13 February 2017

Penjaminan Simpanan Syariah

Pada Juli 2015 lalu, media massa ramai memberitakan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, DSN merekomendasikan pendirian BPJS Kesehatan Syariah dengan menggunakan akad dan praktik yang sesuai syariah. Berita tersebut memicu perdebatan mengingat sudah lebih 100 juta orang yang mengikuti program BPJS Kesehatan.

Sebagaimana dimaklumi, sejak konsep syariah diterima dan diterapkan dalam sistem perekonomian kita, beberapa kegiatan usaha telah memiliki sistem ganda (dual system) konvensional dan syariah, di antaranya perbankan, perasuransian, pembiayaan, pergadaian, dan dana pensiun.

Gagasan penerapan penjaminan simpanan syariah juga mengemuka akhir-akhir ini. Sejak beroperasi, LPS telah menjamin simpanan di bank syariah, namun belum menerapkan sistem penjaminan simpanan syariah.

Simpanan di Bank Syariah
Dalam pengerahan dana masyarakat, terdapat berbagai jenis kontrak (akad) yang lazim digunakan bank syariah, yakni: wadiah (titipan), qard (pinjaman), murabahah (biaya plus), mudharabah (bagi hasil), dan wakalah (keagenan).

Pada perbankan syariah di Indonesia, untuk produk simpanan (giro, tabungan, dan deposito) yang lazim digunakan hanya 2 jenis akad yakni wadiah dan mudharabah. Simpanan berakad wadiah merupakan titipan yang dijamin pengembalian pokoknya oleh bank, namun tidak boleh diperjanjikan adanya tambahan atau bonus (athaya). Pemberian tambahan atau bonus bagi nasabah didasari pada keikhlasan dari pihak bank semata.

Sedangkan simpanan berakad mudharabah menjanjikan bagi hasil dalam pengelolaan dananya. Pada simpanan berakad mudharabah, bank tidak boleh menjamin pengembalian pokok simpanannya kepada nasabah.

Dalam UU Perbankan Syariah, simpanan didefinisikan sebagai dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad wadiah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad mudharabah dalam bentuk deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu disebut investasi. Nasabah pemilik simpanan disebut nasabah penyimpan dan nasabah pemilik investasi disebut nasabah investor. Meskipun dalam UU tersebut dikategorikan sebagai investasi, simpanan berakad mudharabah termasuk dalam lingkup penjaminan LPS.

Dasar Penjaminan Simpanan Syariah
Saat ini sudah banyak negara yang menerapkan dual banking system, perbankan syariah dan konvensional, namun belum banyak yang menerapkan sistem penjaminan simpanan ganda (dual deposit insurance system). Dalam penerapan penjaminan simpanan syariah, terdapat perbedaan pandangan terkait dasar pemikiran dan operasionalisasinya.

Untuk simpanan dengan akad wadiah, qard, dan murabahah, ahli syariah menyepakati diperbolehkannya pemberian penjaminan atas simpanan tersebut. Pada akad wadiah misalnya, mengingat sifatnya berupa titipan, bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah. Pengembalian pokok simpanan tersebut dapat dijaminkan kembali oleh bank kepada pihak ketiga, dalam hal bank tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam skema ini, penjamin simpanan bertindak sebagai penjamin dari penjamin pertama (acting as guarantor to a guarantor). Sebagai alternatif, kedudukan penjamin simpanan dapat pula sebagai penjamin kedua atas simpanan berakad wadiah tersebut bersama-sama dengan bank (double guarantors).

Sedangkan pada akad mudharabah dan wakalah, ahli syariah menyepakati larangan bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah. Berdasarkan pandangan tersebut, kalangan ahli syariah klasik berpendapat tidak diperbolehkan adanya penjaminan terhadap simpanan dengan akad mudharabah dan wakalah. Sebagaimana dimaklumi, simpanan berakad mudharabah merupakan bentuk simpanan yang proporsinya paling besar di banyak negara yang memiliki perbankan syariah. Tidak diperbolehkannya penjaminan terhadap simpanan berakad mudharabah inilah yang menjadi salah satu alasan sistem penjaminan simpanan syariah belum banyak diterapkan. Simpanan berakad mudharabah umumnya juga dimiliki nasabah yang sudah paham risiko atau sudah siap menanggung rugi atas penempatan dananya sehingga tidak memerlukan penjaminan.

Sebaliknya kalangan pakar syariah kontemporer berpandangan bahwa bank memang dilarang memberikan penjaminan terhadap pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah kepada nasabah, namun pihak ketiga dalam hal ini penjamin simpanan diperbolehkan memberikan penjaminan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut, penjaminan atas pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah dapat pula dilakukan oleh penjamin simpanan. Mengingat bank tidak menjamin pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah, premi penjaminan dibebankan pada nisbah yang menjadi hak nasabah penyimpan.

Argumen lain yang menjadi dasar penerapan penjaminan simpanan syariah diantaranya bertujuan turut menjaga stabilitas sistem keuangan, pemberian perlakuan yang sama dengan simpanan pada perbankan konvensional, memberi kemaslahatan atau kebaikan kepada umat, dan dalam rangka menampung aspirasi nasabah penyimpan di perbankan syariah.

Sistem Penjaminan Simpanan Syariah
Dalam pelaksanaan penjaminan simpanan syariah, perlu dipenuhi beberapa prinsip syariah yang meliputi: tidak mengandung riba; gharar (ketidakpastian/ ketidakjelasan); dan maysir (judi). Untuk itu, terdapat beberapa hal yang perlu diatur berbeda dengan penjaminan simpanan konvensional, antara lain : (1) akad penjaminan; (2) pengelolaan dana penjaminan; dan (3) lingkup penjaminan.

Akad Penjaminan
Dalam penjaminan simpanan syariah, kontrak (akad) antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan harus jelas dan ditetapkan di awal. Beberapa akad antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan yang dapat dipertimbangkan antara lain: tabarru, kafalah, atau dharibah.

Dalam akad tabarru’, bank peserta mengumpulkan premi (fee) untuk dikelola oleh penjamin simpanan yang nantinya akan digunakan untuk membayar kembali simpanan nasabah ketika ada bank peserta penjaminan yang dicabut izinnya. Akad ini dapat dikombinasikan dengan akad ta’awuni yang dapat diartikan sebagai prinsip tolong menolong antara sesama peserta penjaminan. Akad tabarru’ ini lazim digunakan dalam kontrak asuransi komersial yang sering pula disebut sebagai akad takaful.

Kesediaan bank mengumpulkan premi (fee) dan saling menanggung sesama peserta penjaminan tersebut secara syariah harus didasarkan pada sifat sukarela (voluntary). Sehingga dalam sistem penjaminan simpanan, penerapan akad tabarru’ lebih tepat dilakukan untuk penjaminan simpanan yang sifat kepesertaannya tidak wajib. Meskipun penggunaan akad ini dapat saja diterapkan apabila semua bank syariah sepakat terhadap perlu dan pentingnya menjadi peserta penjaminan.

Pada akad ini, akumulasi premi tidak menjadi milik penjamin simpanan melainkan milik bersama bank peserta penjaminan. Penjamin simpanan hanya bertindak sebagai administrator penjaminan dan menerima fee dari pengelolaan dana penjaminan. Bank Deposit Security Fund (BDSF) di Sudan dan Jordan Deposit Insurance Corporation (JODIC) di Yordania mengunakan pendekatan akad ini.

Sedangkan akad kafalah merupakan suatu bentuk kontrak penjaminan yang secara bahasa memiliki arti a-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Pada akad ini, penjamin menjanjikan akan memenuhi hal yang diperjanjikan kepada pihak terjamin. Dalam sejarah, akad ini sering digunakan untuk jaminan pembayaran hutang, jaminan pengembalian barang, dan/atau jaminan menghadirkan orang.

Pada akad kafalah, penjamin simpanan (kafil) memberikan jaminan atas pembayaran kembali simpanan sampai jumlah tertentu kepada nasabah penyimpan (makfuul lahu) dalam hal bank (makfuul ‘anhu) tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dicabut izinnya. Sebagai imbalan atas pemberian jaminan tersebut, bank membayar fee (ujroh) secara periodik. Dengan adanya fee (ujroh) tersebut, akad ini disebut pula sebagai kafalah bil ujroh.

Mengacu pada praktek di masa lalu, sebagian ahli syariah berpandangan pembayaran fee (ujroh) atas akad kafalah tersebut tidak diperbolehkan mengingat tujuan akad tersebut untuk kebaikan dan tolong menolong semata. Sementara sebagian lainnya, termasuk DSN, berpandangan dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima fee (ujroh) sepanjang tidak memberatkan pihak terjamin (Fatwa No: 11/DSN-MUI/IV/2000).

Untuk memenuhi unsur tidak memberatkan, besarnya fee (ujroh) harus mempertimbangkan beban riil yang harus ditanggung oleh penjamin dalam melaksanakan penjaminan tersebut. Akumulasi fee (ujroh) yang dibayar bank peserta sepenuhnya menjadi milik penjamin simpanan. Malaysia Deposit Insurance Corporation menggunakan pendekatan akad kafalah bil ujroh ini.

Akad lain yang dapat diterapkan dalam sistem penjaminan simpanan syariah adalah dharibah, yang secara bahasa diterjemahkan sebagai pajak. Dalam akad ini, penjamin simpanan diposisikan sebagai unsur Pemerintah atau negara yang diberi kewenangan untuk menjamin simpanan dengan memungut premi kepada bank peserta penjaminan. Pemberian wewenang memungut premi penjaminan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemaslahatan kepada nasabah penyimpan berupa perlindungan atas keamanan simpanannya di bank syariah dan terciptanya stabilitas sistem perbankan syariah.

Selain akad tabarru, kafalah, dan dharibah, penggunaan akad lain yang sesuai syariah dapat pula dikaji untuk dapat diterapkan sesuai kondisi masing-masing negara.

Pengelolaan Dana Penjaminan
LPS telah membayar klaim penjaminan terhadap simpanan pada beberapa BPR Syariah yang dicabut izin usahanya. Nasabah penyimpan pada BPR Syariah tersebut tentu berharap pembayaran klaim penjaminan yang diterima berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan hasil kelolaan dana yang sesuai prinsip syariah.

Sampai saat ini, pengelolaan dana penjaminan dari penerimaan premi sampai pembayaran klaim penjaminan belum dipisahkan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Sehingga ketika LPS membayar klaim penjaminan kepada nasabah bank syariah yang dicabut izinnya, tidak dapat dipastikan apakah dana yang digunakan berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan/atau hasil investasi yang sesuai prinsip syariah. Meskipun saat ini LPS telah menempatkan dananya pada surat berharga negara syariah (Sukuk) yang nilainya melebihi jumlah seluruh premi penjaminan yang diterima dari perbankan syariah.

Belum diterapkannya sistem penjaminan terpisah tersebut mempertimbangkan antara lain masih relatif sedikitnya jumlah bank syariah, atau relatif kecilnya porsi aset/simpanan perbankan syariah dibanding aset/simpanan perbankan nasional. Dipandang dari sisi pendanaan, jumlah bank syariah yang relatif sedikit mengakibatkan tarif premi penjaminan simpanan syariah dapat menjadi lebih mahal karena hanya sedikit bank yang diminta berkontribusi menanggung biaya kegagalan bank syariah. Pemisahan dana penjaminan simpanan syariah dan konvensional memiliki konsekuensi antara kedua dana tersebut tidak boleh saling membantu (no cross subsidy).

Lingkup Penjaminan
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2005 diatur simpanan di perbankan syariah yang dijamin LPS yaitu : a. giro berdasarkan prinsip wadiah; b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah; c. tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; d. deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau e. simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan pengawas perbankan.

Pada saat PP tersebut ditetapkan, giro berdasarkan prinsip mudharabah belum ditetapkan sebagai jenis simpanan yang dapat dipasarkan oleh bank syariah, meskipun menurut fatwa DSN jenis simpanan tersebut sesuai syariah. Dalam perkembangannya giro berdasarkan prinsip mudharabah ditetapkan dapat dipasarkan bank syariah, sehingga dalam Peraturan LPS Nomor 2 Tahun 2010, giro berdasarkan prinsip mudharabah termasuk sebagai bentuk simpanan syariah yang dijamin LPS.

Akad mudharabah pada dasarnya dibedakan menjadi dua, mudharabah mutlaqah (unrestricted investment accounts) apabila nasabah penyimpan tidak memberikan arahan atau batasan tertentu (misalnya jenis usaha, lokasi usaha, dan/atau jenis pelayanan) kepada bank dalam penyaluran dananya; dan mudharabah muqqayadah (restricted investment accounts) jika nasabah memberikan arahan atau batasan tertentu kepada bank dalam penyaluran dananya.

Simpanan dengan akad mudharabah muthlaqah dijamin oleh LPS. Sedangkan simpanan dengan akad mudharabah muqayyadah tidak semua dijamin oleh LPS. Ditinjau dari pihak yang menanggung risiko, akad mudharabah muqayyadah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yakni: risiko ditanggung oleh bank syariah yang pengadministrasiannya dilakukan secara on balance sheet, atau risiko ditanggung oleh pemilik dana/nasabah yang pengadministrasiannya dilakukan secara off balance sheet (chanelling). LPS hanya menjamin simpanan berakad mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank syariah.

Sejak 13 Oktober 2008, nilai simpanan yang dijamin LPS paling banyak Rp 2 milyar per nasabah per bank. Sesuai Peraturan LPS, nilai simpanan yang dijamin tersebut mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil (mudharabah), saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS, atau bank umum konvensional yang menjadi induk UUS. Khusus untuk simpanan pada UUS, LPS hanya akan membayar klaim penjaminan apabila izin usaha bank umum konvensional yang menjadi induk UUS tersebut dicabut. Sedangkan jika izin UUS yang dicabut oleh OJK, baik atas permintaan bank umum konvensional yang menjadi induknya maupun karena pengenaan sanksi dari OJK, maka kewajiban UUS kepada nasabah penyimpan menjadi tanggung jawab bank umum konvensional yang menjadi induknya.

Ketentuan tingkat bunga penjaminan tidak diberlakukan untuk simpanan di bank syariah. LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang dapat diterima nasabah penyimpan di bank syariah, mengingat besarnya bagi hasil tidak tentu, bersifat fluktuatif, dan tidak diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di bank syariah apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return) melebihi tingkat bunga penjaminan, simpanan di bank syariah tersebut tetap dijamin oleh LPS. *****

0 comments: