28 March 2018

Pendekatan One-Tier Board System dalam Tata Kelola LPS

Agar dapat melaksanakan visi dan misi, serta untuk mencapai tujuannya, suatu perusahaan atau organisasi harus merumuskan kebijakan dan inisiatif strategis, melaksanakan kegiatan operasional, serta melakukan pengawasan atau monitoring agar kegiatan operasional tersebut dapat sejalan dengan kebijakan strategis yang telah ditetapkan. Untuk itu, perlu dirancang suatu struktur atau sistem tata kelola perusahaan atau organisasi (corporate governance) yang mendukung upaya pencapaian tujuan tersebut.

Struktur atau sistem tata kelola perusahaan mempunyai banyak variasi, namun yang paling sering digunakan ada dua sistem, yakni one-tier board system dan two-tier board system. Sistem yang pertama banyak diterapkan oleh perusahaan atau organisasi di negara Anglo-Saxon antara lain Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sedangkan sistem yang kedua banyak diterapkan di negara Eropa daratan terutama Jerman, Perancis, dan Belanda. Sebagai negara yang pernah dijajah oleh Belanda, tata kelola perusahaan atau organisasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh sistem yang diterapkan di Belanda yakni two-tier board system.

One-Tier Board System

Dalam one-tier board system, keseluruhan wewenang pelaksanaan fungsi suatu perusahaan atau organisasi dilaksanakan oleh satu board atau dewan yang lazim disebut sebagai board of directors. Beberapa perusahaan atau organisasi sering juga menyebutnya dengan board of governors atau board of commissioners. Pada sistem ini, board of directors berfungsi menetapkan kebijakan, melaksanakan kegiatan operasional, dan sekaligus melakukan pengawasan atau monitoring. Bagi kita yang terbiasa dengan two-tier board system, sistem ini dipandang kurang memperhatikan pemisahan wewenang dan tanggung-jawab karena ketiga fungsi utamanya dilaksanakan oleh satu dewan. Namun jika ditilik lebih dalam, sebenarnya dalam internal board of directors tersebut terdapat pembagian wewenang dan tanggung-jawab.

Pengambilan kebijakan merupakan kewenangan board of directors sebagai satu kesatuan dewan sehingga semua anggota board of directors dapat berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi tersebut. Seringkali konsep kesatuan dalam pengambilan keputusan dan pertanggung-jawaban tersebut disebut sebagai kolektif kolegial. Dalam pelaksanaan kegiatan operasional ditunjuk satu atau beberapa anggota board of directors yang disebut sebagai executive director(s). Sedangkan pelaksanaan fungsi monitoring dan pengawasan dilakukan oleh beberapa anggota board of directors lainnya yang disebut non-executive directors (NEDs). NEDs pada umumnya bekerja secara paruh waktu (part time). Komposisi jumlah anggota executive directors dan non-executive directors bervariasi tergantung pertimbangan dan kepentingan perusahaan atau organisasinya, tetapi pada umumnya executive directors berjumlah lebih sedikit.

Pemegang saham atau board of directors memilih salah satu anggota non-executive directors menjadi Chairman atau sering pula disebut sebagai President. Sedangkan satu atau salah satu anggota executive directors ditetapkan menjadi Chief Executive Officer (CEO). Dalam prakteknya terdapat perbedaan penerapan dalam penetapan Chairman dan CEO tersebut. Di Amerika Serikat, seorang Chairman biasanya sekaligus ditunjuk juga menjadi CEO yang kemudian memunculkan sebutan Executive Chairman. Sedangkan di Inggris, pada umumnya seorang CEO tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Chairman, sehingga kedua jabatan tersebut harus diamanatkan pada orang yang berbeda.

Two-Tier Board System

Sedangkan dalam two-tier board system terdapat dua dewan yang terpisah, satu dewan yang bertanggung-jawab menetapkan kebijakan dan mengelola operasional perusahaan (management board) dan satu dewan lainnya yang melakukan fungsi monitoring dan pengawasan (supervisory board). Pada dasarnya, management board merupakan executive directors sedangkan supervisory board merupakan non-executive directors.

Pemisahan fungsi penetapan kebijakan dan pelaksanaan operasional dengan fungsi monitoring dan pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menghindari benturan kepentingan yang diharapkan akan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Namun berdasarkan pengalaman, penetapan kriteria dan pelaksanaan proses pemilihan supervisory boards pada umumnya kurang jelas dan tidak transparan sehingga seringkali justru akan menghasilkan sistem pengawasan yang tidak efektif dan dapat menyebabkan tata kelola yang kurang baik. Berkaca pada hal tersebut, saat ini terdapat kecenderungan perusahaan atau organisasi mulai mengkaji atau menerapkan one-tier board system.

Tata Kelola LPS

Dalam UU LPS tidak secara eksplisit menyebutkan sistem tata kelola yang dianut dan diterapkan pada LPS. Namun jika dilihat dari pengaturan mengenai Organisasi dalam UU tersebut, dapat disimpulkan bahwa tata kelola LPS menggunakan pendekatan one-tier board system. Pilihan pendekatan one-tier board system tersebut dimaksudkan agar Dewan Komisioner (DK) sebagai organ tertinggi dan pimpinan LPS dapat menjaga independensinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut konsisten dengan ketentuan Pasal 2 UU tersebut yang menyatakan bahwa LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Independensi bagi LPS mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh Pemerintah, kecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas di dalam UU tersebut. Sedangkan untuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik, diwujudkan dengan dilakukannya pemeriksaan laporan keuangan, pengendalian internal, dan kepatuhan LPS oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan keuangan yang telah diaudit BPK selanjutnya wajib dipublikasikan di surat kabar dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. LPS bertanggung jawab kepada Presiden.

Anggota DK LPS berjumlah 6 orang yang diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Keuangan dengan susunan sebagai berikut:
a. 1 orang anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan;
b. 1 orang anggota ex-officio dari Bank Indonesia (BI);
c. 1 orang anggota ex-officio dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan
d. 3 orang anggota lainnya yang berasal dari akademisi, profesional, atau pejabat karir LPS.

Presiden pada saat mengangkat anggota DK sekaligus menetapkan seorang anggota bukan ex-officio sebagai Ketua DK dan satu orang bukan ex-officio lainnya sebagai Kepala Eksekutif. Penetapan Ketua DK (chairman) dan Kepala Eksekutif (chief executive officer) LPS tidak dilakukan dalam rapat DK melainkan ditetapkan oleh Presiden pada saat pengangkatannya. Seluruh anggota DK LPS bekerja secara penuh waktu (full time).

Kepala Eksekutif bertugas menjalankan sebagian wewenang DK untuk melaksanakan kegiatan operasional LPS dengan dibantu oleh paling banyak 5 direktur eksekutif. Sedangkan Ketua DK dan anggota DK lainnya (sebagai non-executive directors) bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan, serta mengawasi dan memonitor pelaksanaan kegiatan operasional yang dijalankan oleh Kepala Eksekutif.

Meskipun merupakan anggota DK, Kepala Eksekutif tidak memiliki hak suara dalam rapat pengambilan keputusan yang dilakukan DK. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya benturan kepentingan, terutama dalam rapat pengambilan keputusan terkait monitoring dan pengawasan pelaksanaan kegiatan operasional. Untuk rapat perumusan dan penetapan kebijakan selain kegiatan operasional, terdapat pandangan sebaiknya Kepala Eksekutif juga memiliki hak suara sesuai dengan prinsip kolektif kolegial dari board of directors.

Dalam keanggotaan DK LPS terdapat perwakilan dari otoritas lainnya (BI, OJK, & Kementerian Keuangan) mengingat kebijakan dan operasional penjaminan simpanan dapat berdampak luas pada perbankan, perekonomian, moneter, dan fiskal. Keberadaan para wakil otoritas tersebut dimaksudkan agar dalam merumuskan kebijakan penjaminan simpanan dapat selaras dan bersinergi dengan kebijakan pada sektor-sektor tersebut.

Keanggotaan DK secara ex-officio yang mewakili beberapa otoritas tersebut juga diperlukan dalam mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi LPS. Kementerian Keuangan dapat memberikan dukungan pelaksanaan tugas dalam penyusunan legislasi (pengaturan) yang terkait LPS antara lain berupa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Selain itu, Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal juga merupakan pihak yang akan memberikan dukungan pendanaan dalam bentuk pinjaman ketika LPS mengalami kesulitan likuiditas dan tambahan modal ketika modal awal LPS menjadi kurang dari Rp 4 triliun.

Pelaksanaan tugas LPS juga terkait dengan BI sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran, serta OJK sebagai pengatur dan pengawas perbankan, terutama dalam penetapan tingkat bunga penjaminan, serta tukar menukar data dan informasi mengenai kondisi perbankan, perekonomian, serta koordinasi dalam pelaksanaan resolusi bank. Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS merupakan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk guna menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.

Baca Lanjutannya...

22 March 2018

10 Salah Paham Yang Lazim Terhadap Penjaminan LPS

Meski usia LPS sudah hampir menginjak 13 tahun, masih banyak masyarakat yang belum memahami dengan benar mengenai program penjaminan simpanan LPS. Berikut 10 kesalah-pahaman yang lazim terjadi:

1. Seluruh simpanan nasabah yang dijamin LPS paling tinggi sebesar Rp 2 milyar.
Penjaminan simpanan untuk setiap nasabah pada satu bank paling tinggi sebesar Rp 2 milyar. Nasabah dapat memperoleh penjaminan dari LPS lebih dari Rp 2 milyar apabila nasabah tersebut menempatkan simpanannya pada beberapa bank yang berbeda. Selain itu, dalam hal nasabah membuka rekening pada satu bank yang dinyatakan untuk kepentingan pihak lain (beneficiary), misalnya anak atau istri, maka simpanan pada rekening tersebut akan diperhitungkan sebagai milik anak atau istrinya tersebut. Simpanan nasabah yang diatas Rp 2 milyar akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank.

2. Kepemilikan banyak rekening dan rekening gabungan pada satu bank akan meningkatkan simpanan yang dijamin.
Dalam perhitungan simpanan yang dijamin untuk seorang nasabah, seluruh saldo rekening nasabah tersebut pada satu bank akan dijumlahkan. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening tersebut akan dibagi secara prorata sesuai jumlah nasabah yang memiliki rekening gabungan tersebut. Selanjutnya saldo yang menjadi bagian dari setiap nasabah pada rekening gabungan akan dijumlahkan dengan saldo rekening-rekening lain yang dimiliki nasabah tersebut pada bank yang bersangkutan. Batas nilai simpanan yang dijamin untuk nasabah tersebut pada satu bank tetap sebesar Rp 2 milyar yang meliputi jumlah saldo pada seluruh rekening tunggal dan saldo bagiannya pada rekening gabungan.

3. Simpanan pada kantor cabang lain dari bank yang sama akan dijamin terpisah.
Batas penjaminan meliputi simpanan per nasabah per bank, sehingga simpanan yang ditempatkan pada kantor cabang yang berbeda lokasi dari bank yang sama tidak dijamin terpisah melainkan akan dijumlahkan dengan simpanan nasabah yang bersangkutan pada bank tersebut.

4. Setiap produk yang dipasarkan bank dijamin LPS.
LPS menjamin simpanan dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS tidak menjamin instrumen dalam bentuk saham, obligasi, Surat Utang Negara (SUN), reksadana, atau asuransi, sekalipun instrumen tersebut dijual atau dipasarkan oleh bank.

5. Apabila simpanan nasabah menerima tingkat bunga melebihi tingkat bunga penjaminan LPS, maka yang dijamin hanya pokok simpanannya saja.
Penerapan tingkat bunga penjaminan dimaksudkan untuk mencegah bank menggunakan tingkat bunga tinggi untuk bersaing memperebutkan dana masyarakat (perang bunga) dengan mengabaikan risiko dan biayanya. Bank yang menawarkan bunga tinggi biasanya sedang menghadapi permasalahan likuiditas atau sedang membutuhkan likuiditas. Simpanan yang memiliki tingkat bunga melebihi tingkat bunga penjaminan tidak dijamin pokok simpanan dan bunganya. Hal tersebut sebagai bentuk hukuman (pinalti) agar moral hazard tersebut dapat dicegah. Selain itu, pokok simpanan pada saat bank dicabut izinnya dapat berasal dari akumulasi tingkat bunga tinggi yang diperoleh pada beberapa periode sebelumnya.

6. Nasabah penyimpan harus menunggu selesainya proses likuidasi untuk memperoleh pembayaran kembali simpanannya.
Proses pembayaran klaim penjaminan LPS merupakan proses yang terpisah dengan pelaksanaan likuidasi bank. Sesuai ketentuan, pembayaran klaim penjaminan dilakukan bertahap yang akan dimulai 5 hari kerja sejak rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan nasabah dan tidak tergantung pada pelaksanaan likuidasi bank.

7. Semua lembaga yang mengerahkan dana masyarakat menjadi peserta penjaminan LPS.
Peserta penjaminan LPS hanya meliputi bank umum dan BPR. Institusi yang dalam UU LPS secara tegas dikecualikan dari kepesertaan LPS diantaranya Badan Kredit Desa (BKD). Lembaga pengerah dana masyarakat lain seperti koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro juga tidak menjadi peserta penjaminan LPS.

8. Semua penempatan simpanan pada bank peserta pasti dijamin.
Semua penempatan dana dalam bentuk simpanan pada bank peserta penjaminan pasti dijamin LPS maksimal sebesar Rp 2 milyar per nasabah per bank. Simpanan tersebut dijamin LPS, tetapi untuk dapat dinyatakan sebagai simpanan layak dibayar pada saat bank dicabut izinnya harus memenuhi kriteria atau persyaratan, yakni: simpanan tercatat pada bank, tidak memperoleh tingkat bunga melebihi tingkat bunga penjaminan, serta nasabah tidak memiliki kredit macet atau terbukti menjadi penyebab bank gagal.

9. Nasabah dapat membeli penjaminan tambahan untuk simpanan diatas Rp 2 milyar.
Batasan jumlah yang dijamin sebesar Rp 2 milyar tersebut berlaku untuk semua nasabah pada semua bank. Batasan tersebut tidak dapat dinaikkan oleh nasabah dengan membeli penjaminan tambahan dari LPS maupun dari perusahaan asuransi komersial.

10. Nasabah harus mendaftar/mengajukan permohonan untuk mendapat penjaminan LPS.
Penjaminan LPS berlaku secara otomatis bagi setiap bank yang mendapat izin usaha melakukan operasi di wilayah Indonesia. Bank peserta yang diwajibkan memenuhi kewajiban kepesertaan kepada LPS, termasuk menyampaikan dokumen kepesertaan dan membayar premi penjaminan. Nasabah penyimpan tidak diwajibkan mendaftar atau mengajukan permohonan agar simpanannya mendapatkan penjaminan LPS. Namun demikian, nasabah harus memperhatikan agar simpanannya memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai simpanan layak dibayar pada saat bank dicabut izinnya.

Baca Lanjutannya...

Arti dan Makna Logo LPS

Logo merupakan suatu bentuk gambar, sketsa, atau grafis dengan arti tertentu yang mewakili institusi, perusahaan, produk, atau organisasi. Logo dibuat agar mudah dikenali dan dihafalkan hingga lazimnya memiliki visualisasi bentuk dan warna yang unik. Latar belakang pembuatan logo diantaranya: (1). Representasi visi dan misi; (2). Membentuk image dan identitas; (3). Memudahkan masyarakat mengenali; dan (4). Menjadi bagian dari branding.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan logo, yakni: 1. Simple, sederhana dan mudah diingat semua orang; 2. Unik, khas dan berbeda dengan yang lain; 3. Warna, maksimal menggunakan 3 warna; 4. Aspek Rasio, perbandingan panjang dan lebar proporsional; 5. Font, menghindari penggunaan jenis font yang umum; dan 6. Filosofi, selaras dengan filosofi perusahaan.

Logo yang dipakai LPS saat ini, penetapannya melalui proses yang cukup sederhana. Setelah UU LPS disetujui DPR dan ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 22 September 2004, diberikan waktu selama 12 bulan untuk melakukan persiapan operasionalisasi LPS.

Pokja LPS yang dibentuk Menteri Keuangan dan beranggotakan lintas instansi kemudian melakukan berbagai persiapan operasionalisasi LPS, diantaranya: menyusun draf Peraturan Pemerintah (PP) modal awal LPS, PP penjaminan simpanan di bank syariah, memproses pengusulan anggota Dewan Komisioner, menyusun draf beberapa Peraturan LPS, menyusun struktur organisasi dan uraian pekerjaan, menyusun pedoman akuntansi, termasuk menyusun desain logo yang akan digunakan LPS.

Dengan bantuan konsultan kemudian dilakukan kajian untuk membuat logo yang pas dan pantas untuk LPS. Penggalian desain logo diawali dengan mengkaji rumusan fungsi, tugas, dan wewenang LPS, serta mempertimbangkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Dalam proses pembuatan logo juga dilakukan benchmarking dengan lembaga sejenis di luar negeri dan lembaga lain di dalam negeri.

Setelah melalui diskusi dan pertukaran gagasan, pada akhirnya mengerucut pada tiga rekomendasi desain logo, dua diantaranya sangat kental dengan unsur dan nuansa perusahaan perasuransian berupa gambar payung dan perisai. Sedangkan satu desain logo lainnya menggambarkan siluet 2 tangan yang saling menyilang dengan komposisi tangan yang di atas lebih besar daripada tangan yang dibawah.

Rekomendasi desain logo tersebut mendapat banyak komentar ketika dipresentasikan dalam rapat. Pengambilan keputusan terhadap usulan tersebut dilakukan melalui pemungutan suara (voting) dan logo siluet 2 tangan yang terpilih. Pada kesempatan tersebut muncul komentar desain logo LPS tersebut lebih mirip gambar lumba-lumba daripada gambar siluet 2 tangan. Rekomendasi desain logo tersebut kemudian disatukan dengan beberapa draf peraturan dan keputusan yang penetapannya diserahkan kepada Dewan Komisioner LPS terpilih.

Logo LPS yang digunakan saat ini memiliki 3 bagian yang terdiri dari :
1. Pada bagian kiri gambar siluet 2 tangan,
2. Pada bagian tengah tulisan Lembaga Penjamin Simpanan, dan
3. Pada bagian kanan tulisan Indonesia Deposit Insurance Corporation.

Gambar siluet 2 tangan dimaknai sebagai simbol perlindungan yang diberikan negara, dalam hal ini diwakili oleh LPS (tangan di atas dan lebih besar) terhadap nasabah bank terutama nasabah kecil yang seringkali menjadi korban pada kejadian kegagalan bank (tangan di bawah dan lebih kecil). Gambar siluet 2 tangan tersebut diharapkan dapat mudah menarik perhatian (eye-catching) sehingga membantu masyarakat mengidentifikasi dan mengenalinya, untuk selanjutnya mengasosiasikan dengan tulisan Lembaga Penjamin Simpanan yang ada di sebelahnya.

Sedangkan warna siluet 2 tangan merupakan kombinasi dari warna hitam pada tangan besar yang menunjukkan keanggunan, kemakmuran, serta percaya diri; sedangkan warna abu-abu pada tangan kecil menunjukkan kesederhanaan, intelektualitas, serta berorientasi ke masa depan.

Tulisan Indonesia Deposit Insurance Corporation dimaksudkan untuk menunjukan sebutan LPS dalam bahasa Inggris, serta sebagai komparasi dengan lembaga sejenis di negara lain. Desain logo tersebut sejauh ini cukup efektif dalam membantu masyarakat untuk mengingat dan mengenali LPS ketika digunakan dalam berbagai kegiatan, terutama aktivitas sosialisasi dan kehumasan yang dilakukan LPS.

Dengan bertambahnya usia LPS yang akan mencapai 13 tahun, serta tambahan mandat dan kewenangan yang dimiliki LPS berdasar UU PPKSK, mungkin sudah waktunya untuk mereview kembali kesesuaian logo tersebut sebagai representasi visi dan misi, serta identitas LPS.

Baca Lanjutannya...