03 February 2017

Asymmetric Information

Untuk meningkatkan disiplin pasar, dalam Basel II Pilar 3, bank diwajibkan mengungkapkan informasi tertentu seperti portofolio aktiva dan profil risikonya agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mengawasi bank. Namun tidak semua lapisan masyarakat dapat diharapkan untuk melakukan disiplin pasar.

Persepsi pasar terhadap suatu bank dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan dan kelengkapan data/informasi bank, serta kemampuan nasabah penyimpan, kreditur, serta investor dalam menilai kondisi bank berdasarkan data/informasi yang tersedia.

Bank merupakan pihak yang paling mengetahui mengenai kondisi keuangannya termasuk prospek dan risiko yang dihadapinya, dibandingkan nasabah penyimpan, kreditur, dan investor. Untuk mengatasi ketidakseimbangan atau kesenjangan informasi (asymmetric information) tersebut, harus ada mekanisme yang mewajibkan bank mengungkapkan (disclose) semua fakta material mengenai kondisi keuangannya. Nasabah penyimpan akan menghadapi risiko simpanannya tidak dapat kembali tepat waktu dan/atau tepat jumlah apabila kondisi keuangan bank memburuk yang dapat berakhir pada pencabutan izin usaha bank tersebut.

Pada dasarnya risiko yang dihadapi nasabah penyimpan karena adanya asymmetric information tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua tipe/jenis, yakni: Pertama, bank mengungkapkan semua fakta material mengenai kondisi keuangannya, namun nasabah tidak mempunyai pengetahuan atau kemampuan untuk memahami informasi yang diungkapkan; dan Kedua, bank mengungkapkan informasi yang tidak benar mengenai kondisi keuangannya.

Sistem penjaminan simpanan dirancang dan ditujukan untuk dapat melindungi nasabah penyimpan yang memiliki simpanan sampai jumlah tertentu (nasabah kecil) dari kedua tipe/jenis risiko tersebut. Sedangkan nasabah yang memiliki simpanan lebih besar dari jumlah yang dijamin (nasabah besar) diharapkan dapat melakukan analisa data/informasi bank, mengukur risiko penempatan dananya pada bank tersebut, serta melakukan upaya untuk melindungi dirinya sendiri.

Dalam perspektif penjaminan simpanan, terdapat beberapa kebijakan/program yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan disiplin pasar, antara lain; pembatasan jumlah yang dijamin; pembatasan jenis yang dijamin; pembatasan pihak yang dijamin; koasuransi; dan pengaturan prioritas pembagian hasil likuidasi bank.

Adanya pembatasan jumlah simpanan yang dijamin menyebabkan nasabah yang simpanannya melebihi jumlah yang dijamin akan menghadapi risiko kerugian apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup karena sebagian simpanannya tidak dijamin. Oleh karena itu, nasabah besar akan terdorong untuk selalu memonitor kondisi dan kinerja bank.

Penjamin simpanan dapat pula tidak menjamin jenis simpanan tertentu yang dipandang lebih sebagai sarana investasi (investment tools) atau hanya dimiliki kategori nasabah tertentu saja, misalnya NCD, structured deposits, dan simpanan dalam valuta asing. Peningkatan disiplin pasar dapat pula dilakukan dengan mengecualikan penjaminan terhadap simpanan milik pihak yang dipandang memiliki kemampuan melakukan analisa kondisi bank, seperti : bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan perusahaan sekuritas. Para institutional investors tersebut dipandang mampu melindungi dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan perlindungan dari sistem penjaminan simpanan.

Penerapan koasuransi juga dimaksudkan sebagai upaya mendorong disiplin pasar. Koasuransi dalam penjaminan simpanan diartikan sebagai pembagian risiko antara nasabah penyimpan dengan penjamin simpanan. Dalam penetapan lingkup penjaminan, setiap nasabah penyimpan dirancang ikut menanggung sebagian risiko atas pilihan penempatan dananya pada bank tertentu. Sebagai misal, lingkup penjaminan ditetapkan maksimal Rp1 milyar dengan koasuransi 90%, artinya nasabah yang memiliki simpanan Rp500 juta hanya akan dijamin sebesar Rp450 juta (90%), sementara yang Rp50 juta (10%) tidak dijamin dan dipandang sebagai risiko yang harus ditanggung oleh nasabah atas keputusannya menempatkan simpanan pada bank tersebut.

Dalam penetapan prioritas pembagian hasil likuidasi bank (creditor hierarchy atau depositor preference), pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah. Posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya lazimnya digantikan oleh penjamin simpanan (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Nasabah penyimpan yang dijamin akan ditetapkan memiliki prioritas dibandingkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan unsecured creditur lain, dalam hal pihak yang disebut belakangan diharapkan melakukan disiplin pasar.

Sebaliknya seluruh nasabah penyimpan dapat pula ditetapkan memiliki prioritas yang sama dalam pembagian hasil likuidasi bank dengan unsecured creditur lainnya (pari passu), dalam hal tidak diharapkan disiplin pasar dari mereka.

Dalam penjaminan LPS, hanya diterapkan 2 kebijakan dalam rangka mendorong disiplin pasar, yakni; (1) pembatasan jumlah simpanan yang dijamin maksimal Rp 2 milyar per nasabah per bank, dan (2) penetapan hak subrogasi LPS memiliki prioritas dibanding pembayaran simpanan yang tidak dijamin dan kewajiban kepada kreditur lain dalam pembagian hasil likuidasi bank.

Untuk butir (2), selain dimaksudkan untuk mendorong nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lain melakukan disiplin pasar, juga dimaksudkan untuk meningkatkan recovery rate bagi LPS sehingga biaya penjaminan simpanan dapat ditekan. Melalui peningkatan penerapan manajemen risiko, tata kelola yg baik, disiplin pengaturan, dan disiplin pasar diharapkan moral hazard pada perbankan dapat tercegah sehingga pada akhirnya akan dapat terbentuk sosok perbankan yang lebih sehat, stabil, serta bermanfaat bagi rakyat banyak. *****

0 comments: