24 May 2018

Temporary Stay, Kewenangan Menunda Pelaksanaan Early Termination Rights

Berkaca pada krisis 2008, kelompok negara G20 telah menyepakati untuk membuat pengaturan guna mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalan bank, utamanya bank sistemik. Dalam hal kegagalan bank tidak terhindarkan, pelaksanaan resolusi bank diupayakan agar:
(1) meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan;
(2) menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritikalnya (critical functions); dan
(3) menghindari penggunaan uang negara.

Untuk memberi arahan dan pedoman dalam pengembangan rezim resolusi yang efektif, Financial Stability Board (FSB) menyusun Key Attributes (KA) of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions. Dalam KA atau atribut kunci tersebut dijabarkan mengenai perangkat dan kewenangan yang diperlukan untuk menunjang agar suatu rezim resolusi dapat berfungsi efektif.

Dalam pembahasan di sini, rezim resolusi merujuk pada otoritas resolusi beserta seluruh atribut, perangkat, dan kewenangannya. Beberapa diantara atribut kunci tersebut antara lain berupa kewenangan dalam: mengalihkan atau menjual aset dan kewajiban bank (Purchase & Assumption); mendirikan bank perantara (Bridge Bank); melakukan Bail-in; memberlakukan Temporary Stay; menyusun Recovery and Resolution Plan (RRP); menetapkan kebijakan lintas batas (Cross Border Resolution); dan menerapkan Safeguards. Dalam kesempatan ini, akan dikupas salah satu atribut kunci rezim resolusi, yakni: Temporary Stay. "Temporary Stay", Atribut Kunci Rezim Resolusi
Kontrak keuangan pada umumnya memiliki klausul jika salah satu pihak mengalami default, pailit, bangkrut, atau dilikuidasi, maka konterparti-nya berhak melakukan set-off atau netting antara aset dan kewajiban; eksekusi jaminan; atau tindakan lain yang disebut early termination rights.

Pelaksanaan resolusi suatu bank akan dapat terganggu atau menjadi tidak efektif, apabila tindakan resolusi tersebut menjadi pemicu bagi pihak-pihak yang berkontrak dengan bank tersebut melaksanakan early termination rights. Pembatalan kontrak dan eksekusi early termination rights yang serentak akan berdampak pada kondisi bank tersebut dan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan.

Dalam Key Attributes dinyatakan bahwa pelaksanaan resolusi seharusnya tidak menjadi pemicu eksekusi early termination rights sepanjang bank masih memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Namun siapa yang bisa menjamin konterparti dapat menahan diri dari melakukan tindakan tersebut. Apabila eksekusi early termination rights tidak dapat dihindari, otoritas resolusi harus memiliki wewenang untuk dapat menghentikan sementara pelaksanaannya (power to impose a temporary stay on early termination rights).

Kewenangan tersebut diperlukan untuk memberi kesempatan otoritas resolusi melaksanakan tindakan resolusi yang diperlukan, misalnya memindahkan kontrak kepada bank lain atau bank perantara. Kewenangan menghentikan sementara tersebut tidak diberlakukan terhadap semua kontrak, melainkan hanya kontrak yang memenuhi kriteria tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

Keputusan untuk melakukan temporary stay dapat didasarkan pada diskresi otoritas resolusi secara kasus per kasus, atau secara otomatis terhadap kontrak yang memenuhi kriteria tertentu. Penghentian sementara tersebut di banyak negara pada umumnya dibatasi paling lama 2 hari kerja.

Di Amerika Serikat, kontrak yang dapat diberlakukan temporary stay meliputi: securities contracts; commodity contracts; forward contracts; repurchase agreements, dan swap agreements. Sedangkan di Kanada meliputi: specified derivatives agreements; agreements to borrow or lend securities or commodities; agreements to clear or settle securities, futures, options or derivatives transactions; agreements to act as a depository for securities; repurchase agreements; specified margin loans; dan specified master agreements.

Meski FSB telah menetapkan kewenangan melakukan temporary stay merupakan atribut kunci yang harus dimiliki oleh rezim resolusi, belum semua otoritas resolusi memiliki kewenangan tersebut. Berdasarkan Laporan FSB, negara di kawasan Asia Pasifik yang otoritas resolusinya telah memiliki kewenangan temporary stay, yakni: Australia, Hong Kong, dan Jepang.

Dalam penyusunan Resolution Plan, bank harus menyampaikan data, informasi, dan dokumen mengenai kontrak yang memenuhi kriteria tersebut agar otoritas resolusi dapat mengidentifikasi potensi permasalahannya dan menyusun perencanaan untuk mengatasinya, terutama jika kontrak atau konterparti-nya tunduk pada hukum negara lain.

Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan tersebut, dalam International Swaps and Derivatives Association (ISDA) master agreement telah dimasukkan Protocol Stay yang mengatur setiap pihak yang menanda-tangani kontrak standar tersebut menyatakan tunduk dan mengakui kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan temporary stay. “The termination of large volumes of financial contracts upon entry into resolution could result in a disorderly rush for the exits that creates further market instability and frustrates the implementation of resolution measures aimed at achieving continuity.”

Tambahan bacaan:
http://www.fsb.org/wp-content/uploads/I-Annex-5-Temporary-stay-on-early-termination-rights.pdf

Baca Lanjutannya...

20 May 2018

Penjaminan Simpanan itu Bukan Asuransi Deposito

Sejauh ini, tidak sedikit orang yang berpersepsi bahwa penjaminan simpanan merupakan salah satu cabang atau jenis dari asuransi komersial. Istilah deposit insurance pun sering diterjemahkan menjadi asuransi deposito. Sejatinya penjaminan simpanan dan asuransi komersial memiliki prinsip dasar dan praktek yang berbeda.

Merujuk pada KUH Perdata, penjaminan merupakan perjanjian 3 pihak yakni: penjamin, terjamin, dan penerima jaminan, yang disebut juga dengan terminologi "penanggungan". Sedangkan asuransi merupakan perjanjian 2 pihak antara penanggung dan tertanggung yang dalam UU Usaha Perasuransian dan KUH Dagang disebut dengan terminologi "pertanggungan".

Paparan berikut akan membahas perbedaan, persamaan, serta penerapan prinsip dan praktek asuransi komersial dan penjaminan simpanan.

Insurable Risk

Dalam asuransi, risiko yang dapat diasuransikan harus merupakan risiko murni (pure risk) dan bersifat independen. Risiko murni bilamana terjadi akan menyebabkan kerugian dan jika tidak terjadi tidak akan menimbulkan keuntungan. Berbeda dengan risiko spekulatif yang memungkinkan timbulnya keuntungan. Sedangkan independen berarti besarnya risiko yang dihadapi satu tertanggung tidak dipengaruhi besarnya risiko tertanggung lain. Risiko asuransi harus merupakan peristiwa insidentil (fortuitous), serta terjadinya di luar kendali tertanggung.

Dalam penjaminan simpanan, risiko yang dipertanggungkan adalah risiko kegagalan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan karena dicabut izinnya. Pencabutan izin bank tidak selalu bersifat insidentil karena umumnya didasarkan pada permasalahan kesehatan bank yang kronis dan menahun, serta dipengaruhi tingkat toleransi pengawas terhadap kondisi bank (regulatory forbearance) yang mungkin berbeda antara satu bank dengan bank lainnya.

Risiko kegagalan bank, sering disebut sebagai bagian dari risiko pengawasan (supervisory risk), tidak bersifat independen karena adanya potensi efek berantai kegagalan satu bank kepada bank lainnya yang dapat menimbulkan kerugian yang bersifat katastropik dan sistemik. Kegagalan bank selama ini banyak disebabkan oleh fraud pengurus atau pemilik bank.

Dalam asuransi komersial, apabila tertanggung menjadi penyebab terjadinya risiko yang dipertanggungkan, misalnya membakar rumah sendiri (arson) atau melakukan bunuh diri, klaim asuransinya tidak akan dibayar. Dalam penjaminan simpanan, LPS akan membayar klaim penjaminan simpanan pada bank yang dicabut izinnya karena sebab apapun, termasuk bank yang dirampok oleh pemiliknya sendiri, kecuali bank yang melakukan self liquidation.

Insurable Interest

Setiap penerbitan polis asuransi mensyaratkan adanya kepentingan keuangan (insurable interest) atas obyek yang akan diasuransikan. Seseorang dikatakan memiliki insurable interest apabila orang tersebut akan menderita kerugian jika terjadi musibah (risiko) atas obyek yang diasuransikan. Insurable interest dapat berasal dari hubungan hukum, kontrak, atau undang-undang. Pernikahan menjadi dasar insurable interest antara suami, istri, dan anak-anaknya.

Pemilik mobil memiliki insurable interest atas mobilnya, kreditur memiliki insurable interest atas debitur terkait pinjamannya, trustee memiliki insurable interest atas dana milik pihak lain yang dikelolanya. Hubungan persaudaraan atau pertemanan tidak menimbulkan insurable interest, sehingga kita tidak dapat mengasuransikan rumah milik saudara atau teman kita.

Perusahaan asuransi akan memastikan adanya insurable interest sebelum menerbitkan polis, karena polis yang diterbitkan tanpa adanya insurable interest dianggap tidak berlaku (void) bahkan melanggar hukum (illegal). Untuk asuransi kerugian, insurable interest harus dimiliki pemegang polis pada saat polis diterbitkan dan pada saat klaim terjadi. Sedangkan pada asuransi jiwa, insurable interest harus dimiliki pemegang polis pada saat polis diterbitkan.

Nasabah penyimpan memiliki insurable interest terhadap simpanannya, begitu pula bank memiliki insurable interest atas simpanan yang ditempatkan padanya. Dalam hal nasabah membuka rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain tersebut. Dalam ketentuan penjaminan, beneficiary tidak dipersyaratkan harus memiliki insurable interest atas rekening simpanan tersebut agar simpanannya dijamin terpisah.

Apabila insurable interest dipersyaratkan bagi rekening yang dinyatakan untuk kepentingan pihak lain, perlu ada mekanisme untuk membuktikan setiap beneficiary memiliki insurable interest pada rekening yang dibuka untuk kepentingannya. Selain itu, perlu pula diatur kapan beneficiary harus memiliki insurable interest, pada saat pembukaan rekening dan/atau pada saat bank dicabut izinnya.

Hukum Bilangan Besar

Pertanggungan pada asuransi dinilai layak dilakukan apabila terdapat cukup banyak tertanggung yang mempunyai risiko sejenis (law of large numbers). Dengan jumlah tertanggung yang besar, maka prediksi kerugian akan semakin mendekati jumlah kerugian yang sebenarnya (actual loss). Dengan dipenuhinya hukum bilangan besar tersebut akan membantu penetapan tarif premi yang wajar.

Penjaminan simpanan dirancang sebagai unsur jaring pengaman sistem keuangan yang memberikan perlindungan terhadap simpanan dan berkontribusi terhadap stabilitas sistem perbankan. Berdasarkan rancangan tersebut, penjaminan simpanan tetap dapat diterapkan walaupun prasyarat hukum bilangan besar tidak terpenuhi. Banyak negara yang menerapkan sistem penjaminan simpanan meski dalam negara tersebut terdapat kurang dari 20 bank peserta.

Dengan jumlah peserta penjaminan yang tidak memenuhi hukum bilangan besar, ditambah kejadian kegagalan bank yang relatif jarang, penjaminan simpanan akan menghadapi kesulitan menetapkan tarif premi yang wajar. Oleh karenanya, pada awal beroperasi umumnya diterapkan tarif premi yang sama (flat rate premium) untuk semua bank peserta dengan konsekuensi dapat terjadi under-charge atau over-charge atas premi yang dibayar bank. Seiring berjalannya waktu, flat rate premium tersebut dapat diubah menjadi berbeda antara satu bank dengan bank lainnya (sistem premi diferensial/SPD). Penerapan SPD diharapkan dapat memberi perlakuan yang lebih adil, sekaligus penyesuaian ke tarif premi yang lebih wajar.

Dasar Pengenaan Premi

Pengenaan premi penjaminan dapat didasarkan pada jumlah aset, kewajiban, simpanan, atau simpanan yang dijamin. Di Indonesia, perhitungan premi penjaminan didasarkan pada jumlah total simpanan, bukan simpanan yang dijamin. Banyak pihak membandingkan dasar pengenaan premi tersebut dengan yang diterapkan pada asuransi komersial yang didasarkan pada uang pertanggungan.

Penetapan dasar pengenaan premi LPS dapat dijelaskan dengan 2 pendekatan, teoritis dan praktis. Secara teoritis, LPS memiliki mandat untuk menjamin simpanan nasabah dan melakukan penyelamatan bank gagal. Dalam penyelamatan bank gagal, yang memperoleh manfaat bukan hanya nasabah penyimpan yang dijamin saja, melainkan seluruh nasabah penyimpan, bahkan termasuk kreditur bank.

Untuk itu, premi LPS pada dasarnya mengandung 2 alokasi, untuk menutup biaya penjaminan simpanan dan biaya penyelamatan bank gagal. Secara praktis, perhitungan jumlah simpanan yang dijamin tidak mudah dilakukan. Dengan penjaminan simpanan per nasabah per bank, untuk mendapatkan jumlah simpanan yang dijamin, bank secara periodik harus melakukan identifikasi seluruh rekening yang dimiliki setiap nasabah, menjumlahkan saldonya, menetapkan jumlah simpanan yang dijamin untuk nasabah tersebut, dan menghitung simpanan yang dijamin pada bank yang bersangkutan.

Dalam proses identifikasi rekening simpanan tersebut harus pula dipertimbangkan kepemilikan rekening tunggal, rekening gabungan, rekening untuk kepentingan pihak lain, dan sertifikat deposito yang dapat dipindah-tangankan. Belum lagi jika tingkat bunga simpanan juga ikut diperhitungkan. Pada saat penyusunan RUU LPS, single identity number atau customer information file (CIF) belum banyak digunakan bank umum apalagi BPR. Saat itu banyak bank terutama BPR juga belum memiliki sistem informasi dan IT yang memadai. Dengan mempertimbangkan kendala-kendala tersebut, dalam UU LPS ditetapkan total simpanan sebagai dasar pengenaan premi.

Utmost Good Faith

Dalam asuransi berlaku prinsip utmost good faith. Tertanggung dipandang paling tahu mengenai obyek yang dipertanggungkan. Apabila tertanggung tidak mengungkapkan fakta material yang mempengaruhi terjadinya risiko atas obyek yang dipertanggungkan, polis dianggap batal demi hukum atau klaim tidak akan dibayar. Prinsip tersebut dipersyaratkan untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) antara tertanggung dan perusahaan asuransi.

Dalam penjaminan simpanan, tidak dipersyaratkan adanya prinsip utmost good faith. Dengan kata lain, jika bank peserta tidak mengungkapkan atau mengungkapkan secara tidak benar mengenai permasalahan permodalan, kualitas aset, atau likuiditas yang dihadapinya, penjamin simpanan tetap diwajibkan membayar klaim jika bank tersebut tiba-tiba dicabut izinnya. Bagi penjaminan simpanan yang bermandat paybox, ketiadaan informasi kondisi bank tidak menjadi masalah karena fungsinya hanya membayar klaim penjaminan ketika bank ditutup. Namun bagi penjaminan simpanan yang bermandat loss minimizer seperti LPS, dalam rangka meminimalkan biaya kegagalan bank perlu melakukan identifikasi permasalahan bank lebih dini dan memonitor kondisi bank tersebut, termasuk melakukan intervensi dan resolusi tepat waktu.

Reasuransi dan Koasuransi

Perusahaan asuransi akan mencari dukungan reasuransi sebagai sarana untuk mempertanggung-ulangkan sebagian risiko yang dihadapinya. Dalam sistem penjaminan simpanan, mekanisme reasuransi belum lazim digunakan. Dalam kajian FDIC, penyebabnya antara lain potensi kerugian atas kegagalan bank yang sangat besar sementara kapasitas perusahaan reasuransi masih terbatas.

Selain itu, industri reasuransi meminta beberapa persyaratan, antara lain: menerima reasuransi hanya untuk pertanggungan-ulang bank-bank tertentu (cherry picking), adanya deductible dan premi reasuransi yang tinggi, serta syarat lain yang sulit dipenuhi penjamin simpanan. Dalam penjaminan simpanan, umumnya Pemerintah memberikan dukungan pendanaan dan bertindak sebagai guarantor of last resort, terutama dalam kondisi krisis.

Sarana pengalihan risiko lain yang dikaji, yakni: penerbitan Catastrophic Bond, yakni obligasi yang imbal hasilnya dikaitkan dengan besarnya biaya penjaminan simpanan. Semakin besar biaya penjaminan simpanan pada periode tertentu, semakin kecil imbal hasil yang diperoleh investor. Bahkan apabila terjadi kegagalan sistemik sehingga biaya penjaminan simpanan melebihi threshold tertentu, pemegang obligasi dapat kehilangan pokok investasinya. Namun jika biaya penjaminan pada periode tertentu lebih rendah dari perkiraan, investor akan mendapat imbal hasil yang lebih tinggi daripada obligasi biasa.

Dalam asuransi komersial, koasuransi diartikan sebagai dua atau lebih perusahaan asuransi yang secara bersama-sama menutup satu obyek pertanggungan, dengan menerbitkan satu polis atau masing-masing perusahaan menerbitkan polis. Dalam penjaminan simpanan, koasuransi dimaksudkan sebagai bentuk pembagian risiko antara penjamin simpanan dan nasabah penyimpan.

Untuk mengurangi moral hazard bagi nasabah penyimpan dalam penempatan dananya, penjaminan hanya diberikan sebesar persentasi tertentu, misalnya penjaminan sebesar 90% untuk simpanan sampai Rp 2 milyar. Artinya simpanan yang dijamin untuk seorang nasabah hanya sebesar 90% dari saldo simpanan nasabah tersebut, dan paling tinggi Rp 1,8 milyar.

Indemnitas

Prinsip asuransi lainnya yakni indemnitas, yang berarti perusahaan asuransi kerugian akan mengembalikan posisi keuangan tertanggung seperti sesaat sebelum kerugian atau risiko yang dipertanggungkan terjadi. Sebagai pelengkap prinsip indemnitas diberikan hak subrogasi bagi perusahaan asuransi untuk menggantikan posisi tertanggung dalam hal terdapat pengajuan tuntutan kepada pihak lain. Tertanggung tidak boleh mendapat keuntungan atas terjadinya risiko yang dipertanggungkan dengan mendapat pembayaran klaim atau kompensasi dari 2 pihak dan/atau melebihi jumlah kerugian aktualnya.

Penjamin simpanan tidak memberikan indemnitas kepada bank dengan mengembalikan kondisi keuangan bank seperti sesaat sebelum bank dicabut izinnya. Penjamin simpanan juga tidak memberikan indemnitas kepada nasabah penyimpan karena hanya membayar simpanan nasabah sampai jumlah yang dijamin. Dengan pembayaran klaim, penjamin simpanan memiliki hak subrogasi menggantikan posisi nasabah penyimpan yang dibayar penjaminannya atas pembagian hasil likuidasi bank.

Di beberapa negara, hak subrogasi penjamin simpanan memiliki prioritas yang sama dengan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan unsecured kreditur (pari passu). LPS dirancang memiliki hak mendahulu (prioritas) dibandingkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lain agar mendapat tingkat pengembalian (recovery rate) yang lebih baik sehingga dapat menekan biaya penjaminan.
www.lps.go.id

Syarat dan Kondisi

Dalam polis asuransi terdapat syarat dan kondisi berlakunya polis, termasuk pengecualiannya. Syarat dan kondisi tersebut biasanya ditulis di balik polis dengan huruf kecil sehingga sulit dibaca apalagi dipahami. Ketidakpahaman atas syarat dan kondisi tersebut dapat menimbulkan perselisihan ketika tertanggung mengajukan klaim. Program penjamin simpanan LPS juga memiliki syarat dan kondisi agar klaim penjaminan simpanan dikategorikan layak dibayar, yakni: simpanan harus tercatat, tingkat bunga tidak melebihi tingkat bunga penjaminan, dan nasabah tidak melakukan tindakan yang merugikan bank atau memiliki kredit macet.

Keberadaan syarat dan kondisi penjaminan simpanan tersebut juga belum dipahami semua nasabah, sehingga ketika bank dicabut izinnya dan simpanannya dinyatakan tidak layak dibayar, beberapa nasabah mengajukan keberatan kepada LPS. Sebagai upaya untuk terus mengurangi porsi simpanan yang tidak layak dibayar, LPS gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan keterbatasan, termasuk syarat dan kondisi penjaminan simpanan tersebut. (Update Version)

Baca Lanjutannya...

16 May 2018

TLAC, Kapasitas Menyerap Kerugian dan Rekapitalisasi Bank Sistemik

TLAC, Kapasitas Menyerap Kerugian dan Rekapitalisasi Bank SistemikBasel III telah memperkuat pengaturan terhadap permodalan bank dengan merubah struktur permodalan dan peningkatan kapasitas bank dalam menyerap kerugian. Dalam ketentuan tersebut, modal inti utama (Common Equity Tier 1/CET1) bank ditetapkan minimal sebesar 4,5% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR), modal inti tambahan (Additional Tier 1/AT1) sebesar 1,5% dari ATMR, dan modal pelengkap (Tier 2/T2) sebesar 2% dari ATMR.

Selain regulatory capital, bank juga diwajibkan memiliki bantalan (buffer) yang terdiri dari: Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% dari ATMR, Countercyclical Buffersebesar antara 0% sampai 2,5% dari ATMR, dan khusus bank sistemik ditambah Systemic Buffer atau Capital Surcharge sebesar antara 1% sampai 2,5% dari ATMR. Keseluruhan bantalan tersebut harus dipenuhi bank dalam bentuk modal inti utama (CET1), sehingga apabila ketentuan tersebut telah efektif, bank akan memiliki permodalan dan bantalan yang tebal untuk menyerap kerugian. Ketentuan permodalan dan penyediaan bantalan dalam Basel III tersebut diterapkan bertahap sejak 2013 dan akan berlaku penuh pada tahun 2019.

TLAC untuk G-SIB

Ketentuan permodalan dan penambahan bantalan dalam Basel III tersebut dipandang masih belum mencukupi bagi bank yang secara global memiliki dampak sistemik (G-SIB), sehingga Pimpinan G20 pada pertemuan di St. Petersburg, Rusia pada 5-6 September 2013 mengamanatkan kepada Financial Stability Board (FSB) untuk membuat pengaturan agar G-SIB memiliki kapasitas yang lebih besar dalam menyerap kerugian dan rekapitalisasi ketika bank tersebut mengalami kegagalan.

Amanat Pimpinan G20 tersebut ditindaklanjuti FSB dengan menyusun proposal peningkatan kapasitas menyerap kerugian dan rekapitalisasi bagi G-SIB, yang disebut dengan Gone-concern Loss Absorbing Capacity (GLAC). GLAC merupakan bantalan tambahan di atas regulatory capital yang terdiri dari surat utang yang dapat dikonversi menjadi modal ketika bank mengalami kegagalan. Dengan GLAC tersebut diharapkan resolusi G-SIB dapat dilaksanakan tanpa mengganggu stabilitas sistem keuangan, menjaga tetap terpelihara keberlangsungan fungsi utamanya, serta terhindar dari penggunaan uang negara.

Dalam pertemuan Pimpinan G20 di Brisbane, Australia pada 13-14 Nopember 2014, proposal tersebut dibahas dan pada akhirnya disepakati untuk mengubah konsep GLAC menjadi Total Loss-Absorbing Capacity (TLAC). Perubahan tersebut untuk menghilangkan dikotomi dan batasan antara kapasitas menyerap kerugian dengan basis going-concern dan gone-concern, sehingga lebih memberi fleksibilitas bagi G-SIB dalam mengatur struktur permodalan dan kewajibannya.

TLAC dimaksudkan untuk memastikan G-SIB memiliki kapasitas menyerap kerugian dan rekapitalisasi agar pada saat dilakukan resolusi, fungsi utama bank dapat berkelanjutan tanpa dukungan uang negara atau gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. FSB kemudian mengeluarkan proposal konsultatif TLAC yang antara lain mengusulkan besaran TLAC antara 16% sampai 20% ATMR, untuk mendapat masukan dari berbagai pihak.

Pada awal tahun 2015 dilakukan Quantitative Impact Study (QIS)untuk mengkaji dampak penerapan TLAC terhadap mikro perbankan maupun makro perekonomian. Berdasarkan QIS tersebut disimpulkan bahwa dampak pada mikro perbankan dan makro perekonomian atas penerapan TLAC relatif terkendali. Biaya yang harus dikeluarkan G-SIB untuk memenuhi ketentuan TLAC tersebut diperkirakan akan menyebabkan kenaikan lending rate rata-rata berkisar antara 2,2 sampai 3,2 basis poin. Sedangkan dari sudut pandang makro ekonomi, disimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh dari pemberlakuan TLAC berupa penurunan kemungkinan (likelihood) dan dampak biaya terjadinya krisis (impact) akan lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi ketentuan TLAC tersebut.
Sumber: www.credit-suisse.com
Sumber: www.credit-suisse.com

Dalam pertemuan Pimpinan G20 di Antalya, Turki pada 15-16 Nopember 2015, FSB menetapkan ketentuan final TLAC bagi G-SIB dengan pokok-pokok sebagai berikut:

  1. G-SIB sebagai satu entitas resolusi wajib memiliki Eksternal TLAC minimum sebesar 16% ATMR yang mulai berlaku pada 1 Januari 2019 dan sebesar 18% ATMR yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022;
  2. G-SIB yang berpusat di emerging market (per Nopember 2017 terdapat 4 G-SIB yang berkantor pusat di China) wajib memiliki TLAC minimum sebesar 16% ATMR yang berlaku mulai 1 Januari 2025 dan sebesar 18% ATMR yang berlaku mulai 1 Januari 2028;
  3. G-SIB juga wajib memiliki leverage rasio (TLAC dibanding total eksposur) paling kurang sebesar 6% pada 1 Januari 2019 dan sebesar 6,75% pada 1 Januari 2022. Total eksposur bank meliputi eksposur pada neraca, eksposur pada rekening administratif, dan eksposur dari transaksi derivatif.
  4. TLAC terdiri dari regulatory capital dan kewajiban-kewajiban yang dapat dikonversi menjadi modal (bail-inable debts), yaitu: modal inti utama (CET1), modal inti tambahan (Additional Tier 1/AT1), modal pelengkap (Tier 2/T2), dan Long Term Unsecured Debt (LTUD). Jumlah TLAC yang berbentuk surat utang minimal sebesar 33% dari keseluruhan TLAC;
  5. Perhitungan TLAC tersebut tidak memasukkan capital buffer (Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Systemic Buffer), sehingga pemenuhan bantalan tersebut sebagai tambahan terhadap TLAC.
Single Point of Entry (SPE) dan Multiple Point of Entry (MPE)

Dalam hal strategi resolusi G-SIB menggunakan pendekatan Single Point of Entry (SPE), Eksternal TLAC akan dipusatkan pada perusahaan induknya. SPE merupakan strategi resolusi yang pelaksanaannya dipusatkan pada perusahaan induk (holding/parent company) dengan membebankan seluruh kerugian group kepada perusahaan induknya, termasuk pelaksanaan bail-in. Apabila digunakan pendekatan SPE, setiap kantor cabang/anak perusahaan yang signifikan, disebut sebagai material subsidiary, harus memiliki Internal TLAC.

Material subsidiary adalah kantor cabang/anak perusahaan G-SIB yang memenuhi salah satu kriteria berikut: memiliki lebih dari 5% ATMR group; berkontribusi paling kurang 5% dari pendapatan group; memiliki lebih dari 5% leverage exposure group; atau merupakan critical functions bank tersebut. Sedangkan Internal TLAC merupakan bail-inable debtsyang diterbitkan oleh material subsidiary dan dibeli oleh perusahaan induknya sendiri. Jumlah Internal TLAC yang harus dimiliki material subsidiary sebesar 75% sampai 90% dari minimum Eksternal TLAC yang dipersyaratkan dengan asumsi material subsidiary tersebut menjadi entitas resolusi tersendiri.

Dengan adanya Internal TLAC, home authority G-SIB tersebut akan dapat melakukan bail-in terhadap material subsidiary dengan mengubah bail-inable debts yang diterbitkannya menjadi modal tanpa ada hambatan birokrasi atau kendala perbedaan sistem hukum antar negara. Bail-inable debts tersebut harus memiliki prioritas/senioritas yang lebih rendah (subordinate) dibanding kewajiban kepada kreditur lain pada material subsidiary tersebut, sehingga menyerap kerugian terlebih dahulu sebelum unsecured kreditur lainnya.

Dalam kondisi sebaliknya, apabila host authority berpandangan material subsidiary telah mengalami kegagalan namun home authoritybelum/tidak melakukan tindakan resolusi, termasuk melaksanakan bail-in. Host authority dapat melakukan bail-in dengan mengubah bail-inable debts yang diterbitkan material subsidiary tersebut menjadi modal. Adanya internal TLAC diharapkan dapat mencegah host authority melakukan pembatasan perpindahan aset, modal, atau likuiditas antar kantor (ring fencing).

Sedangkan jika strategi resolusi menggunakan pendekatan Multiple Point of Entry (MPE), setiap material subsidiary harus memiliki Eksternal TLAC sendiri. MPE merupakan strategi resolusi yang pelaksanaannya ter-desentralisasi sehingga terhadap material subsidiary atau kantor regional tertentu dari G-SIB tersebut dapat diterapkan opsi resolusi yang berbeda-beda. Berdasar Dodd-Frank Act, resolusi G-SIB di Amerika Serikat ditetapkan menggunakan pendekatan SPE, sedangkan mayoritas bank sistemik di Eropa menggunakan pendekatan MPE.

www.european-economy.eu
www.european-economy.eu

Apapun pendekatannya, koordinasi antar otoritas resolusi (home dan host) perlu dilakukan secara intens untuk menghindari konflik dan ketidak-konsistenan yang dapat mengurangi efektifitas pelaksanaan resolusi. Tanpa koordinasi dan kerjasama, host authority akan cenderung membuat kebijakan yang melindungi kepentingan kreditur/nasabah domestiknya, misalnya dengan mewajibkan kantor cabang/anak perusahaan G-SIB memenuhi persyaratan tertentu atau menerapkan ring fencing.

Dalam pelaksanaan resolusi lintas negara, juga perlu diperhatikan perbedaan lingkup penjaminan dan urutan prioritas kreditur (depositor preferenceatau creditor hierarchy). Beberapa penjamin simpanan hanya menjamin simpanan yang berdenominasi mata uang domestik dan pada kantor bank di dalam negeri. Sedangkan untuk prioritas kreditur, beberapa negara memberikan prioritas pada kreditur/nasabah di dalam negeri dibanding kreditur/nasabah pada kantor bank di luar negeri atas jenis atau kategori kewajiban yang sama.

Kriteria Instrumen TLAC

Instrumen TLAC harus memenuhi kriteria tidak ada pengikatan aset (unsecured), tidak menjadi obyek set-off atau netting yang dapat mengurangi kemampuannya menyerap kerugian; memiliki jatuh tempo lebih dari 1 tahun atau tidak memiliki masa jatuh tempo (perpetual), dan tidak memiliki opsi dapat dicairkan sebelum jatuh tempo. G-SIB dapat memiliki LTUD yang diterbitkan oleh G-SIB lainnya, namun untuk mencegah dampak berantai kegagalan bank, dalam perhitungan TLAC harus dikurangkan jumlahnya dari TLAC yang dimilikinya.

Instrumen yang dikecualikan dari perhitungan TLAC (Excluded Liabilities) meliputi simpanan yang dijamin; kewajiban yang jatuh tempo kurang dari 1 tahun; kewajiban dari traksaksi derivatif; kewajiban yang timbul bukan dari kontrak misalnya kewajiban pajak; dan kewajiban yang secara tegas dikecualikan dari bail-in atau kewajiban yang tidak dapat dihapus/dikonversi menjadi modal tanpa menimbulkan risiko hukum. Penerbitan LTUD dengan opsi bail-in tentu akan menjadi lebih mahal dibanding penerbitan surat utang sejenis tanpa opsi bail-in.

Selain itu, G-SIB yang mengandalkan sumber pendanaan dari pengerahan simpanan masyarakat perlu menyesuaikan struktur neracanya dengan memperbanyak penerbitan LUTD mengingat jumlah TLAC dalam bentuk surat utang ditetapkan minimal 33%. G-SIB juga harus memenuhi leverage rasio (TLAC dibanding total eksposur) sebesar 6% pada 2019 dan 6,75% pada tahun 2022. Ketentuan TLAC tersebut ke depan ada wacana untuk diberlakukan kepada semua bank.

Baca Lanjutannya...