21 June 2018

Mengapa Kepesertaan LPS Bersifat Wajib?

Mengapa Kepesertaan LPS Bersifat Wajib?
Kepesertaan dalam penjaminan simpanan dapat bersifat wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary). Penetapan sifat kepesertaan tersebut mempertimbangkan banyak hal, satu diantaranya melihat kesesuaiannya dengan tujuan kebijakan publik (public policy objective) dari sistem penjaminan simpanan di negara tersebut.

Mandatory vs Voluntary

Jika kepesertaan bersifat wajib, seluruh bank akan menjadi peserta penjaminan sehingga nasabah saat akan menempatkan simpanan tidak perlu mencari informasi mengenai bank peserta dan bank bukan peserta penjaminan. Sebaliknya, dalam kepesertaan yang bersifat sukarela, nasabah perlu mencari tahu kepesertaan suatu bank dalam penjaminan. Selain itu, terdapat kecenderungan bank yang menjadi peserta penjaminan justru hanya bank yang mempunyai risiko tinggi, kondisi tersebut dinamakan adverse selection atau seleksi negatif.

Kepesertaan yang bersifat sukarela akan dijadikan sarana tranfer risiko bagi bank yang mempunyai risiko melebihi rata-rata risiko kegagalan pada industri perbankan. Sebaliknya, bank dengan risiko kegagalan yang relatif rendah justru cenderung tidak mau menjadi peserta penjaminan karena merasa akan memberikan subsidi pada bank lain yang lebih berisiko. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kesalahan pemahaman (misleading). Masyarakat menempatkan simpanannya pada bank peserta dengan asumsi bank tersebut memiliki risiko kegagalan relatif rendah. Namun pada kenyataannya, jika kepesertaan bersifat sukarela, bank yang menjadi peserta penjaminan justru bank yang memiliki risiko kegagalan tinggi.

Kepesertaan bank dalam penjaminan simpanan dapat meningkatkan daya saing karena bank dapat berpromosi kepada masyarakat bahwa simpanan yang ditempatkan padanya terjamin. Sedangkan bagi bank yang tidak ikut penjaminan mempunyai keunggulan tidak membayar premi penjaminan. Membandingkan keunggulan kompetitif dari adanya penjaminan dengan penghematan dari tidak membayar premi penjaminan menjadi salah satu pertimbangan bagi bank.

Apabila bank memandang bahwa penjaminan simpanan diperlukan sebagai bentuk pelayanan kepada nasabah penyimpan dan untuk menjaga keberlangsungan usahanya, bank akan terdorong menjadi peserta penjaminan secara sukarela tanpa perlu diwajibkan. Terlebih jika premi yang dikenakan didasarkan pada tingkat risiko masing-masing bank. Kepesertaan yang bersifat wajib merupakan praktek terbaik dan merupakan salah satu prinsip dasar (Core Principles) dari sistem penjaminan simpanan yang efektif.

Opsi Penghentian dan Pembatalan Kepesertaan

Meski kepesertaan pada penjamin simpanan bersifat wajib, banyak negara memiliki variasi dalam penerapannya, misalnya penjamin simpanan diberi wewenang untuk menghentikan (termination) atau membatalkan (cancelation) kepesertaan suatu bank atau memberi opsi bank tertentu untuk tidak menjadi peserta penjaminan jika memenuhi persyaratan tertentu.

Di Filipina dan Malaysia, meskipun kepesertaan bersifat wajib, PDIC dan MDIC mempunyai kewenangan untuk menghentikan atau membatalkan kepesertaan suatu bank. Penghentian kepesertaan dapat dilakukan antara lain apabila bank peserta tidak memenuhi kewajiban yang tercantum di dalam polis/kontrak penjaminan atau peraturan perundang-undangan, misalnya tidak membayar premi penjaminan. Sedangkan pembatalan penjaminan dapat dilakukan apabila bank tidak mengindahkan arahan atau tindakan korektif (prompt corrective actions) dari pengawas atau bank dikenakan sanksi tidak boleh lagi menerima simpanan dari masyarakat.

Apabila kepesertaan suatu bank dihentikan atau dibatalkan, simpanan yang ada di bank tersebut umumnya masih tetap dijamin sampai saat jatuh tempo atau sampai batas waktu tertentu (misalnya 6 atau 12 bulan). Kewenangan menghentikan dan membatalkan penjaminan lazimnya diberikan kepada penjamin simpanan yang mempunyai sebagian wewenang pengawasan perbankan atau telah ada kesepakatan pengenaan sanksi tersebut antara penjamin simpanan dengan pengawas bank.

Pada saat penyusunan UU LPS, pernah digagas pemberian wewenang penghentian dan pembatalan kepesertaan kepada LPS sebagai upaya agar bank peserta mematuhi kewajiban kepesertaan penjaminan, terutama pembayaran premi. Gagasan tersebut tidak disepakati mengingat pada kondisi tertentu dapat menyebabkan kepentingan nasabah penyimpan tidak terlindungi sebagai akibat pelanggaran kewajiban kepesertaan yang dilakukan oleh bank.

Dengan pertimbangan fungsinya sebagai penjamin simpanan nasabah bank, dalam UU LPS diatur bahwa bank yang melakukan pelanggaran kewajiban kepesertaan dikenakan sanksi denda, sedangkan pengurus/pengelola bank yang menyebabkan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan demikian, meskipun bank tidak memenuhi kewajiban kepesertaan dalam penjaminan, LPS tetap menjamin simpanan nasabah pada bank tersebut.

Sebagai variasi lainnya, meski kepesertaan bersifat wajib beberapa penjamin simpanan memberi keleluasaan bagi bank yang memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu untuk tidak menjadi peserta program penjaminan (opting out). Sebagai misal, CDIC di Kanada memberikan pilihan bagi kantor cabang atau anak perusahaan bank asing yang hanya menerima simpanan di atas jumlah yang dijamin (wholesale deposits) untuk tidak menjadi peserta penjaminan.

Kepesertaan LPS

Dalam penjaminan LPS, kepesertaan bersifat wajib bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Kewajiban menjadi peserta penjaminan tersebut berlaku bagi bank umum dan bank perkreditan/pembiayaan rakyat; bank konvensional dan bank syariah; bank domestik dan kantor cabang/anak perusahaan bank asing.

Kepesertaan yang bersifat wajib tersebut dipilih dengan mempertimbangkan alasan sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yakni:
(a) menghindari terjadinya adverse selection berupa kecenderungan hanya bank tidak sehat yang menjadi peserta penjaminan;
(b) manfaat penjaminan simpanan meliputi semua bank dengan terciptanya sistem perbankan yang lebih sehat dan stabil; (
c) mencegah sekelompok bank mempunyai keunggulan kompetitif tidak membayar premi penjaminan (competitive pricing); serta
(d) menciptakan iklim persaingan yang lebih fair (level playing field) antar bank.

Kepesertaan dalam penjaminan LPS bersifat otomatis dimana bank yang mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara langsung menjadi peserta penjaminan LPS. OJK memberitahukan kepada LPS mengenai pemberian izin usaha bank baru dan selanjutnya LPS akan meminta bank tersebut memenuhi kewajiban kepesertaan. LPS tidak memiliki wewenang untuk menghentikan atau membatalkan kepesertaan suatu bank dalam penjaminan dengan pertimbangan kewenangan tersebut dipandang tidak konsisten dengan tujuan melindungi simpanan nasabah.

Adanya kewenangan tersebut mengharuskan nasabah penyimpan perlu selalu memantau status kepesertaan suatu bank dan berpotensi menyebabkan simpanan nasabah menjadi tidak dijamin apabila nasabah tidak tahu atau tidak memindahkan simpanannya dari bank yang dihentikan/dibatalkan kepesertaannya dalam jangka waktu yang ditentukan. Dalam penjaminan LPS, pelanggaran terhadap kewajiban kepesertaan dikenakan sanksi berupa pengenaan denda bagi banknya atau dapat dikenakan sanksi pidana bagi pengurusnya. Ketentuan penjaminan LPS tidak memberi dispensasi atau kelonggaran pada bank tertentu untuk tidak menjadi peserta penjaminan.

Baca Lanjutannya...

06 June 2018

Prioritas Nasabah dan Perjumpaan Utang

Sebagai tindak lanjut pencabutan izin usaha bank, akan dibentuk tim likuidasi yang bertugas mencairkan aset bank dan membagikannya kepada nasabah penyimpan atau kreditur bank tersebut berdasarkan urutan atau prioritas tertentu yang disebut creditor hierarchy. Dalam hal bank masih memiliki cukup banyak aset berkualitas baik, pemegang saham ada kemungkinan juga masih mendapat pembagian.

Penetapan urutan atau prioritas nasabah penyimpan dalam creditor hierarchy memiliki beberapa variasi. Ada negara yang menempatkan seluruh nasabah penyimpan pada urutan yang sama dengan unsecuredkreditur lain (pari passu), sementara ada negara lainnya menempatkan nasabah penyimpan pada urutan yang lebih tinggi daripada unsecured kreditur lain. Variasi lainnya, nasabah penyimpan yang dijamin memiliki urutan lebih tinggi dibanding nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan unsecured kreditur.

Sedangkan perjumpaan utang (off-setting) merupakan upaya menentukan tagihan atau kewajiban bersih yang dimiliki bank atau nasabah penyimpan/kreditur dengan memperhitungkan jumlah simpanan/tagihan dengan pinjamannya pada bank yang sama.

Hak Subrogasi & Depositor Preference

Dalam berbagai kesempatan melakukan sosialisasi, banyak pihak yang mempertanyakan dasar pertimbangan adanya pengaturan dalam UU yang memberi LPS hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. LPS telah menerima premi penjaminan dari bank untuk digunakan membayar kembali simpanan nasabah dalam hal bank dicabut izin usahanya. Lantas, untuk apa lagi LPS mendapatkan pembagian hasil likuidasi bank.

Pemberian hak subrogasi bagi LPS merupakan praktek yang lazim diterapkan pada penjaminan simpanan. Praktek ini juga diterapkan pada asuransi komersial, utamanya asuransi kerugian atau harta benda, di mana perusahaan asuransi akan menggantikan posisi tertanggung dalam hal terdapat tuntutan kepada pihak ketiga.

Dengan adanya penjaminan simpanan, hak nasabah penyimpan yang dijamin terhadap pembagian hasil likuidasi bank tidak hilang. Namun agar nasabah tersebut tidak mendapat penggantian atau pembayaran dua kali, haknya atas hasil likuidasi bank dialihkan kepada pihak yang telah membayar terlebih dahulu kepadanya.

Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), subrogasi merupakan perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga yang membayar kepada kreditur tersebut, yang dapat didasarkan pada persetujuan atau undang-undang. Subrogasi yang didasarkan pada persetujuan terjadi dengan adanya pembayaran dari pihak ketiga kepada kreditur dan selanjutnya pihak ketiga tersebut menggantikan hak kreditur terhadap debitur termasuk gugatan, hak istimewa maupun atas hipoteknya.

Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran. Sedangkan subrogasi yang didasarkan pada undang-undang terjadinya pergantian hak kreditur ditetapkan oleh undang-undang, tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan kreditur lama, maupun antara pihak ketiga dengan debitur.

Dengan pemberian hak subrogasi tersebut, penjamin simpanan diharapkan dapat memiliki hasil pengembalian (recovery rate) yang lebih baik sehingga biaya penjaminan dapat ditekan lebih rendah. Oleh karena itu, kebijakan memberikan hak subrogasi tersebut perlu dipahami sebagai satu kesatuan sistem penjaminan simpanan bersama dengan penetapan tarif premi dan faktor terkait penjaminan lainnya. Dalam hal hasil pengembalian diperkirakan relatif tinggi, tarif premi penjaminan dapat ditetapkan lebih rendah, begitu pula sebaliknya.

Sebagai tindak lanjut pencabutan izin suatu bank, selain pelaksanaan pembayaran klaim penjaminan, akan ditunjuk tim likuidasi untuk membereskan aset dan kewajiban bank tersebut. Pembagian hasil likuidasi bank dilakukan berdasarkan urutan prioritas tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Prioritas dalam pembagian hasil likuidasi bank selain berdampak pada biaya penjaminan simpanan, dapat pula mempengaruhi perilaku nasabah penyimpan dan kreditur.

Prioritas pembagian hasil likuidasi menunjukkan urutan pihak yang akan memperoleh pembayaran dalam pembagian hasil likuidasi bank, atau apabila dibaca sebaliknya akan menunjukkan urutan pihak yang akan menanggung kerugian atau biaya kegagalan bank. Oleh karenanya, selain pembatasan jumlah simpanan yang dijamin, penetapan prioritas dalam pembagian hasil likuidasi bank merupakan salah satu upaya meningkatkan disiplin pasar.

Nasabah penyimpan atau kreditur yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada prioritas yang lebih belakang. Dengan memiliki risiko yang lebih besar atas pengembalian simpanan atau tagihannya, nasabah penyimpan dan kreditur tersebut akan terdorong untuk selalu memperhatikan kondisi bank. Dalam hal nasabah penyimpan yang dijamin ditetapkan memiliki prioritas lebih tinggi dibandingkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lainnya, penjamin simpanan sebagai pemegang hak subrogasi akan mendapatkan tingkat pengembalian yang relatif lebih baik pula.

Namun pilihan kebijakan ini dapat mendorong nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lainnya akan berupaya melindungi simpanannya dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya dengan memperpendek tenor simpanannya, meminta tambahan bunga, dan/atau melakukan colateralisasi.

Colateralisasi merupakan pengikatan aset debitur oleh kreditur sebagai jaminan dalam pemenuhan kewajibannya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai debitur, sedangkan kreditur merupakan pihak yang memberi utang kepada bank atau yang membeli surat berharga yang diterbitkan bank. Kreditur yang mengikat aset bank sebagai colateral(secured creditors) memiliki prioritas utama dan pertama atas aset tersebut.

Penggunaan colateralisasi yang luas akan membatasi pilihan upaya penyelesaian permasalahan suatu bank karena banyak aset yang sudah terikat dan tidak dapat dengan leluasa digunakan. Selain itu, dalam hal bank dicabut izinnya, colateralisasi akan mengurangi jumlah aset yang dapat dilikuidasi untuk dibagikan kepada nasabah penyimpan dan kreditur lainnya (unsecured creditors), termasuk kepada penjamin simpanan.

Adanya prioritas bagi nasabah penyimpan yang dijamin dan maraknya colateralisasi, akan menyebabkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lainnya menjadi sensitif terhadap kondisi suatu bank. Untuk menghindari kerugian, apabila nasabah dan kreditur tersebut merasa tidak nyaman dengan kondisi suatu bank, mereka akan segera melakukan penarikan dananya (early withdrawl) yang dapat mengakibatkan permasalahan likuiditas bagi bank.

Pemberian prioritas satu kelompok nasabah dan kreditur terhadap kelompok lainnya akan mendorong nasabah dan kreditur yang kurang prioritas melakukan disiplin pasar dan pada tingkat tertentu dapat memicu bank runs. Oleh karena itu, dalam penetapan urutan prioritas atau creditor hierarchy perlu mempertimbangkan banyak faktor terutama mengantisipasi kemungkinan dampak buruknya (unintended consequences). Sebagai alternatif kebijakan, beberapa negara menetapkan seluruh nasabah penyimpan memiliki prioritas yang sama (pari passu) dengan kreditur lainnya dalam pembagian hasil likuidasi bank.

Perjumpaan Utang & Proses Klaim

Dalam pembahasan mengenai likuidasi atau kepailitan bank, istilah perjumpaan utang atau off-setting merujuk pada upaya memperhitungkan simpanan yang dimiliki seorang nasabah dengan kewajibannya pada bank yang sama. Dengan memperhitungkan simpanan dan kewajiban yang dimilikinya, seorang nasabah penyimpan atau debitur pada akhirnya hanya akan memiliki saldo pada salah satu diantara simpanan atau kewajibannya. Oleh karenanya, off-setting sering pula disebut sebagai netting.

Dalam penjaminan simpanan, off-setting dimaksudkan untuk mengurangi jumlah nasabah penyimpan atau debitur yang harus dikelola dalam proses pembayaran klaim dan/atau likuidasi bank. Kebijakan off-setting tersebut dapat memiliki dampak terhadap jumlah simpanan yang harus dibayar penjamin simpanan dan yang akan diterima nasabah. Oleh karena itu, detail kebijakan off-settingperlu dikaji dan disimulasikan untuk menilai dampaknya secara umum dan pada individual nasabah penyimpan atau debitur.

Dengan dilakukan off-setting, pada kondisi tertentu tingkat pengembalian (recovery rate) seorang yang mempunyai simpanan dan kewajiban pada bank tersebut dapat meningkat secara signifikan. Sebaliknya, recovery rate nasabah penyimpan atau debitur lainnya dapat saja justru menurun drastis dengan dilakukannya off-setting. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan off-setting meliputi waktu pelaksanaan off-setting dan kriteria kewajiban yang akan digunakan dalam off-setting.

Pelaksanaan off-setting dapat dilakukan sebelum atau setelah perhitungan simpanan layak bayar. Kewajiban yang digunakan untuk off-setting dapat meliputi seluruh kewajiban tanpa melihat status kolektibilitasnya, atau hanya pada kewajiban yang sudah jatuh tempo atau macet saja. Off-setting terhadap kewajiban yang kolektibilitasnya lancar justru dapat mengganggu likuiditas usaha yang dibiayai oleh kewajiban tersebut, bahkan dapat berpotensi menjadikan kewajiban yang awalnya lancar dapat menjadi macet.

Nasabah yang mendapat kredit dari suatu bank biasanya akan diminta membuka simpanan dalam bentuk tabungan atau giro pada bank tersebut untuk mendukung kegiatan operasionalnya. Apabila bank tersebut dicabut izinnya dan simpanan nasabah tersebut diperhitungkan dengan outstanding kewajiban yang dimilikinya, bisa jadi nasabah tersebut menjadi tidak lagi memiliki simpanan jika jumlah kewajibannya lebih besar.

Ketiadaan simpanan untuk dana operasional atau modal kerja akan mengakibatkan nasabah tersebut tidak dapat lagi menjalankan usahanya. Sehingga praktis kredit yang semula lancar dapat menjadi macet. Selain itu, nasabah masih harus menyediakan uang untuk melunasi kewajibannya. Oleh karena itu, umumnya off-setting hanya dilakukan terhadap kredit yang macet atau angsuran yang telah jatuh tempo.

Selain permasalahan tersebut, pemberlakuan off-setting juga memerlukan waktu untuk melakukan proses tersebut yang dapat berdampak pada tertundanya pembayaran klaim. Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberlakuan off-setting yakni potensi kebingungan atau ketidakjelasan bagi nasabah mengenai jumlah simpanan yang dijamin dan yang akan diterima dalam hal bank dicabut izin usahanya. Meski jumlah simpanan yang dijamin disosialisasikan dan dipahami, nasabah penyimpan yang sekaligus menjadi debitur tidak akan dapat mengetahui jumlah simpanannya yang dijamin sampai proses perjumpaan utang tersebut selesai.

Off-setting akan lebih mudah dilakukan apabila penjamin simpanan memiliki wewenang pembayaran klaim dan pelaksanaan likuidasi. Sebagaimana dimaklumi, tidak semua penjamin simpanan memiliki sekaligus kedua wewenang tersebut. Apabila kewenangan tersebut dimiliki oleh otoritas yang berbeda, penerapan off-setting akan relatif lebih sulit dilakukan. Berdasarkan problematika tersebut dan untuk mempercepat proses pembayaran klaim, pada saat ini terdapat kecenderungan untuk tidak lagi menerapkan off-setting sehingga pembayaran simpanan yang dijamin tidak lagi dikaitkan dan diperhitungkan dengan kewajiban yang dimiliki nasabah pada bank tersebut.

Baca Lanjutannya...

05 June 2018

"Safeguards", Upaya Melindungi Hak Kreditur dalam Resolusi Bank

Metode resolusi bank secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: closed-bank resolution dan open-bank resolution.

Dalam closed-bank resolution, resolusi dilakukan dengan melakukan penutupan terdapat bank gagal, selanjutnya opsi pilihannya meliputi antara lain: melaksanakan likuidasi bank; mengalihkan sebagian aset dan kewajiban bank (Purchase & Assumption) kepada bank lain; atau mendirikan bank perantara (Bridge Bank).

Sedangkan dalam open-bank resolution, pada intinya bank tetap dipertahankan beroperasi dan dilakukan upaya penyehatan melalui antara lain: menambah modal, memberikan pinjaman, atau membeli aset bank yang berkualitas buruk.

Pelaksanaan likuidasi merupakan jalan normal bagi bank untuk keluar dari sistem perbankan atau disebut "normal insolvency proceedings". Dalam pelaksanaan likuidasi, nilai aset bank diupayakan agar dapat dipertahankan sehingga dapat memberi tingkat pengembalian (recovery rate) yang tinggi bagi para kreditur. Namun mengingat bank telah dicabut izinnya, penggunaan basis gone-concern dalam pengelolaan dan penjualan aset bank akan berpotensi menyebabkan penurunan nilai aset.

Selain itu, terhentinya layanan perbankan kepada nasabah (kreditur & debitur) akan berdampak pada konsumsi, investasi, dan riil ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, pelaksanaan likuidasi dipandang merupakan opsi resolusi bank yang memakan biaya paling mahal dan tingkat pengembalian yang paling rendah bagi kreditur.

Pelaksanaan resolusi bank, dilakukan dengan mempertahankan keberlangsungan fungsi kritikal bank dengan cara mengalihkan sebagian aset dan kewajiban kepada bank penerima atau kepada bank perantara; atau mempertahankan bank beroperasi dan diberikan bantuan keuangan (open bank assistance/OBA). Setelah krisis 2008, opsi OBA (bail-out) disepakati untuk sedapat mungkin dihindari karena dapat menimbulkan moral hazard, persaingan tidak sehat, dan rasa ketidak-adilan, selain membebani anggaran negara.

Dengan pelaksanaan resolusi diharapkan layanan perbankan dapat terjaga keberlangsungannya, stabilitas sistem perbankan dapat terpelihara, sehingga secara keseluruhan biaya kegagalan bank akan lebih murah dan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi bagi kreditur dibandingkan likuidasi. Berdasar pada pandangan tersebut, dalam Key Attributes (KA) of Effective Resolution Regimes for Financial Institution diatur bahwa apabila dilaksanakan resolusi, harus dipastikan tidak ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank secara keseluruhan dilakukan likuidasi, disebut prinsip No Creditors Worse Off than in Liquidation (NCWOL).
Sumber: www.barnabyisright.com

Selain itu, pembebanan kerugian bank harus memperhatikan creditor hierarchy di mana pemegang saham merupakan pihak pertama yang harus menyerap kerugian, dan selanjutnya diikuti pemegang hybrid capitals, subordinate debts, senior debts, serta dapat pula termasuk nasabah penyimpan yang tidak dijamin. Kreditur dengan kategori atau kelas yang sama harus memperoleh tingkat pengembalian yang sama pula, dan tidak diperkenankan membedakan perlakuan kepada kreditur berdasarkan lokasi klaim dan kewarganegaraannya (pari passu).

Penerapan prinsip NCWOL dan pembebanan kerugian sesuai creditor hierarchy tersebut dinamakan Safeguards, yang dimaksudkan sebagai upaya untuk memberi perlindungan terhadap hak kepemilikan (property right) bagi kreditur dengan menggunakan asumsi bahwa pengembalian dari hasil likuidasi bank merupakan jumlah minimal yang akan diterima dan menjadi hak kreditur. Dalam KA atau atribut kunci juga diatur bahwa otoritas resolusi dapat menetapkan kebijakan yang keluar dari prinsip pari passu dengan memperlakukan berbeda antar kreditur pada kelas yang sama. Kebijakan tersebut sangat selektif dan hanya dapat dilakukan jika dipandang perlu untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dan memaksimalkan nilai bagi kepentingan kreditur secara keseluruhan.

Sebagai ilustrasi: creditor hierarchy di beberapa negara pada umumnya menempatkan simpanan yang tidak dijamin dalam kelompok yang memiliki prioritas yang sama dengan unsecured debts. Dalam transaksi P&A, otoritas resolusi dapat memutuskan untuk mengalihkan seluruh simpanan beserta aset yang berkualitas baik dengan nilai setara kepada bank penerima (assuming bank). Dengan kebijakan tersebut, nasabah penyimpan yang tidak dijamin akan memperoleh tingkat pengembalian yang berbeda dibandingkan dengan unsecured creditors, padahal sesuai creditor hierarchy harusnya mereka pada posisi yang sama (pari passu).

Mengingat aset yang tertinggal pada bank sebagian besar berkualitas buruk, ada kemungkinan unsecured creditors akan memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank secara keseluruhan dilakukan likuidasi. Jika terjadi demikian, sesuai prinsip NCWOL, unsecured creditors tersebut berhak memperoleh kompensasi sebesar selisihnya.

Untuk memenuhi prinsip NCWOL, segera setelah dilaksanakan resolusi, otoritas resolusi menunjuk independent valuer untuk menghitung dan membandingkan antara tingkat pengembalian yang diterima kreditur setelah dilakukan resolusi dengan tingkat pengembalian jika terhadap bank dilakukan likuidasi (hypothetical liquidation scenario). Apabila independent valuer menemukan bukti seorang kreditur memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah, otoritas resolusi harus memberikan kompensasi kepadanya.

Kreditur diberikan hak untuk mengajukan keberatan dalam hal tidak sepakat dengan keputusan otoritas resolusi. Untuk menunjang penerapan Safeguards tersebut, perlu disusun mekanisme penanganan keberatan bagi kreditur dan diberikan wewenang kepada otoritas resolusi untuk menggunakan dana resolusi guna membayar kompensasi kepada kreditur tersebut. Dalam resolusi Banco Espirito Santo (BES) yang dibahas di sini, Bank of Portugal sebagai otoritas resolusi memutuskan mengalihkan kembali 5 senior bonds tertentu dari 52 senior bonds yang sebelumnya telah dialihkan dari BES kepada Novo Banco, bank perantara dalam resolusi BES.

Pengalihan tersebut menyebabkan nilai senior bonds tersebut jatuh dan para investornya menggugat ke pengadilan untuk membatalkan keputusan tersebut dengan dalih Bank of Portugal telah melakukan tindakan melawan hukum, melanggar prinsip Safeguards, dan mencederai hak kepemilikan kreditur.

"As a resolution tends to be less value destructive than liquidation, creditors as a whole should be made better off in resolution under most circumstances. However, there may be instances where in order to preserve financial stability or maximise the financial institution's value for the benefit of creditors as a whole, the resolution strategy may render certain creditors worse off as compared to liquidation. Creditors should have a right to compensation where they do not receive at a minimum what they would have received in a liquidation of the firm under the applicable insolvency regime."

Baca Lanjutannya...