidak dijamin dan kewajiban kepada kreditur lain dalam pembagian hasil likuidasi bank.

Untuk butir (2), selain dimaksudkan untuk mendorong nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lain melakukan disiplin pasar, juga dimaksudkan untuk meningkatkan recovery rate bagi LPS sehingga biaya penjaminan simpanan dapat ditekan. Melalui peningkatan penerapan manajemen risiko, tata kelola yg baik, disiplin pengaturan, dan disiplin pasar diharapkan moral hazard pada perbankan dapat tercegah sehingga pada akhirnya akan dapat terbentuk sosok perbankan yang lebih sehat, stabil, serta bermanfaat bagi rakyat banyak. *****

Baca Lanjutannya...

02 February 2017

Moral Hazard & Disiplin Pasar

Moral hazard merupakan insentif untuk mengambil risiko yang lebih besar atau tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan karena adanya pihak lain yang mengambil alih risiko yang dihadapinya. Istilah ini sering digunakan pada industri perasuransian.

Dalam bahasa sederhana, moral hazard dapat terjemahkan sebagai perilaku sembrono dari seseorang karena merasa ada pihak lain yang akan menanggung risiko yang timbul akibat tindakan/keputusan-nya.

Adanya penjamin simpanan dipandang dapat menyebabkan nasabah penyimpan menjadi abai terhadap kondisi kesehatan bank tempat menyimpan uangnya, serta pengelola bank dapat terdorong mengambil risiko berlebihan karena merasa telah membayar premi penjaminan dan mengalihkan (sebagian) risikonya kepada penjamin simpanan. Moral hazard paling besar bagi nasabah penyimpan dan pengelola bank terjadi apabila penjaminan diberikan terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee).

Untuk mengatasi efek samping penjaminan simpanan tersebut, penjaminan simpanan harus didisain dengan mempertimbangkan bauran kebijakan (policy mix) yang pas dan tepat antara tujuan melindungi simpanan nasabah dengan mencegah moral hazard. Lingkup penjaminan jangan ditetapkan terlalu rendah/sempit agar sebagian terbesar nasabah penyimpan dapat terlindungi, namun jangan pula ditetapkan terlalu tinggi/luas agar tidak mendorong moral hazard bagi nasabah dan pengelola bank.

Secara umum upaya mencegah moral hazard dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni manajemen risiko dan tata kelola yang baik (risk management & good governance); disiplin pengaturan (regulatory discipline); dan disiplin pasar (market discipline). Adanya penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dapat membantu bank memastikan arah dan strateginya sesuai dan konsisten dengan yang direncanakan. Hal tersebut akan mencegah pengelola bank melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko (risk appetite dan risk tolerance) yang telah digariskan.

Dalam menghadapi persaingan atau mengejar laba, pengelola bank dapat tergoda untuk mengabaikan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dengan memangkas sumber daya pengawasan internal atau meniadakan prosedur tertentu dalam pengendalian risiko. Disiplin pengaturan merupakan satu upaya dengan menggunakan kewenangan publik guna mengurangi insentif bank mengambil risiko yang berlebihan.

Pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan disiplin pengaturan antara lain: pengawas bank, bank sentral, pengawas transaksi keuangan, pengawas pasar modal, dan penjamin simpanan. Kewenangan masing-masing otoritas tersebut lazimnya diberikan berdasarkan undang-undang. Dengan menggunakan kewenangan publik, disiplin pengaturan dipandang merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah moral hazard.

Beberapa contoh bentuk disiplin pengaturan yang menjadi wewenang pengawas bank antara lain berupa pengaturan persyaratan permodalan dan tingkat kesehatan bank, serta uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) pengelola bank.

Sedangkan contoh bentuk disiplin pengaturan yang dapat dilakukan penjamin simpanan berupa penerapan sistem premi diferensial atau premi penjaminan berbasis risiko. Penerapan tingkat premi yang didasarkan pada risiko kegagalan masing-masing bank juga merupakan bentuk intervensi dini (early intervention) penjamin simpanan dalam mengendalikan perilaku bank yang berisiko.

Sedangkan disiplin pasar merupakan tindakan yang dilakukan masyarakat, utamanya nasabah penyimpan, kreditur, serta investor dalam hal bank telah go public, untuk mendisiplinkan bank. Tindakan disiplin tersebut dilakukan terhadap bank yang dipersepsikan mengambil risiko terlalu besar atau melakukan tindakan yang dipandang tidak sejalan dengan kepentingan nasabah penyimpan, kreditur, atau investor. Disiplin pasar dapat diwujudkan antara lain dengan menarik/memindahkan simpanan, atau menjual surat utang, obligasi, dan saham yang diterbitkan bank tersebut.

Baca Lanjutannya...

Rush dan Bank Runs, apa dampaknya?

Beberapa waktu lalu media sosial kita dihebohkan dengan adanya seruan untuk melakukan rush, suatu tindakan yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem perbankan.

Sebagaimana dimaklumi, peran bank dalam perekonomian modern adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediary). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan), mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sumber pendanaan bank utamanya berasal dari penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, deposito yang selanjutnya menjadi kewajiban bank yang umumnya mempunyai masa jatuh tempo jangka pendek. Sedangkan sebagian terbesar aset bank berupa penyaluran kredit yang pada umumnya mempunyai masa jatuh tempo jangka panjang.

Dengan karakteristik tersebut, apabila masyarakat menilai suatu bank menghadapi permasalahan, baik nyata maupun hanya persepsi, dan kemudian bereaksi secara bersamaan menarik simpanannya (rush atau bank runs), dapat dipastikan bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas karena bank hanya memelihara aset likuid dalam jumlah terbatas.

Pada kondisi tersebut, bank tidak dapat meminta debitur untuk segera melunasi kredit yang belum jatuh tempo. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya, bank akan menjual asetnya yang seringkali dengan harga relatif murah (fire sale) karena bank dalam kondisi tertekan; atau meminjam kepada bank lain dengan bunga relatif tinggi karena bank lain memperhitungkan risiko pengembaliannya; atau meminjam kepada bank sentral dengan memenuhi beberapa persyaratan dan jaminan. Pada galibnya, rush atau bank runs dapat menyebabkan suatu bank yang sehat sekalipun akan menjadi tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Kesulitan pada satu bank berpotensi menyebabkan efek berantai (contagion effect) pada bank-bank lain, mengingat dalam kondisi panik nasabah sulit membedakan antara bank sehat dan bank yang bermasalah. Pengaruh bank runs dalam sistem perbankan dan perekonomian ditentukan oleh tindak lanjut yang dilakukan nasabah setelah penarikan dana tersebut.

Ada tiga kemungkinan tindakan yang diambil nasabah sesuai kepercayaannya pada sistem perbankan, yaitu:

1. Menyimpan dananya pada bank lain yang dipersepsikan lebih sehat (direct redeposit).Pilihan ini akan berpengaruh pada likuiditas satu bank namun tidak berpengaruh terhadap likuiditas sistem perbankan secara keseluruhan.
2. Mengalihkan dananya pada instrumen investasi lain seperti saham, obligasi, reksadana,atau pasar uang. Pilihan ini akan berpengaruh pada likuiditas sistem perbankan meskipun ada kemungkinan perusahaan sekuritas akan menempatkan kembali dana tersebut kedalam sistem perbankan (indirect redeposit).
3. Menggunakan dananya untuk membeli barang konsumsi, membeli valuta asing, atau menyimpan dananya di bawah bantal atau di luar negeri. Pilihan ini akan dapat mengurangi likuiditas sistem perbankan secara signifikan, meningkatkan angka inflasi, serta dapat memperlemah nilai tukar.

Apabila kepercayaan masyarakat sudah sedemikian rendah sehingga sebagian besar masyarakat memilih tindakan yang ketiga, maka akan terasa bahwa harga atau nilai kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan itu ternyata sangat mahal, sebagaimana yang pernah kita alami pada krisis tahun 1997/1998.

Upaya melindungi nasabah bank, mencegah rush atau bank runs, dan memelihara stabilitas sistem perbankan merupakan beberapa di antara tujuan kebijakan publik dari sistem penjaminan simpanan. Dengan adanya penjaminan simpanan diharapkan nasabah akan dapat menjadi tenang, merasa aman, dan tidak tergoda untuk melakukan rush. *****

Baca Lanjutannya...

31 January 2017

PPO Penjaminan Simpanan

Pada saat membangun atau mengembangkan suatu sistem penjaminan simpanan, setiap negara perlu merumuskan terlebih dahulu tujuan kebijakan publik atau public policy objective (PPO). Dalam Core Principles for Effective Deposit Insurance System, PPO merupakan prinsip pertama yang akan dilakukan asesmen atau dinilai.

Perumusan PPO memberi dasar argumen dan pemahaman kepada masyarakat mengenai tujuan yang ingin dicapai dari keberadaan sistem penjamin simpanan tersebut.

Perumusan PPO merupakan proses yang komplek dengan mempertimbangkan banyak faktor, antara lain struktur dan sistem perbankan, kerangka kerja pengawasan perbankan, hukum kepailitan atau kebangkrutan, serta standar akuntansi dan penyajian laporan keuangan yang berlaku di negara tersebut. Penjamin simpanan dapat menetapkan beberapa PPO yang menjadi fokus utama dan dievaluasi secara berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian, keuangan, maupun kondisi sosial kemasyarakatan. Beberapa PPO yang lazim dipertimbangkan sebagai dasar penerapan sistem penjamin simpanan antara lain:

Turut Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan
Penjaminan simpanan dirancang sebagai unsur dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan, bersama fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan, fungsi lender of last resort dan sistem pembayaran, serta fungsi pengelolaan keuangan negara dan manajemen krisis. Kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut dalam mekanisme yang terintegrasi diharapkan dapat mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan. Kerangka kerja tersebut disebut dengan jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) atau financial system safety nets (FSSN).

Melindungi Simpanan Nasabah Kecil
Informasi mengenai kondisi suatu bank tidak mudah diketahui dan dipahami semua nasabah. Nasabah yang tidak mempunyai akses dan/atau kemampuan menganalisa kondisi suatu bank tempat menitipkan uangnya perlu mendapatkan perlindungan. Nasabah yang masuk dalam kategori tersebut umumnya memiliki saldo simpanan tidak banyak atau sering pula disebut sebagai nasabah kecil (small unsophisticated depositors). Adanya perlindungan terhadap nasabah kecil akan memberikan keamanan atas simpanan mereka dan membebaskan mereka dari kebutuhan untuk memantau kondisi bank. Nasabah besar dipandang memiliki akses dan/atau kemampuan menilai kondisi bank sehingga mereka diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri. Selain itu, nasabah besar yang sebagian simpanannya tidak dijamin didorong untuk melakukan disiplin pasar (market discipline).

Mencegah Terjadinya Bank Runs/Rush
Bank sebagai perantara keuangan mempunyai karakteristik sebagian besar kewajibannya (simpanan) bersifat jangka pendek sementara sebagian besar kekayaannya (kredit) bersifat jangka panjang. Apabila terjadi penarikan simpanan secara bersamaan (bank runs/rush), bank yang sehat sekalipun akan mengalami kesulitan likuiditas yang pada akhirnya akan mendorong bank menjual aset dengan harga murah dan/atau meminjam dengan bunga tinggi yang dapat berujung menjadi bank gagal. Ketiadaan penjamin simpanan berpotensi menyebabkan masyarakat menjadi sensitif dan rentan terhadap rumor atas kondisi suatu bank. Hal tersebut akan mudah mendorong nasabah memindahkan simpanannya dari satu bank yang dipersepsikan kurang sehat kepada bank lain yang dipersepsikan sehat atau ke instrumen investasi lainnya. Terjadinya bank runs/rush pada satu bank akan dapat memicu efek berantai pada bank lainnya dan seluruh sistem perbankan. Penjaminan simpanan diharapkan dapat mengurangi sensitifitas dan kerentanan nasabah sehingga dapat mencegah bank runs/rush.

Membuat Mekanisme Formal Dalam Penyelesaian Bank Gagal
Pendirian penjamin simpanan dimaksudkan sebagai upaya memberi kepastian hukum dan membuat mekanisme formal dalam penyelesaian (resolusi) bank gagal. Penyelesaian bank gagal memerlukan mekanisme formal, metodologi dan keahlian khusus, serta otoritas tertentu yang diberi kewenangan. Dengan keseluruhan perangkat tersebut, diharapkan pengaruh buruk (adverse effect) kegagalan bank terhadap sistem perbankan dapat diminimalkan. Untuk mendukung PPO tersebut, penjamin simpanan juga diberikan kewenangan melaksanakan resolusi bank gagal.

Penyelesaian Krisis Keuangan
Umumnya pendirian lembaga penjamin simpanan pada suatu negara diawali dengan terjadinya krisis atau gangguan pada stabilitas sistem keuangan di negara tersebut. Hanya sedikit negara yang mendirikan penjaminan simpanan tanpa didahului terjadinya krisis, satu contoh diantaranya pendirian PDIC di Filipina pada tahun 1963. Dengan adanya penjaminan simpanan, sebagian permasalahan sebagai dampak krisis atau gangguan pada stabilitas sistem keuangan akan dapat dikelola dan diselesaikan. Namun demikian, penjamin simpanan secara sendiri tidak akan dapat menyelesaikan seluruh permasalahan krisis atau gangguan pada stabilitas sistem keuangan.

Redistribusi Biaya Kegagalan Bank
Tanpa adanya sistem penjamin simpanan, biaya kegagalan bank akan dapat menjadi beban negara (taxpayer money). Hal tersebut tentu tidak adil bagi masyarakat karena harus ikut menanggung biaya kegagalan bank, sementara tidak menikmati secara langsung keuntungan yang diperoleh perbankan. Sistem penjamin simpanan akan mengurangi beban negara karena sebagian atau seluruh biaya kegagalan bank dibebankan pada industri perbankan melalui pembayaran premi penjaminan dan/atau kontribusi lainnya. Pembebanan biaya kegagalan bank dapat ditetapkan dengan tarif yang sama (flat rate) atau didasarkan pada risiko kegagalan setiap bank (risk-based).

Mendorong Kompetisi Yang Lebih Sehat Antar Bank
Ketiadaan penjamin simpanan akan menyebabkan masyarakat cenderung hanya akan menyimpan uangnya di bank besar atau milik Pemerintah karena dipersepsikan lebih aman. Persepsi tersebut timbul antara lain karena bank besar atau bank milik Pemerintah mempunyai portofolio risiko lebih tersebar, dianggap terlalu besar untuk gagal (too big to fail), atau mendapat penjaminan implisit dari Pemerintah. Dengan adanya penjaminan simpanan, bank kecil diharapkan dapat berkompetisi dengan bank besar terutama dalam pengerahan simpanan sampai jumlah yang dijamin, karena bagi nasabah penyimpan posisi semua bank tidak berbeda dari sisi perlindungan terhadap simpanan.

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Pendirian penjaminan simpanan diharapkan dapat menarik uang di bawah bantal karena masyarakat akan terdorong menempatkan dananya pada sistem perbankan. Peningkatan jumlah simpanan masyarakat merupakan sumber pendanaan bagi perekonomian. Adanya penjaminan simpanan juga akan menurunkan premi risiko yang diminta oleh nasabah penyimpan atas penempatan dananya pada sistem perbankan, sehingga bank dapat menurunkan tingkat bunga kredit. Bunga kredit yang relatif lebih rendah akan menstimulasi investasi dan aktivitas produktif lain. Penjaminan simpanan dapat memainkan peran penting dalam financial inclusion.

Memudahkan Transisi Dari Blanket Guarantee
Pendirian penjamin simpanan dapat menjadi sarana dalam memfasilitasi peralihan (transisi) dari blanket guarantee. Dengan adanya penjaminan simpanan, Pemerintah dapat secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan, serta membantu mengelola transisi dan perubahan perilaku masyarakat. Keberhasilan PPO ini perlu ditunjang dengan perencanaan dan transisi yang didisain dengan baik, komitmen untuk menerapkan penjaminan terbatas, dan dukungan stabilitas sistem perbankan.

Review PPO
Dalam rangka mendukung pencapaian PPO yang telah ditetapkan, setiap feature dari sistem penjaminan simpanan yang meliputi antara lain: fungsi, tugas, wewenang, kelembagaan, tata kelola, dan skim/program penjamin simpanan, harus ditetapkan selaras dengan PPO tersebut. Secara periodik juga perlu dilakukan evaluasi untuk memastikan PPO yang telah ditetapkan masih relevan dengan perkembangan kondisi perbankan, dan untuk memastikan setiap feature dan skim penjaminan masih konsisten dengan PPO-nya.

Sebagai ilustrasi, dalam hal melindungi simpanan nasabah kecil ditetapkan menjadi PPO, jenis dan nilai simpanan yang dijamin, serta program penjaminan lainnya harus dirancang sesuai dan konsisten dengan PPO tersebut. Beberapa negara yang memiliki PPO melindungi simpanan nasabah kecil, tidak menjamin simpanan dalam valuta asing, structured deposits, dan negotiable certificate of deposits (NCD), karena jenis simpanan tersebut dipandang tidak sesuai dengan karakteristik nasabah kecil. Simpanan dalam valuta asing dan structured deposit menghadapi potensi risiko pasar. Sedangkan untuk NCD, disamping sifatnya atas unjuk (bearer), agar layak dinegosiasikan umumnya memiliki nominal yang besar sehingga NCD sering pula disebut jumbo deposits. Selain hal-hal tersebut, untuk melindungi nasabah kecil, persyaratan dan kondisi penjaminan yang tidak mudah dipahami oleh kelompok nasabah ini juga perlu dihindari.

Baca Lanjutannya...

Resensi Buku

“Apakah negara mempunyai kewajiban asasi untuk menjamin simpanan nasabah bank? Bukankah hubungan antara nasabah penyimpan dengan bank merupakan hubungan perdata biasa atas dasar kepercayaan yang tidak memerlukan campur-tangan negara?”

Pertanyaan di atas diajukan anggota DPR kepada wakil Pemerintah pada saat pembahasan awal RUU LPS. Menanggapi pertanyaan tersebut, wakil Pemerintah kemudian memaparkan peran penjaminan simpanan sebagai satu alat atau komponen yang digunakan dalam memelihara stabilitas sistem perbankan, stabilitas sistem perbankan diperlukan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, kesejahteraan dan kemakmuran merupakan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Negara memiliki kewajiban asasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, salah satunya dilakukan melalui pemberian penjaminan terhadap simpanan nasabah bank. Pada 22 September 2016 ini, LPS memasuki usia 11 tahun dan telah memiliki cukup banyak pengalaman dalam melaksanakan fungsi dan tugas yang diamanatkan kepadanya. Sebanyak 73 bank telah dibayar klaim penjaminannya dan dilikuidasi, serta 1 bank berdampak sistemik telah diselamatkan dan dijual kembali ke pasar.

Dalam kiprahnya melaksanakan fungsi penjaminan simpanan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, LPS menghadapi sejumlah tantangan. Satu diantara tantangannya berupa upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai kelembagaan dan programnya. Meski secara periodik LPS telah melakukan program penyuluhan dan publikasi, mengingat luasnya cakupan wilayah negara kita dan beragamnya tingkat pendidikan masyarakat, upaya tersebut masih perlu terus ditingkatkan.

Sejauh ini masih terbatas buku, karya ilmiah, atau artikel yang membahas seluk beluk LPS. Minimnya referensi tersebut, menjadi salah satu kendala dalam upaya memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai LPS dan programnya, termasuk manfaat dan keterbatasannya. Buku ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan referensi dalam memahami kelembagaan LPS dan program yang dilaksanakannya.

Seluk beluk sistem penjaminan simpanan dari konsep dasar, skim/program penjaminan, pendanaan, resolusi bank, tata kelola, serta prinsip dasar (core principles) bagi sistem penjaminan simpanan yang efektif dikupas dalam buku ini. Beberapa konsep pengaturan perbankan terkini seperti recovery and resolution plan, bail-in, CoCos, TLAC, serta pelajaran dari krisis Siprus dan resolusi Banco Espirito Santo juga dipaparkan.

Baca Lanjutannya...

18 January 2017

Topik Pilihan Buku " Mengupas Peran (Penting) LPS dalam Sistem Perbankan"

Beberapa topik dan pokok bahasan pilihan dalam buku "Mengupas Peran (Penting) LPS dalam Sistem Perbankan" akan disajikan secara berseri dalam blog ini. Sebagian tulisan tersebut sudah pernah dipublikasikan dalam blog ini dengan judul yang sama maupun berbeda. Dalam rangka penyusunan dan penerbitan buku tersebut, data dan informasi dalam tulisan tersebut telah disunting dan diperbaharui.

Materi tulisan tersebut dapat pula dibaca pada Fanpage Facebook "Mengupas Peran LPS" dengan alamat: https://www.facebook.com/BUKULPS/

Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Baca Lanjutannya...

10 October 2016

Kilas Balik Kelahiran LPS

Pada tanggal 22 September 2016 ini, LPS akan genap berusia 11 tahun dalam kiprahnya melaksanakan penjaminan simpanan nasabah bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Dalam kurun waktu tersebut, lebih dari 70 bank telah dibayar klaim penjaminannya dan dilikuidasi, serta 1 bank diselamatkan. Berikut akan dipaparkan sekelumit sejarah sistem penjaminan simpanan, termasuk kilas balik kelahiran LPS.

Penjaminan simpanan awal mulanya dapat dirunut pada penetapan the Banking Act yang ditandatangani oleh Presiden Amerika SerikatFranklin D. Roosevelt pada 16 Juni 1933. Dalam the Banking Act tersebut diamanatkan pembentukan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memulihkan stabilitas sistem perbankan yang mengalami guncangan akibat the Great Depression.

Pemberlakuan penjaminan kewajiban bank sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah negara bagian di Amerika Serikat beberapa dekade sebelumnya, namun pelaksanaan penjaminan tersebut tidak berkesinambungan akibat tingginya angka kegagalan bank. Jumlah rata-rata kegagalan bank di Amerika Serikat antara tahun 1921 – 1929 mencapai sekitar 600 bank per tahun. Gelombang kegagalan bank tersebut telah mendorong masyarakat untuk menarik simpanannya dari sistem perbankan (bank runs).

Dalam rangka mengantisipasi kebutuhan likuiditasnya, bank membatasi penyaluran kredit dan menjual asetnya. Penjualan aset dalam kondisi krisis menyebabkan harga jualnya jatuh dan semakin memperburuk kinerja bank. Sementara itu dampak penarikan dana masyarakat semakin meluas. Pada akhirnya banyak bank yang mengalami permasalahan solvabilitas dan ditutup. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Pada kesempatan penandatanganan the Banking Act tersebut, President F.D. Roosevelt menyampaikan pidato yang kutipannya terkenal hingga kini.

“After all, there is an element in the readjustment of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people.”

Sejak berdirinya FDIC, beberapa negara mulai mempertimbangkan perlu dan pentingnya fungsi penjaminan simpanan dalam mendukung stabilitas sistem perbankan. Namun pada waktu itu belum banyak negara yang secara formal mengikutinya dengan mendirikan lembaga sejenis. Beberapa lembaga sejenis yang tercatat didirikan setelah FDIC antara lain : Deposit Insurance and Credit Guarantee Corporation (DICGC) – India pada tahun 1961, Philippines Deposit Insurance Corporation (PDIC) pada tahun 1963, Canada Deposit Insurance Corporation (CDIC) pada tahun 1967, dan Deposit Insurance Corporation of Japan (DICJ) pada tahun 1971.

Di Indonesia sendiri gagasan pembentukan lembaga sejenis telah ada pada tahun 1968 sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 30 UU Bank Sentral Nomor 13 Tahun 1968 yang menyebutkan bahwa “Dalam rangka pembinaan perbankan, maka jika keadaannya telah memungkinkan, untuk lebih menjamin uang fihak ketiga yang dipercayakan kepada bank-bank, dapat diadakan suatu asuransi deposito dengan tujuan pembinaan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.”

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan UU Bank Sentral tersebut, ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang Pada Bank yang mengatur bahwa semua bank kecuali bank asing diwajibkan menjaminkan simpanan yang berbentuk giro, deposito, maupun tabungan. Bank Indonesia bertindak sebagai pelaksana penjaminan dengan jumlah simpanan yang dijamin untuk tiap deposan paling tinggi sebesar Rp1 juta dan premi penjaminan sebesar 0,5% (lima perseribu) dari jumlah simpanan yang ada pada bank. PP tersebut tidak terlaksana dan diterapkan pada waktu itu terutama karena adanya penolakan dari industri perbankan dengan alasan akan menimbulkan biaya tambahan, sementara industri perbankan masih dalam tahap konsolidasi.

Pada tahun 1997/1998, negara kita mengalami krisis yang berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional yang ditandai dengan penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan secara bersamaan dalam jumlah besar. Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat, Pemerintah memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank (blanket guarantee). Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keppres Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Pemerintah kemudian membentuk BPPN pada tahun 1998 yang salah satu tugasnya sebagai pelaksana penjaminan kewajiban pembayaran bank umum sampai tanggal 27 Pebruari 2004. Setelah itu, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2004 penjaminan bank umum dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3) yang merupakan unit di lingkungan Departemen Keuangan sebelum dialihkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sedangkan pelaksanaan penjaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR sejak 1998 dikelola oleh Bank Indonesia sampai kemudian dialihkan kepada LPS.

Gagasan pendirian lembaga penjamin simpanan kembali dimunculkan dalam pembahasan amandemen UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada tanggal 10 Nopember 1998, Pemerintah menetapkan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal 37B UU Perbankan tersebut ditetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana masyarakat tersebut dibentuk suatu lembaga penjamin simpanan. Pembentukan lembaga penjamin simpanan dan skim penjaminannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sebagai tindak lanjut ditetapkannya UU Perbankan tersebut, Departemen Keuangan bekerjasama dengan Bank Indonesia melakukan telaah dan kajian untuk mempersiapkan pembentukan lembaga penjamin simpanan. Pada tanggal 26 Januari 2001, Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 30/KMK.017/2001 mengenai pembentukan Kelompok Kerja Dalam Rangka Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (Pokja Pendirian LPS) yang beranggotakan unsur dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan BPPN. Pokja Pendirian LPS bertugas melakukan kajian mengenai pembentukan LPS, mempersiapkan rancangan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pendirian LPS, serta mempersiapkan pendirian dan operasional LPS.

Sesuai amanat UU Perbankan, pembentukan lembaga penjamin simpanan dan pengaturan skim penjaminannya diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam PP. Namun Pokja Pendirian LPS berpandangan pendirian dan pengaturan mengenai LPS dan skim penjaminannya kurang memadai apabila hanya ditetapkan dengan PP. Berdasarkan hasil telaah dan kajian, serta berdasarkan pengalaman negara lain, disimpulkan bahwa pengaturan mengenai lembaga dan program penjaminan simpanan harus ditetapkan dengan UU. Agar pelaksanaan penjaminan simpanan dapat efektif dan berkesinambungan, penjamin simpanan harus mempunyai kewenangan publik yang hanya dapat diberikan dengan undang-undang, antara lain untuk memungut premi, membayar klaim penjaminan, melakukan penyelesaian dan penanganan bank gagal, membatalkan kontrak yang merugikan bank gagal yang diselamatkan, mengambil alih hak dan wewenang RUPS, serta mengenakan sanksi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Menteri Keuangan mengajukan permohonan izin prakarsa penyusunan rancangan undang-undang tentang lembaga penjamin simpanan yang kemudian mendapatkan persetujuan dari Presiden pada 24 Desember 2001. Setelah melalui pembahasan yang panjang dan bernas, Pemerintah menyampaikan Rancangan UU (RUU) LPS kepada DPR pada bulan Nopember 2003 untuk mendapat persetujuan. Pembahasan RUU LPS dengan DPR dimulai pada awal Pebruari 2004 yang juga melibatkan Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya sebagai narasumber. Pada tanggal 24 Agustus 2004 Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU LPS dan mengajukan kepada Presiden untuk ditetapkan. Dengan ditetapkannya UU LPS oleh Presiden pada tanggal 22 September 2004, pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah bank di Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang kuat. UU LPS mulai berlaku efektif 12 bulan setelah diundangkan.

Dalam masa peralihan menuju penjaminan LPS, Pemerintah pada tanggal 18 Oktober 2004 menetapkan Keppres Nomor 95 tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Keppres Nomor 26 Tahun 1998 yang mengatur mengenai pengurangan lingkup dan pengakhiran program penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum. Sedangkan untuk pengakhiran penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR, Pemerintah pada tanggal 23 Mei 2005 menetapkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005.

Dalam rangka mempersiapkan operasional LPS, Pokja Pendirian LPS melakukan beberapa persiapan sebagai berikut: Pertama, penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan dari UU LPS yang meliputi rancangan Peraturan Pemerintah mengenai modal awal, surplus dan tingkat likuiditas LPS, serta penjaminan simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah; rancangan Peraturan LPS mengenai program penjaminan, penyelesaian dan penanganan bank gagal, serta likuidasi bank; dan rancangan Keputusan Dewan Komisioner mengenai struktur organisasi, kepegawaian, anggaran dan pelaporan, serta prosedur operasional; Kedua, penyiapan sistem informasi dan database bank yang meliputi juga data profil bank, direksi, komisaris, pemegang saham, dan data keuangan; Ketiga, memproses penetapan anggota Dewan Komisioner, penyusunan struktur organisasi, dan sistem kepegawaian; Keempat, penyusunan sistem akuntansi dan anggaran LPS. Sedangkan dalam rangka komunikasi publik, Pokja Pendirian LPS membuat iklan layanan masyarakat di media massa dan melakukan sosialisasi kepada bank umum, BPR, serta masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mengenai LPS, program penjaminan simpanan, dan pentahapan pengurangan penjaminan.

Pokja Pendirian LPS melakukan sosialisasi kepada BPR di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk bank umum selain sosialisasi juga dilakukan pelatihan training for trainers. Dengan berakhirnya program penjaminan Pemerintah pada tanggal 21 September 2005, penjaminan simpanan selanjutnya dilaksanakan oleh LPS. Dalam UU LPS diatur mengenai pentahapan pengurangan nilai simpanan yang dijamin oleh LPS, yakni seluruh simpanan nasabah sejak 22 September 2005, sebesar Rp5 milyar sejak 22 Maret 2006, Rp1 milyar sejak 22 September 2006, dan Rp100 juta sejak 22 Maret 2007. *****

Baca Lanjutannya...

19 September 2016

Peluncuran Buku "Mengupas Peran (Penting) LPS dalam Sistem Perbankan"

Para Pembaca Blog yang Budiman,
Beberapa waktu terakhir blog ini mengalami kevakuman karena saya sedang menyusun, mengedit, dan mengupdate beberapa tulisan dalam blog ini untuk dijadikan sebuah buku. Alhamdulillah proses penyusunan buku tersebut telah selesai dan dapat diluncurkan pada peringatan ulang tahun LPS yang ke-11 pada 22 September 2016.

Buku berjudul “Mengupas Peran (Penting) LPS dalam Sistem Perbankan” sebagian memuat tulisan pada blog ini dengan update data dan perubahan struktur pemaparan. Beberapa materi ditambahkan dalam buku tersebut utamanya terkait dengan perkembangan dalam pelaksanaan resolusi bank gagal sistemik, penetapan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), dan tata kelola LPS.

Semoga buku tersebut dapat membantu pembaca dalam memahami LPS dan peran yang dimainkannya dalam penjaminan simpanan nasabah bank, pemeliharaan stabilitas sistem perbankan, pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Apabila terdapat pendapat, masukan, atau pertanyaan terkait buku tersebut dapat disampaikan melalui comments atau email.
Buku tersebut dapat diperoleh di toko buku Gramedia dan beberapa toko online berikut.
Terima kasih.
http://www.lazada.co.id/buku-kita-mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan-11181348.html
http://www.bukupedia.com/id/book/id-108541/mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan.html
https://www.belbuk.com/mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan-p-54054.html
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/ekonomi-akuntansi/400bp5-jual-buku-buku-kita-mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan
http://www.bukabuku.com/browses/product/9786022811602/mengupas-peran-(penting)-lps-dalam-sistem-perbankan.html
http://munadibook.blogspot.co.id/2016/10/mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan.html
http://www.indie-publishing.com/mengupas-peran-penting-lps-dalam-sistem-perbankan/
 

Baca Lanjutannya...