Berkaca pada krisis 2008, kelompok negara G20 menyepakati untuk membuat pengaturan guna mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalan bank, utamanya bank sistemik. Dalam hal kegagalan bank tidak terhindarkan, pelaksanaan resolusi diupayakan agar:
(1) meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan;
(2) menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritikal (critical functions); dan
(3) menghindari penggunaan anggaran negara.
Untuk memberi arahan dan pedoman dalam pengembangan rezim resolusi yang efektif, Financial Stability Board (FSB) menyusun Key Attributes (KA) of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions. Dalam KA tersebut dijabarkan mengenai atribut, perangkat, dan kewenangan yang diperlukan untuk menunjang agar rezim resolusi dapat berfungsi efektif, beberapa diantaranya yakni: Recovery & Resolution Plan, Temporary Stays, Statutory Bail-in, Cross Border Recognition, dan Safeguards.
Recovery & Resolution Plan
Untuk mengurangi kemungkinan kegagalannya, bank diharuskan memiliki modal kuat dan bantalan (buffer) tebal untuk menyerap kerugian dan rekapitalisasi. Sedangkan agar pelaksanaan penyehatan/pemulihan dan resolusinya dapat berjalan terencana dan efektif, bank diwajibkan mempersiapkan Recovery and Resolution Plan (RRP).
Recovery Plan (rencana pemulihan) berisi identifikasi opsi dan rencana tindakan yang akan dilakukan bank untuk memulihkan operasinya menjadi normal dan sehat kembali dengan berbagai skenario permasalahan. Recovery Plan memuat detail prosedur eskalasi, tata kelola, personel, dan dukungan sistem informasi untuk memastikan penerapan setiap opsi dapat dilakukan secara tepat waktu dalam kondisi adanya tekanan. Recovery Plan disusun oleh bank, direview atau disetujui oleh pengawas bank, serta dijalankan oleh bank ketika pemicu (trigger) yang ditetapkan terlewati.
Sedangkan Resolution Plan merupakan perencanaan untuk menghadapi kondisi bank yang tidak dapat lagi dipulihkan atau telah mencapai titik tidak dapat disehatkan (Point of Non-Viability/PoNV). Pemicu resolusi menurut definisi FSB yakni: “when a bank is no longer viable or likely to be no longer viable and other measures have proved insufficient to prevent failure”. Detail kriteria yang menjadi pemicu resolusi perlu disusun dan didiskusikan antara pengawas bank dan otoritas resolusi dalam hal pelaksana fungsi tersebut berada pada institusi yang berbeda.
Dalam penyusunan Resolution Plan, bank menyampaikan kepada otoritas resolusi, informasi, data, dan dokumen yang memuat aspek keuangan, operasional, dan legal, serta hubungan saling ketergantungan antar entitas dalam group bank tersebut. Berdasarkan informasi, data, dan dokumen tersebut, otoritas resolusi mengidentifikasi dan memetakan critical functions dan critical shared services bank, serta menetapkan strategi dan opsi resolusi yang sesuai dengan kondisi bank tersebut.
Otoritas resolusi melakukan resolvability assessment untuk menilai feasibilitas dan kredibilitas Resolution Plan tersebut secara berkala, serta mengidentifikasi hambatan atau kendala pelaksanaan resolusi, serta meminta bank mengatasi hambatan atau kendala tersebut. Berdasarkan resolvability assessment tersebut, otoritas resolusi dapat memberi rekomendasi kepada bank untuk merubah struktur dan proses bisnisnya. Resolution Plan disusun otoritas resolusi berdasarkan informasi, data, dan dokumen yang disampaikan bank, dilakukan resolvability assessment secara berkala dan dijalankan oleh otoritas resolusi ketika bank memasuki fase resolusi.
“The responsibility for developing and maintaining, and where necessary, executing the recovery plan lies with the bank’s senior management. Whereas the responsibility for developing and maintaining, and where necessary, executing the resolution strategies set out in resolution plan lies with the resolution authority. The resolution authority should have unimpeded access to banks where that is material for the purposes of resolution planning, and the preparation and implementation of resolution measures.”
Temporary Stays
Kontrak keuangan umumnya memiliki klausul jika salah satu pihak mengalami default, pailit, bangkrut, atau dilikuidasi, maka konterparti-nya berhak melakukan set-off atau netting aset dan kewajiban; eksekusi jaminan; atau tindakan lain yang disebut early termination rights. Pelaksanaan resolusi bank akan terganggu atau menjadi tidak efektif, apabila pelaksanaan resolusi tersebut menjadi pemicu pihak-pihak yang berkontrak dengan bank melaksanakan early termination rights.
Pembatalan kontrak dan eksekusi early termination rights yang bebarengan akan berdampak pada kondisi bank tersebut dan stabilitas sistem perbankan.
Dalam KA dinyatakan bahwa pelaksanaan resolusi harusnya tidak menjadi pemicu eksekusi early termination rights sepanjang bank masih memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Apabila eksekusi early termination rights tidak terhindarkan, otoritas resolusi harus memiliki wewenang untuk dapat menghentikan sementara pelaksanaannya (power to impose a temporary stay on early termination rights).
Kewenangan tersebut untuk memberi kesempatan otoritas resolusi melaksanakan tindakan resolusi yang diperlukan, misalnya memindahkan kontrak kepada bank lain atau bank perantara.
Kewenangan menghentikan sementara tersebut tidak diberlakukan terhadap semua kontrak, melainkan hanya kontrak yang memenuhi kriteria tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Penghentian sementara tersebut di banyak negara pada umumnya dibatasi paling lama 2 hari kerja.
Di Amerika Serikat, kontrak yang dapat diberlakukan temporary stays meliputi: securities contracts; commodity contracts; forward contracts; repurchase agreements, dan swap agreements. Sedangkan di Kanada meliputi: specified derivatives agreements; agreements to borrow or lend securities or commodities; agreements to clear or settle securities, futures, options or derivatives transactions; agreements to act as a depository for securities; repurchase agreements; specified margin loans; dan specified master agreements.
Dalam penyusunan Resolution Plan, bank harus menyampaikan data, informasi, dan dokumen mengenai kontrak yang memenuhi kriteria tersebut agar otoritas resolusi dapat mengidentifikasi potensi permasalahannya dan menyusun perencanaan untuk mengatasinya, terutama jika kontrak atau konterparti-nya tunduk pada hukum negara lain. Untuk menunjang pelaksanaan kewenangan tersebut, dalam International Swaps and Derivatives Association (ISDA) master agreement telah dimasukkan Resolution Stay Protocol yang memuat klausul bahwa setiap pihak yang berkontrak menyatakan tunduk dan mengakui kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan temporary stays.
“The termination of large volumes of financial contracts upon entry into resolution could result in a disorderly rush for the exits that creates further market instability and frustrates the implementation of resolution measures aimed at achieving continuity.”
Statutory Bail-In
Dalam KA disebutkan bahwa otoritas resolusi harus memiliki wewenang untuk melakukan statutory bail-in dalam pelaksanaan resolusi bank. Statutory bail-in merupakan tindakan menghapuskan sebagian/seluruh kewajiban (write down) dan/atau mengubah sebagian/seluruh kewajiban (convert) menjadi modal ketika bank memasuki fase resolusi. Statutory bail-in dimaksudkan untuk menghindari penggunaan anggaran negara dalam pelaksanaan resolusi bank. Disebut statutory bail-in karena tindakan ini wajib dilakukan oleh otoritas resolusi sebelum dana resolusi (resolution fund) dapat digunakan.
Sebagai contoh, dalam EU BRRD diatur sekurangnya 8% dari kewajiban bank harus dilakukan bail-in terlebih dahulu sebelum dana resolusi dapat digunakan untuk melaksanakan resolusi terhadap bank tersebut.
Dalam pelaksanaan statutory bail-in, perlu ditetapkan kategori kewajiban bank yang dapat dilakukan bail-in (bail-inable debts), serta kewajiban yang dikecualikan dari bail-in. Secara umum yang dapat menjadi bail-inable debts adalah unsecured and uninsured liabilities. Urutan penerapan statutory bail-in pada umumnya mengikuti creditor hierarchy yang berlaku pada negara tersebut. Statutory bail-in dapat dilakukan terhadap bank gagal, dan dapat pula dilakukan terhadap bank perantara dengan cara mengubah bail-inable debts bank gagal menjadi penyertaan saham pada bank perantara, sehingga debtholders bank gagal akan menjadi shareholders bank perantara.
Selain statutory bail-in, pelaksanaan bail-in dapat pula didasarkan pada kontrak (contractual bail-in) antara bank dengan kreditur. Bank dapat menerbitkan surat utang yang memuat klausul akan terhapus atau terkonversi menjadi modal apabila kondisi bank melewati tingkat pemicu tertentu, misalnya jika KPMM bank 8%. Surat utang yang dikenal dengan sebutan contingent convertibles securities (CoCos) tersebut ada yang memiliki tingkat pemicu tinggi (high trigger CoCos) yang umumnya digunakan untuk memperbaiki tingkat permodalan bank pada fase recovery (pemulihan), ada pula yang memiliki tingkat pemicu lebih rendah.
Pemilihan jenis dan jumlah CoCos yang diterbitkan didasarkan pada strategi permodalan bank karena CoCos dapat diperhitungkan sebagai Additional Tier 1 (AT1) Capital jika memenuhi kriteria tertentu. Dalam penerbitan CoCos juga mempertimbangkan semakin tinggi pemicunya semakin tinggi pula imbal hasil yang harus dibayar bank. Kewenangan otoritas resolusi melakukan statutory bail-in berlaku pula terhadap CoCos yang pemicunya belum terlampau tetapi terhadap bank tersebut sudah dilakukan tindakan resolusi.
Pelaksanaan bail-in dapat menimbulkan dampak berantai dan meningkatkan biaya dana bagi perbankan. Dalam hal bail-inable debts yang diterbitkan bank dibeli perusahaan asuransi, dana pensiun, atau perusahaan sekuritas, pelaksanaan bail-in dapat menggeser permasalahan perbankan ke sektor jasa keuangan lainnya. Penerbitan bail-inable debts akan relatif lebih mahal bagi bank mengingat investor akan mempertimbangkan potensi risiko surat utang tersebut dihapus atau dikonversi menjadi saham. Selain itu, dalam pelaksanaan bail-in perlu pengaturan lebih lanjut dalam hal debtholders tidak memenuhi persyaratan (fit & proper) sebagai shareholders.
Dalam hal terdapat bank domestik menerbitkan surat utang (bail-inable debts) yang tunduk pada hukum negara lain, otoritas resolusi harus memastikan pelaksanaan bail-in atas surat utang tersebut dapat efektif dilakukan, diantaranya melalui cross border recognition.
“Unlike a debt-for-equity swap, where the terms of any exchange of debt for shares are negotiated by the relevant private parties. A bail-in is not negotiated and it would be imposed upon the bank and its creditors by the resolution authority. There would be no requirement to get the consent of shareholders, creditors, or the existing management of the bank. And there is no requirement for court approval of the bail-in.”
Cross Border Recognition
Berdasarkan KA, koordinasi dan kerjasama antara home dan host authorities sangat didorong dan dianjurkan dalam pelaksanaan resolusi lintas negara agar resolusi tersebut dapat berjalan efektif. Meski demikian, KA juga mengakui perlunya memberi diskresi bagi otoritas resolusi untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam menjaga stabilitas di negaranya ketika koordinasi dan tukar informasi dengan otoritas lain tidak dapat dilakukan.
Untuk mendukung resolusi lintas negara, otoritas resolusi harus memiliki kewenangan untuk mengakui tindakan resolusi yang dilakukan otoritas resolusi negara lain (cross border recognition), antara lain dengan cara mengambil tindakan resolusi yang sama atau tindakan lain untuk mendukung tindakan resolusi otoritas negara lain tersebut (supportive measures).
Pengakuan tersebut umumnya dengan mempertimbangkan dampak tindakan resolusi negara lain tersebut terhadap stabilitas sistem perbankan, perlindungan konsumen, serta potensi penggunaan anggaran negara. Otoritas resolusi perlu mendapat perlindungan hukum (legal protection) dalam melaksanakan cross border recognition.
Cross border recognition dapat dilakukan dengan dua pendekatan: statutory recognition dan contractual recognition.
Dalam statutory recognition, otoritas resolusi suatu negara secara otomatis mengakui tindakan resolusi yang dilakukan oleh otoritas resolusi negara lain. Penerapan pendekatan ini dapat dilakukan secara multilateral, seperti yang berlaku di Uni Eropa di mana setiap anggota Uni Eropa, sesuai BRRD, wajib mengakui tindakan resolusi yang dilakukan oleh otoritas resolusi negara EU lainnya; atau secara bilateral di mana dua negara membuat Cooperation Agreement (CoAg) yang mengatur tindakan resolusi mana yang secara otomatis akan saling diakui, dan tindakan resolusi mana yang tidak otomatis diakui. Penerapan statutory recognition dipandang merupakan bentuk yang ideal, namun akan menghadapi kendala ketika otoritas resolusi memiliki mandat dan wewenang yang bervariasi. Dengan makin banyaknya otoritas yang menerapkan KA, diharapkan perbedaan kewenangan antar otoritas akan semakin berkurang.
Contractual recognition dimaksudkan sebagai solusi sementara dan untuk melengkapi statutory recognition. Dalam pendekatan ini, pengakuan tersebut dicantumkan dalam klausul kontrak yang mengikat para pihak. Dalam penerapan contractual recognition perlu dipastikan semua kontrak telah memuat klausul yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa diperlakukan berbeda atas jenis kontrak yang sama.
Cross border recognition utamanya diperlukan dalam pelaksanaan kewenangan otoritas resolusi terkait temporary stays dan statutory bail-in.
Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, dalam hal terhadap suatu bank dilakukan resolusi, konterparti-nya berhak melakukan “early termination right”. Otoritas resolusi perlu memiliki kewenangan menunda sementara (temporary stays) untuk mencegah pelaksanaan hak tersebut. Apabila kontrak tersebut dilakukan antara dua atau lebih bank yang tunduk pada hukum negara yang berbeda, maka temporary stays tersebut harus diakui oleh otoritas resolusi negara yang terlibat. Sedangkan dalam pelaksanaan statutory bail-in, apabila dilakukan bail in terhadap surat utang (bail-inable debts) yang tunduk pada hukum negara lain, maka pelaksanaan bail-in tersebut harus dipastikan dapat terlaksana dan diakui oleh otoritas negara lain tersebut.
Dalam pendekatan statutory recognition, otoritas negara-negara yang terlibat dapat membuat CoAg, MoU, atau bersepakat dalam Crisis Management Group. Sedangkan jika menggunakan pendekatan contractual recognition, otoritas resolusi perlu mewajibkan bank untuk mencantumkan klausul dalam setiap kontrak atau setiap penerbitan surat utang yang tunduk pada hukum negara lain, yang menyatakan bahwa dalam hal dilakukan temporary stays atau statutory bail-in akan tunduk pada kewenangan otoritas resolusi negara tempat kedudukan bank tersebut.
“Jurisdictions should provide for transparent and expedited processes to give effect to foreign resolution measures, either by way of a mutual recognition process or by taking measures under the domestic resolution regime that support and are consistent with the resolution measures taken by the foreign home resolution authority.”
Safeguards
Metode resolusi bank secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu: closed bank resolution dan open bank resolution. Dalam closed bank resolution, resolusi dilakukan dengan melakukan penutupan terdapat bank gagal, yang pilihannya antara lain: pelaksanaan likuidasi, pengalihan aset dan kewajiban (P&A), atau pendirian bank perantara. Sedangkan dalam open bank resolution, pada intinya bank tetap dipertahankan beroperasi dan dilakukan tindakan lain seperti penambahan modal, pemberian pinjaman, atau pembelian aset bermasalah.
Pelaksanaan likuidasi sering disebut sebagai jalan normal bagi bank untuk keluar dari sistem perbankan atau disebut “normal insolvency proceedings”.
Dalam pelaksanaan likuidasi, nilai aset bank diupayakan dapat dipertahankan sehingga dapat memberi tingkat pengembalian (recovery rate) yang tinggi bagi para kreditur. Namun mengingat bank telah dicabut izinnya, penggunaan basis gone-concern dalam pengelolaan aset bank akan berpotensi menyebabkan penurunan nilai aset. Selain itu, terhentinya layanan kepada nasabah (kreditur & debitur, perorangan & perusahaan) akan berdampak pada konsumsi, investasi, dan riil ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, pelaksanaan likuidasi dipandang merupakan opsi resolusi bank gagal yang memakan biaya paling mahal dan tingkat pengembalian paling rendah bagi kreditur.
Pelaksanaan resolusi bank selain likuidasi, dilakukan dengan mempertahankan keberlangsungan fungsi-fungsi kritikal bank dengan cara mengalihkan sebagian aset dan kewajiban kepada bank lain atau bank perantara; atau mempertahankan bank beroperasi dan memberi bantuan keuangan (open bank assistance/OBA). Setelah krisis 2008, opsi OBA (bail-out) sedapat mungkin dihindari karena dapat menimbulkan moral hazard, persaingan tidak sehat, dan rasa ketidak-adilan, selain membebani anggaran negara.
Dengan pelaksanaan resolusi tersebut diharapkan layanan perbankan dapat terjaga keberlangsungannya, stabilitas sistem perbankan dapat terpelihara, sehingga secara keseluruhan biaya kegagalan bank akan lebih murah dan menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi bagi kreditur dibandingkan pelaksanaan likuidasi.
Berdasar pada pandangan tersebut, KA mengatur bahwa apabila dilaksanakan resolusi, harus dipastikan tidak ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank dilakukan likuidasi, yang disebut prinsip No Creditors Worse Off than in Liquidation (NCWOL).
Selain itu, pembebanan kerugian bank harus memperhatikan creditor hierarchy di mana pemegang saham merupakan pihak pertama yang harus menyerap kerugian, dan selanjutnya diikuti pemegang hybrid capitals, subordinate debts, senior debts, serta dapat pula termasuk nasabah penyimpan yang tidak dijamin. Kreditur dengan kategori atau kelas yang sama harus memperoleh tingkat pengembalian yang sama pula, dan tidak diperkenankan membedakan perlakuan kepada kreditur berdasarkan lokasi klaim dan kewarganegaraannya.
Penerapan prinsip NCWOL dan creditor hierarchy tersebut disebut Safeguards, yang dimaksudkan untuk memberi perlindungan terhadap hak kepemilikan (property right) bagi kreditur dengan menggunakan asumsi bahwa pengembalian dari hasil likuidasi bank merupakan jumlah minimal yang akan diterima dan menjadi hak kreditur.
Dalam KA juga diatur bahwa otoritas resolusi dapat menetapkan kebijakan yang keluar dari prinsip pari passu dengan memperlakukan berbeda kreditur pada kelas yang sama. Kebijakan tersebut hanya dapat dilakukan jika dipandang perlu untuk memelihara stabilitas sistem keuangan dan memaksimalkan nilai bagi kepentingan kreditur secara keseluruhan.
Sebagai ilustrasi, ketentuan creditor hierarchy di beberapa negara menempatkan simpanan yang tidak dijamin pada kelompok yang memiliki prioritas yang sama dengan unsecured debts. Dalam transaksi P&A, otoritas resolusi dapat menetapkan pengalihan seluruh simpanan beserta aset berkualitas baik dengan nilai setara kepada bank lain. Dengan kebijakan tersebut, nasabah penyimpan yang tidak dijamin akan memperoleh tingkat pengembalian yang berbeda dengan unsecured creditors, meski sesuai creditor hierarchy harusnya pari passu. Mengingat aset yang tertinggal pada bank sebagian besar berkualitas buruk, ada kemungkinan unsecured creditors tersebut akan memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah dibandingkan jika terhadap bank secara keseluruhan dilakukan likuidasi. Jika demikian, sesuai prinsip NCWOL, unsecured creditors tersebut berhak memperoleh kompensasi dari otoritas resolusi.
Dalam memenuhi prinsip NCWOL, sesuai pedoman KA, segera setelah dilaksanakan resolusi, otoritas resolusi menunjuk independent valuer untuk menghitung dan membandingkan antara tingkat pengembalian yang diterima kreditur setelah dilakukan resolusi dengan tingkat pengembalian jika terhadap bank dilakukan likuidasi (hypothetical liquidation scenario). Jika independent valuer menemukan ada kreditur yang memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah, otoritas resolusi harus memberikan kompensasi kepadanya. Kreditur diberikan hak untuk mengajukan keberatan dalam hal tidak sepakat dengan keputusan otoritas resolusi.
Untuk menunjang penerapan Safeguards tersebut, perlu disusun mekanisme penanganan keberatan bagi kreditur dan diberikan wewenang kepada otoritas resolusi untuk menggunakan dana resolusi guna membayar kompensasi kepada kreditur.
"As a resolution tends to be less value destructive than liquidation, creditors as a whole should be made better off in resolution under most circumstances. However, there may be instances where in order to preserve financial stability or maximise the financial institution’s value for the benefit of creditors as a whole, the resolution strategy may render certain creditors worse off as compared to liquidation. Creditors should have a right to compensation where they do not receive at a minimum what they would have received in a liquidation of the firm under the applicable insolvency regime."
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago
0 comments:
Post a Comment