27 February 2017

Bank Sistemik Itu Seperti Gambar Porno

Beberapa tahun lalu media massa ramai memberitakan persidangan kasus Bank Century. Dalam satu sesi persidangan, pengacara terdakwa menyampaikan pandangan dan menghadirkan saksi yang mendukung argumen bahwa pada tahun 2008 perbankan kita mengalami krisis dan penutupan Bank Century akan memiliki dampak sistemik.

Sebaliknya, penuntut umum berupaya membuktikan bahwa pada saat itu tidak terjadi krisis perbankan dan kegagalan Bank Century tidak berdampak sistemik.

Sebelum tahun 2008, kriteria bank berdampak sistemik sepertinya memang secara sengaja dibiarkan tidak jelas atau sering disebut dengan istilah constructive ambiguity, ketidak-jelasan yang bermanfaat. Ketidak-jelasan tersebut dimaksudkan untuk memberi ruang bagi pengambil kebijakan mempertimbangkan kondisi riil saat kejadian kegagalan bank, serta untuk menghindari adanya bank yang meyakini dirinya berdampak sistemik dan berharap akan diselamatkan ketika mengalami permasalahan.

Dampak sistemik sering dikaitkan dengan teori too big to fail (TBTF). Merujuk pada wikipedia : “The too big to fail (TBTF) theory asserts that certain corporations, particularly financial institutions, are so large and so interconnected that their failure would be disastrous to the greater economic system, and they therefore must be supported by government when they face potential failure”.

TBTF mulai populer ketika FDIC pada tahun 1984 melakukan penyelamatan dalam bentuk open bank assistance (OBA) kepada Continental Illinois National Bank and Trust Company, yang saat itu merupakan bank terbesar ketujuh di Amerika Serikat. FDIC melakukan resolusi dengan membeli kredit macet (bad loans), menyuntikkan modal, dan memberikan pinjaman kepada bank tersebut. Opsi OBA tidak lagi dimiliki FDIC sejak ditetapkannya Dodd-Frank Act pada tahun 2010.

Ketiadaan kriteria yang jelas menyebabkan penilaian terhadap dampak berantai kegagalan suatu bank menjadi relatif sulit dilakukan. Dalam suatu seminar yang pernah penulis ikuti, seorang pemateri menyatakan “systemic bank is just like pornography, you only know it when you see it”. Bank sistemik diibaratkan seperti gambar porno, kita hanya akan mengetahui atau memahaminya ketika kita melihatnya sendiri. Akan sulit bagi seseorang untuk meyakinkan orang lain bahwa suatu bank memiliki dampak sistemik, tanpa orang tersebut mengetahui, merasakan, atau mengalaminya sendiri. Terlebih jika peristiwanya sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Selain itu, mirip dengan kriteria dan persepsi orang terhadap ke-porno-an suatu gambar, kriteria dan persepsi yang digunakan masing-masing orang untuk menilai dampak sistemik suatu bank sangat mungkin berbeda.

Berkaca pada pengalaman tahun 2008, para pimpinan negara kelompok G20 telah menyepakati untuk membatasi moral hazard bagi bank berdampak sistemik (systemically important bank atau SIB) dan mengakhiri konsep TBTF. Semua bank, terutama SIB, diberi pesan yang kuat bahwa sebesar apapun ukurannya dapat saja menjadi gagal dan ditutup. Resolusi SIB ke depan diupayakan dapat memenuhi 3 tujuan yakni: meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritisnya (critical functions), dan menghindari penggunaan uang pembayar pajak (anggaran negara).

Dengan paradigma baru tersebut, SIB akan diidentifikasi dan ditetapkan sebelumnya (pre-determined) agar dapat diminta memenuhi persyaratan atau kewajiban tertentu. Dalam rangka mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalannya, bank sistemik wajib menyiapkan bantalan tebal dalam bentuk kapasitas menyerap kerugian dan melakukan rekapitalisasi yang disebut Total Loss Absorbing Capacity (TLAC).

Selain itu, bank sistemik juga harus menyusun rencana pemulihan (recovery plan) untuk mengatasi berbagai skenario permasalahan keuangan yang mungkin dihadapinya, dan rencana mati (resolution plan) untuk mempersiapkan pelaksanaan resolusi atas kegagalannya, yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP). RRP sering disebut sebagai living wills atau surat wasiat.

Dalam rangka menetapkan bank yang secara global berdampak sistemik (G-SIB), Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) merumuskan indicator-based measurement approach yang terdiri dari aspek kegiatan lintas negara (cross jurisdictional), ukuran (size), keterkaitan (interconnnectedness), ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability), dan kompleksitas (complexity). Berdasarkan indikator tersebut, sejak tahun 2011 dilakukan asesmen terhadap bank yang memenuhi kriteria G-SIB dan daftarnya diumumkan pada setiap bulan Nopember.

Berdasarkan hasil skoring (systemic importance score) berbagai aspek tersebut, G-SIB dikelompokkan menjadi 4 bucket. Selanjutnya bucket ke-5 ditambahkan untuk menghalangi (dis-incentive) G-SIB agar tidak terus memperbesar potensi dampak sistemiknya. Apabila ada G-SIB yang memenuhi kriteria bucket 5, akan dibuat bucket kosong lagi di atasnya dengan tambahan persyaratan dan kewajiban yang lebih berat.

Berdasar pengelompokan tersebut, G-SIB diwajibkan memenuhi tambahan modal antara 1% sampai 2,5% dalam bentuk modal inti utama atau Common Equity Tier 1 (CET1) yang disebut Capital Surcharge atau Systemic Buffer. Tahapan penerapan (phase in) ketentuan capital surcharge tersebut yakni: tahun 2016 (25%), 2017 (50%), 2018 (75%), dan 2019 (100%). Beberapa negara (Amerika Serikat, Swiss) menetapkan capital surcharge yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh BCBS.

Untuk kriteria bank yang secara domestik memiliki dampak sistemik (D-SIB), masing-masing otoritas diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri dengan tetap memperhatikan kriteria G-SIB tanpa aspek cross jurisdictional. Kriteria lain dan informasi kualitatif dapat ditambahkan apabila dipandang perlu berdasarkan pertimbangan pengawas. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia telah menetapkan kriteria dan mengumumkan D-SIBnya, sedangkan beberapa negara lainnya seperti Filipina sudah menetapkan kriterianya namun belum atau tidak mengumumkan daftar D-SIBnya.

Sesuai Pasal 1 angka 5 UU PPKSK, bank sistemik didefinisikan sebagai bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.

Pada Pasal 17 UU PPKSK dinyatakan dalam rangka mencegah krisis sistem keuangan di bidang perbankan, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia menetapkan bank sistemik. Penetapan bank sistemik pertama kali dilakukan pada kondisi stabilitas sistem keuangan normal. OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan pemutakhiran daftar bank sistemik secara berkala setiap 6 bulan. OJK menyampaikan hasil penetapan dan pemutakhiran daftar bank sistemik kepada KSSK. Pasal 52 UU PPKSK mengatur penetapan bank sistemik dilakukan pertama kali paling lambat 3 bulan sejak UU tersebut diundangkan.

Pada Desember 2015, OJK telah menetapkan Peraturan OJK Nomor 46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharge. Dalam POJK tersebut, indikator yang digunakan dalam penetapan bank yang berdampak sistemik meliputi eksposur bank (size), keterkaitan dengan sistem keuangan domestik (interconnectedness), dan kompleksitas kegiatan usaha (complexity). Sedangkan untuk faktor ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability) tidak menjadi indikator tersendiri melainkan merupakan sub-indikator dari kompleksitas. Bobot setiap indikator tersebut ditetapkan sama (equal weight).

Ketentuan pengelompokan dan besarnya capital surcharge yang ditetapkan dalam POJK tersebut sama dengan yang diatur BCBS yakni terdiri dari 4 bucket dan besarnya capital surcharge antara 1% sampai 2,5% dari ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko atau Risk-Weighted Asset/RWA) yang harus dipenuhi dengan komponen modal inti utama (CET1). Pemenuhan capital surcharge diberlakukan bertahap mulai tahun 2016 sampai dengan tahun 2019. Dalam POJK tersebut disebutkan penetapan bank sebagai SIB tidak mencakup kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (KCBA), dengan kata lain KCBA tidak akan pernah ditetapkan menjadi bank sistemik (D-SIB) di Indonesia. Daftar D-SIB di Indonesia tidak diumumkan ke publik.

0 comments: