09 August 2017

Kejelasan Coverage & Kecepatan Pembayaran Klaim, Kunci Sukses Penjaminan Simpanan?

Run on the Rock

Pada September 2007 lalu, media Internasional ramai memberitakan dan memajang foto antrian nasabah di kantor Northern Rock di Inggris. Nasabah beramai-ramai menarik dananya justru setelah menyeruak kabar bank tersebut mendapatkan bantuan likuiditas darurat (emergency liquidity assistance/ELA) dari Bank of England (BoE).

Mengapa nasabah bank tersebut melakukan rush/ bank runs, bukankah Inggris telah memiliki sistem penjaminan simpanan yang dilaksanakan oleh The Financial Services Compensation Scheme (FSCS) sejak 2001?

Salah satu tujuan kebijakan publik (public policy objective) dari sistem penjaminan simpanan dimaksudkan untuk mencegah nasabah melakukan rush/bank runs. Dorongan untuk melakukan rush/bank runs lazimnya dimiliki nasabah yang berpikiran akan mengalami kerugian dari adanya kegagalan bank. Nasabah yang memiliki simpanan diatas jumlah yang dijamin (nasabah besar) wajar memiliki kekhawatiran simpanannya tidak akan kembali sepenuhnya, sehingga terdorong melakukan penarikan awal (early withdrawl).

Namun jika nasabah kecil yang berbondong-bondong menarik dana tersebut, patut diduga sistem penjaminan simpanan dipandang tidak kredibel; atau nasabah panik karena tidak memahami skim dan mekanisme dari sistem penjaminan simpanan. Dalam beberapa studi setelah kejadian tersebut, tersimpulkan bahwa ketidak-pahaman nasabah terhadap skim penjaminan simpanan menjadi faktor yang ikut memberi dorongan (contributory factor) bagi nasabah untuk melakukan rush/bank runs.

Skim dan mekanisme penjaminan FSCS yang dipandang sulit dipahami nasabah diantaranya yaitu: pemberlakuan koasuransi, penerapan set-off, dan jangka waktu nasabah memperoleh kembali akses terhadap simpanannya.

Sistem penjaminan simpanan harus dirancang sedemikian hingga agar pengaturan terkait skim atau program penjaminan dibuat jelas, sederhana, dan mudah dipahami nasabah. Selain itu, mekanisme penyelesaian bank gagal dan jangka waktu (timeframe) nasabah memperoleh kembali akses terhadap simpanannya perlu pula diatur lebih jelas. Untuk menunjang hal-hal tersebut, penjamin simpanan harus melakukan penyuluhan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat memahami skim dan mekanisme, termasuk manfaat dan keterbatasan dari sistem penjaminan simpanan.

“A deposit insurance system is like a nuclear power plant. If you build it without safety precautions, you know it’s going to blow you off the face of the earth. And even if you do, you can’t be sure it won’t.” (William Seidman, FDIC Chairman 1985-1991).

Koasuransi

Dalam penjaminan simpanan, koasuransi merupakan bentuk pembagian risiko antara penjamin simpanan dan nasabah penyimpan. Metode ini dimaksudkan untuk mengurangi moral hazard bagi nasabah penyimpan dengan cara membebankan sebagian risiko atas pilihan penempatan dananya pada bank tertentu. Koasuransi dapat diterapkan dalam satu tingkat seperti pernah diterapkan di Czech Republic, yakni jumlah yang dijamin maksimal sebesar 90% untuk simpanan sampai €25.000.

Sedangkan koasuransi yang diterapkan di Inggris pada saat Northern Rock tersebut menggunakan dua tingkat, yakni jumlah yang dijamin sebesar 100% untuk £2.000 pertama dan 90% untuk £33.000 berikutnya, sehingga simpanan yang dijamin untuk seorang nasabah pada satu bank paling tinggi sebesar £31.700. Pemberlakuan koasuransi tersebut menyebabkan nasabah tidak secara mudah dapat mengetahui jumlah simpanannya yang dijamin tanpa melakukan perhitungan terlebih dahulu.

Sebagai misal, seorang nasabah memiliki simpanan pada Northern Rock sebesar £25.000, maka jumlah simpanannya yang dijamin sebesar £2.000 ditambah £20.700 (90% x £23.000) atau sebesar £22.700. Sisanya sebesar £2.300 tidak dijamin dan dipandang sebagai risiko yang harus ditanggung nasabah karena pilihan penempatan dananya pada Northern Rock.

Dalam Core Principles, koasuransi direkomendasikan untuk tidak diterapkan karena dipandang tidak efektif mencegah moral hazard, bahkan dapat membingungkan bagi nasabah sehingga berpotensi memicu rush/bank runs.

Coverage

Setelah peristiwa Northern Rock tersebut, FSCS menghilangkan koasuransi dan menetapkan jumlah yang dijamin sebesar £35.000. Saat krisis tahun 2008, jumlah yang dijamin dinaikkan menjadi £50,000 dan tahun 2010 dinaikkan menjadi £85,000 menyelaraskan dengan EU Directive yang menghendaki jumlah yang dijamin di negara-negara Eropa setara dengan €100,000.

Pada saat Euro melemah terhadap Poundsterling, jumlah simpanan yang dijamin diturunkan menjadi £75,000 yang mulai berlaku 1 Januari 2016. Sebaliknya, ketika Poundsterling melemah terhadap Euro setelah hasil pemungutan suara Brexit diumumkan, jumlah simpanan yang dijamin dinaikkan kembali menjadi £85,000 yang mulai berlaku 30 Januari 2017.

Kebijakan mengkaitkan/menyesuaikan secara otomatis simpanan yang dijamin dengan indikator tertentu misalnya tingkat inflasi atau kurs (indexing) dapat menyebabkan jumlah yang dijamin sering mengalami perubahan yang berpotensi membingungkan nasabah.

Dalam EU Directive, selain penyelarasan jumlah yang dijamin, juga direkomendasikan agar simpanan yang memenuhi kriteria temporary high balance (THB) dijamin sampai sebesar €1 juta per nasabah per bank dalam jangka waktu maksimal 12 bulan sejak penempatannya. Simpanan yang memenuhi kriteria THB tersebut misalnya simpanan yang berasal dari/akan digunakan untuk transaksi penjualan/pembelian properti, simpanan yang berasal dari pembayaran klaim asuransi atau manfaat pensiun, serta simpanan yang berasal dari pembagian harta gono-gini atau warisan (divorce settlement or inheritance). FSCS telah mengadopsi penjaminan atas simpanan yang memenuhi kriteria THB tersebut sebesar maksimal £1 juta dalam jangka waktu 6 bulan sejak penempatannya.

Set-off

Dalam penjaminan simpanan dan likuidasi bank, istilah set-off merujuk pada upaya memperhitungkan simpanan yang dimiliki nasabah pada suatu bank dengan kewajiban yang dimilikinya pada bank yang sama. Dengan memperhitungkan simpanan dan kewajiban tersebut, nasabah penyimpan atau debitur pada akhirnya hanya akan memiliki saldo pada salah satu diantara simpanan atau kewajibannya, atau bahkan tidak memiliki saldo pada keduanya. Set-off atau sering juga disebut “netting” ditujukan untuk mengurangi jumlah nasabah penyimpan atau debitur yang harus diurusi/diadministrasikan sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya dalam proses pembayaran klaim atau likuidasi bank.

Kebijakan set-off dapat berpengaruh terhadap jumlah simpanan yang dibayar penjamin simpanan dan yang akan diterima nasabah penyimpan. Oleh karena itu, detail kebijakan set-off perlu dikaji dan disimulasikan untuk menilai dampaknya pada nasabah penyimpan atau debitur. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan set-off antara lain: kriteria kewajiban yang akan di-set-off dan waktu pelaksanaan set-off.

Kewajiban yang digunakan untuk set-off dapat meliputi seluruh kewajiban tanpa melihat kolektibilitasnya, atau hanya kewajiban yang sudah jatuh tempo atau macet saja. Set-off terhadap kewajiban yang kolektibilitasnya lancar direkomendasikan untuk dihindari karena dapat mengganggu keberlangsungan usaha yang dibiayai kewajiban tersebut, bahkan dapat menyebabkan kewajiban yang awalnya lancar menjadi macet. Oleh karena itu, set-off umumnya hanya diberlakukan terhadap kredit yang macet atau angsuran yang telah jatuh tempo.

“Set-off against a performing loan could result in a “call” on the loan to a viable business. As a result, many countries restrict set-off to cases where the loan is in default or has matured. If a liquidator is permitted or required, to set the failed institution’s obligations off against loans due to the institution that are in good standing, the result may be to diminish the value of that portfolio of loans as a realisable asset.”

Penerapan set-off dapat dilakukan sebelum atau sesudah perhitungan simpanan layak bayar, sehingga pembayaran klaim penjaminan dapat didasarkan pada jumlah simpanan sebelum dilakukan set-off (Gross Basis) atau jumlah simpanan setelah dilakukan set-off (Net Basis). Secara operasional, pelaksanaan set-off memerlukan waktu dan sumber daya sehingga dapat menunda proses pembayaran klaim. Dengan menggunakan teknologi atau sistem informasi yang handal, serta data simpanan/kewajiban nasabah diperoleh sebelum bank gagal, kendala tersebut sebagian akan dapat teratasi.

Namun terdapat hal lain yang perlu menjadi pertimbangan dalam penerapan set-off, yakni adanya potensi menimbulkan kebingungan atau ketidak-pastian bagi nasabah mengenai jumlah simpanannya yang dijamin. Meskipun jumlah simpanan yang dijamin telah tersosialisasikan dan dipahami, nasabah penyimpan yang sekaligus menjadi debitur tidak akan mudah mengetahui jumlah simpanannya yang dijamin sampai proses set-off selesai. Ketidak-pahaman terhadap penerapan set-off tersebut juga menjadi faktor yang berkontribusi mendorong nasabah melakukan rush/bank runs terhadap Northern Rock.

Berkaca pada hal tersebut, FSCS tidak lagi menerapkan set-off terhadap simpanan sampai jumlah yang dijamin. Sehingga pembayaran klaim penjaminan yang sebelumnya menggunakan Net Basis diubah menjadi Gross Basis. Bahkan negative balances seperti overdraft dan tagihan kartu kredit nasabah juga tidak dikurangkan dalam penghitungan jumlah simpanan yang dijamin. Sedangkan saldo simpanan di atas jumlah yang dijamin, sesuai insolvency law akan dilakukan set-off dengan kewajiban nasabah.

Sebagaimana dimaklumi, FSCS bermandat “paybox plus”, sedangkan Bank of England (BoE) yang menjadi otoritas resolusi. Dengan mandat tersebut, FSCS dapat fokus pada upaya percepatan pembayaran klaim penjaminan tanpa terlalu memikirkan tingkat pengembalian (recovery rate) dari hasil likuidasi bank.

“There tends to be different views between common law and civil law systems over the issue of set-off. Common law jurisdictions generally regard it as “unfair” to require a party to pay its debt to an insolvent entity in full and receive only a fractional dividend on the insolvent’s debt to them. Many civil law jurisdictions view it as “unfair” to allow a debtor of the insolvent to avoid paying its debt by deducting the amount of a claim against the insolvent that is not fully recoverable.”

Set-off dapat berdampak pada tingkat pengembalian kreditur. Penerapan set-off dapat menyebabkan kreditur tertentu memperoleh tingkat pengembalian lebih tinggi dari seharusnya, dan sebaliknya dapat menyebabkan tingkat pengembalian kreditur lainnya menjadi lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut, set-off oleh sementara kalangan dipandang dapat menimbulkan ketidak-adilan terutama jika dikaitkan dengan creditor hierarchy dan prinsip safeguards.

Single Customer View

Ketidak-pastian jangka waktu nasabah memperoleh kembali akses atau pembayaran simpanannya dapat pula menjadi faktor yang mendorong nasabah melakukan rush/bank runs. Di Inggris kegagalan bank relatif jarang terjadi, sehingga banyak nasabah tidak memahami mekanisme dari sistem penjaminan simpanan. Nasabah sering mempersamakan proses penutupan/penanganan bank gagal dengan likuidasi/kepailitan perusahaan pada umumnya yang memerlukan beberapa bulan bagi tim likuidasi/kurator untuk mulai membagikan hasil pencairan aset kepada para kreditur.

Belajar dari pengalaman tersebut, FSCS mulai gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai skim dan mekanisme sistem penjaminan simpanan, serta berupaya mempercepat proses pembayaran klaim penjaminan. Percepatan tersebut sejalan dengan Core Principles dan EU Directive yang menghendaki agar penjamin simpanan dapat melakukan pembayaran klaim penjaminan kepada mayoritas nasabah dalam waktu 7 hari dan kepada seluruh nasabah dalam waktu 20 hari.

Salah satu upayanya, FSCS meminta bank menyampaikan data simpanan yang terinci untuk setiap nasabah yang akan digunakan FSCS sebagai dasar dalam pembayaran klaim penjaminan, yang disebut Single Customer View (SCV). Setiap bank diwajibkan menyampaikan SCV File setelah 3 bulan beroperasi; berdasarkan permintaan dari Prudential Regulation Authority (PRA) atau FSCS; atau apabila ada perubahan signifikan (merger, acquisition of a deposit book, or a new IT system). Bank secara periodik juga harus melakukan update SCV File tersebut setiap tahun sekali. PRA dan FSCS sewaktu-waktu dapat melakukan verifikasi terhadap SCV File yang disampaikan bank. Untuk keperluan verifikasi, bank harus dapat menyiapkan dan menyampaikan SCV File dalam waktu 24 jam sejak diminta oleh PRA atau FSCS.

Dalam hal bank dicabut izinnya, Komite Likuidasi yang beranggotakan BoE, Financial Conduct Authority (FCA), PRA, dan FSCS akan menunjuk tim likuidasi yang tugas pertamanya melakukan update SCV File bank tersebut dan menyampaikannya kepada FSCS dalam waktu 24 jam. SCV File yang sampaikan bank berisi data simpanan yang memenuhi persyaratan penjaminan atau kriteria layak bayar (eligible) yang dirinci sampai ke individual nasabah.

SCV File dibagi dalam 2 yakni (1). Fit For Straight Through Payout (FFSTP): jumlah simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah telah dihitung dan alamat nasabah lengkap/jelas, sehingga FSCS tanpa intervensi atau proses manual apapun dapat langsung mencetak cek untuk dikirimkan kepada nasabah yang bersangkutan; dan (2). Not Fit For Straight Through Payout (NFFSTP): jumlah simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah telah dihitung namun alamat nasabah tidak lengkap/jelas atau nasabah sudah meninggal dunia.

Selain itu, bank juga menyiapkan Exclusions View File yang berisi data simpanan yang berpotensi memenuhi kriteria layak bayar namun masih memerlukan verifikasi dokumen atau konfirmasi kepada nasabah, antara lain: simpanan untuk kepentingan pihak lain (beneficiaries) dan simpanan yang tidak ada transaksi dalam waktu yang lama (dorman). Sedangkan data simpanan yang tidak dijamin atau yang tidak memenuhi kriteria layak bayar (ineligible) tidak dimasukkan dalam SCV File.

Penyampaikan SCV File tersebut menuntut bank memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap skim/program penjaminan simpanan agar dapat memilah antara simpanan yang eligible dan ineligible. Selain itu, bank juga didorong memperbaiki administrasi dan dokumentasinya, termasuk melengkapi dan mengkinikan informasi terkait data nasabah penyimpan. FSCS melakukan pembayaran klaim berdasarkan SCV File, sehingga bank bertanggung-jawab memastikan data dalam SCV File valid dan terverifikasi. Apabila terdapat simpanan tidak tercatat dalam SCV File sehingga nasabah tidak mendapat pembayaran klaim penjaminan, nasabah tersebut dapat menuntut bank yang bersangkutan.

Penyampian SCV File juga dapat mengeser puncak beban pekerjaan bagi penjamin simpanan dalam proses pembayaran klaim penjaminan dari sebelumnya terjadi setelah bank dicabut izinnya bergeser menjadi sebelum bank dicabut izinnya. Saat ini, FSCS menggunakan sarana utama pembayaran klaim melalui pengiriman cek kepada nasabah atau meminta nasabah mencairkan simpanannya di kantor pos untuk jumlah klaim penjaminan yang kecil. Indikator sukses pembayaran klaim tersebut jika dalam waktu 7 hari sejak bank gagal/dicabut izinnya, mayoritas nasabah layak bayar telah menerima cek tersebut. Bukan menjadi urusan FSCS lagi, nasabah tersebut mencairkan cek tersebut minggu berikutnya atau bulan berikutnya.

Untuk mempermudah akses nasabah, FSCS sedang menjajaki penggunaan sarana pembayaran lainnya, misalnya melalui penerbitan kartu debit (ATM) atau pemanfaatan Fintech. Beberapa upaya FSCS dalam me-redesain skim/program penjaminan menjadi lebih jelas dan mudah dipahami, serta percepatan pembayaran klaim penjaminan mungkin dapat menjadi inspirasi dan pertimbangan bagi LPS dalam mengevaluasi skim/program penjaminan atau proses bisnisnya guna menunjang pencapaian visinya sebagai lembaga yang terdepan, tepercaya, dan diakui di tingkat nasional dan internasional. *****

0 comments: