22 January 2018

Recovery Plan, Resep Pemulihan Bank Sistemik

Paling lambat 29 Desember 2017 ini, bank sistemik diwajibkan menyampaikan recovery plan untuk pertama kalinya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Recovery plan merupakan satu dari beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh bank sistemik sebagai tindak lanjut lesson learned krisis keuangan 2008.

Sebelum krisis, kriteria dan penetapan bank sistemik dibiarkan tidak jelas atau sering disebut constructive ambiguity. Ketidak-jelasan tersebut memberi ruang bagi pengambil kebijakan mempertimbangkan kondisi saat kegagalan bank dan menghindarkan adanya bank yang berkeyakinan akan diselamatkan ketika gagal. Dengan paradigma baru, konsep too big to fail diakhiri dan bank sistemik diidentifikasi dan ditetapkan terlebih dahulu (pre-determined) untuk diminta memenuhi persyaratan dan kewajiban tambahan.

Untuk mengurangi kemungkinan kegagalannya, bank sistemik diwajibkan menyiapkan tambahan modal (capital surcharge) antara 1% sampai 3,5% dari ATMR dalam bentuk modal inti utama. Bank sistemik wajib pula meningkatkan kapasitas menyerap kerugian dan rekapitalisasi dengan menerbitkan instrumen utang yang dapat dikonversi menjadi modal (bail-inable debts). Selain itu, bank sistemik juga diwajibkan menyusun perencanaan guna memulihkan kondisinya ketika menghadapi tekanan atau permasalahan keuangan (recovery plan), dan membantu otoritas resolusi menyusun perencanaan guna mempersiapkan resolusi jika bank mengalami kegagalan (resolution plan).

Recovery plan pada pokoknya memuat struktur legal dan operasional bank; opsi pemulihan (recovery options) guna mengatasi berbagai skenario permasalahan; serta prosedur eskalasi, tata kelola, personel, dan dukungan sistem informasi untuk memastikan setiap opsi dapat dilaksanakan tepat waktu dalam kondisi adanya tekanan. Bank dapat membentuk unit atau gugus tugas manajemen krisis dalam rangka mengimplementasikan recovery plan.

Recovery plan diimplementasikan oleh bank ketika indikatornya mencapai pemicu yang telah ditetapkan (recovery trigger). Apabila kondisi bank tidak dapat dipulihkan dengan implementasi recovery plan, bahkan memburuk hingga mencapai titik tidak dapat disehatkan (Point of Non-Viability), bank akan memasuki fase resolusi.

“A firm is in recovery when it is experiencing or is likely to encounter considerable financial distress but could reasonably return to a position of financial strength if appropriate actions are taken in a timely manner. A firm in recovery has NOT yet deteriorated to the point where resolution proceedings or bankruptcy are imminent.” (SR 14-8 Federal Reserve System)

Cakupan Recovery Plan

Berdasarkan POJK 14/2017, bank sistemik harus memiliki pedoman yang mengatur pembagian peran dan tanggung-jawab dalam menyusun, menyampaikan, mengkomunikasikan, melakukan stress testing, dan mengimplementasikan recovery plan. Recovery plan harus memperoleh persetujuan RUPS dan sekurangnya memuat gambaran umum bank; opsi pemulihan; dan pengungkapan.

Gambaran umum
Bagian ini berisi pemaparan kondisi bank terkait kepemilikan; aspek bisnis dan kinerja; rencana bisnis; strategi pengelolaan risiko; jaringan kantor; dan perusahaan anak. Bank harus mengungkapkan lini bisnis, jaringan kantor, dan perusahaan anak yang berkontribusi material dalam pencapaian laba, penghimpunan/penyaluran dana, kinerja, stabilitas keuangan, menanggung risiko besar yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank, serta tidak dapat ditutup tanpa memicu risiko yang besar bagi bank.

Struktur kelompok usaha bank perlu pula diungkapkan, termasuk badan hukum pemilik sampai ultimate shareholders dan perusahaan terelasi (sister company). Bank juga diminta menjabarkan keterkaitan usaha yang material secara intra-grup yang meliputi hubungan keuangan, penyertaan modal, dan kesepakatan dukungan keuangan intra-grup; dan secara eksternal yang meliputi eksposur, kewajiban, produk, dan/atau jasa yang signifikan kepada mitra bisnis utama (rekanan, supplier, debitur, dan depositor).

Bank harus menyajikan analisis skenario dampak perubahan kondisi bank secara individu (idiosyncratic) dan secara eksternal yang terjadi di pasar keuangan secara keseluruhan (market-wide shock) terhadap kondisi permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan kualitas aset.

Opsi Pemulihan
Bank menetapkan opsi pemulihan yang harus disertai dengan urutan pilihan pelaksanaannya; analisis kelayakannya; analisis dampaknya; serta analisis jangka waktu pelaksanaan dan efektivitasnya. Opsi pemulihan ditetapkan berdasarkan indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan kualitas aset; serta tingkat pemicu (trigger level) untuk setiap indikator sebagai dasar mengaktivasi recovery plan.

Bank wajib menetapkan trigger level paling kurang sesuai peraturan yang mengatur indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas dan kualitas aset tersebut. Penetapan trigger level untuk setiap indikator meliputi penerapan recovery plan untuk 3 tujuan: 1. Pencegahan sehingga bank tetap dapat menjaga ukuran/rasio yang sama atau lebih baik dari ketentuan; 2. Pemulihan sehingga bank tidak lagi melanggar ukuran/rasio sesuai ketentuan; dan 3. Perbaikan dari kondisi yang membahayakan kelangsungan usaha bank (viability).


Opsi pemulihan untuk indikator permodalan tersebut wajib dilakukan, sedangkan untuk indikator lainnya dapat disesuaikan dengan kondisi. Kewajiban penambahan modal oleh PSP dan/atau ultimate shareholders dapat dilakukan melalui: setoran modal; menunda pembagian dividen; pembagian dividen saham; dan/atau memperhitungkan akumulasi kerugian menjadi beban pemegang saham.

Sedangkan kewajiban mengubah jenis utang tertentu menjadi modal oleh PSP dan/atau ultimate shareholders dilakukan dengan cara konversi instrumen utang yang memiliki karakteristik modal milik pemegang saham menjadi saham biasa dan/atau write-down atas instrumen utang tersebut. Untuk penambahan modal dengan mengikutsertakan pihak lain dapat dilakukan melalui penawaran umum (right issue) dan/atau private placement.

Sedangkan kewajiban mengubah jenis utang tertentu menjadi modal dilakukan dengan cara konversi instrumen utang milik pihak lain tersebut menjadi saham biasa dan/atau write-down atas instrumen utang tersebut. Penambahan modal yang menjadi kewajiban PSP dan/atau ultimate shareholders wajib dilaksanakan terlebih dahulu sebelum mengikutsertakan pihak lain.

Dalam rangka penerapan opsi pemulihan berupa kewajiban mengubah jenis utang tertentu menjadi modal, bank sistemik wajib memiliki instrumen utang yang memiliki karakteristik modal paling lambat 31 Desember 2018. Penetapan jumlah instrumen utang yang wajib dimiliki bank dengan memperhatikan ketahanan permodalan bank dan dampak penerbitan instrumen utang tersebut terhadap rentabilitas.

Pengungkapan
Bank diwajibkan melakukan pengungkapan recovery plan kepada pihak internal dan pihak eksternal, yang memuat gambaran umum tindakan yang akan dilakukan bank untuk mengatasi permasalahan keuangan yang akan terjadi dan mekanisme pengelolaan potensi reaksi pasar yang negatif apabila recovery plan diimplementasikan.

Direksi bank wajib melakukan evaluasi dan pengujian (stress testing) atas recovery plan paling sedikit sekali setahun untuk menilai kelayakannya dan melaporkan hasilnya kepada Dewan Komisaris. Bank wajib melakukan pengkinian recovery plan paling sedikit sekali setahun yang disertai hasil stress testing; dan evaluasi kelayakan trigger level, opsi pemulihan, serta pemenuhan kecukupan dan kelayakan instrumen utang yang memiliki karakteristik modal yang dimiliki bank. OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas kelengkapan recovery plan yang disampaikan bank.

Dengan recovery plan, bank sistemik memiliki sekumpulan resep yang jika diperlukan diharapkan dapat manjur dan mujarab dalam memulihkan kembali kondisi kesehatannya sehingga terhindar dari kematian. Namun apabila sehat tidak dapat diraih dan ajal tidak dapat ditolak, perlu pula dipersiapkan rencana pemulasaran (resolution plan) bagi bank.

Baca Lanjutannya...

21 January 2018

Menyimak Mekanisme Resolusi di Uni Eropa

Pada tahun 2017 ini, beberapa bank di Eropa mengalami permasalahan yang penanganannya menggunakan opsi yang berbeda-beda: Resolusi Banco Popular Espanol; Likuidasi Veneto Banca dan Banca Popolare di Vicenza; serta Precautionary Recapitalisation Banca Monte dei Paschi di Siena.

Penanganan permasalahan perbankan di kawasan tersebut menarik untuk disimak mengingat sejak 1 Januari 2016 mulai diberlakukan secara efektif penyatuan mekanisme pengawasan dan resolusi perbankan, serta harmonisasi skim penjaminan simpanan yang disebut European Banking Union.

European Banking Union

Pembentukan European Banking Union ditujukan antara lain untuk mengurangi frakmentasi pasar, meningkatkan harmonisasi pengaturan sektor keuangan, dan memperkuat stabilitas sistem keuangan di Eropa. European Banking Union terdiri dari 3 pilar, yakni: Single Supervisory Mechanism (SSM), Single Resolution Mechanism (SRM), dan Harmonised Deposit Guarantee Schemes (DGS).

European Central Bank (ECB) merupakan pengawas utama bagi bank yang memiliki operasi lintas batas dan berdampak penting/signifikan pada stabilitas keuangan di Eropa. Sedangkan pengawasan terhadap bank lainnya dilakukan pengawas di setiap negara (National Supervisory Authorities). ECB melakukan kerjasama dengan European Systemic Risk Board (ESRB) dalam mengawasi risiko sistem keuangan secara keseluruhan (macro-prudential oversight), dan European Banking Authority (EBA) dalam meningkatkan efektifitas dan keselarasan pengaturan dan pengawasan perbankan.

Dalam melaksanakan SRM, dibentuk Single Resolution Board (SRB) yang memiliki wewenang merumuskan kebijakan resolusi bank bekerjasama dengan ECB dan otoritas resolusi di setiap negara (National Resolution Authorities). Sebagai sumber pendanaan resolusi, dibentuk Single Resolution Fund (SRF) yang dananya berasal dari kontribusi perbankan yang ditargetkan terkumpul sebesar 1% dari simpanan yang dijamin pada 2024 atau diperkirakan sebesar €55 milyar.

Pada masa transisi 2016 - 2023, otoritas resolusi di setiap negara mengumpulkan kontribusi dan mentransfer dananya kepada SRF. Sedangkan pembebanan biaya resolusi didasarkan pada proporsi tertentu antara dana resolusi negara yang bersangkutan dengan dana dari negara lainnya (mutualisation).

Pelaksanaan resolusi bank di Eropa menggunakan dasar pengaturan Bank Recovery and Resolution Directive (BRRD). Berdasarkan BRRD, SRF atau resolution fund baru dapat digunakan setelah paling kurang 8% kewajiban bank telah dihapus (write down) dan/atau dikonversi (convert) menjadi modal untuk menyerap kerugian dan rekapitalisasi (bail-in). Penggunaan SRF dibatasi paling tinggi 5% dari kewajiban bank atau paling banyak €5 milyar.

Dalam hal kerugian yang terjadi melebihi 13% dari kewajiban bank, setiap negara harus memiliki mekanisme dan sumber dukungan pendanaan (backstop/bridge funding) atau dapat pula memanfaatkan fasilitas European Stability Mechanism (ESM). Apabila dana SRF tidak cukup, kekurangannya akan menjadi beban perbankan yang pemungutannya dilakukan kemudian (ex-post).

Untuk penyatuan pelaksanaan penjaminan simpanan di Eropa, digagas pembentukan European Deposit Insurance Scheme (EDIS) yang direncanakan beroperasi pada 2024. Berbeda dengan integrasi SRF, pada rencana integrasi EDIS, bank selain membayar premi kepada penjamin simpanan di setiap negara (DGS), juga membayar premi kepada EDIS. Target fund EDIS ditetapkan sebesar 0,8% dari jumlah simpanan yang dijamin pada tahun 2024 atau diperkirakan sebesar €43 milyar.

Proses integrasi EDIS tersebut rencananya melalui 2 tahapan, yakni: tahap 3 tahun pertama menggunakan skema reasuransi di mana DGS akan membayar terlebih dahulu klaim penjaminan simpanan sampai habis dananya sebelum dana EDIS dapat digunakan; dan tahap 4 tahun berikutnya menggunakan skema koasuransi di mana DGS dan EDIS secara bersama melakukan pembayaran klaim penjaminan dengan proporsi tertentu.

Sebelum terintegrasi dalam EDIS, saat ini dilakukan upaya harmonisasi skim/program penjaminan dengan ditetapkannya EU Directive on Deposit Guarantee Schemes yang harus diterapkan secara bertahap oleh penjamin simpanan di setiap negara.

Resolusi Banco Popular Espanol

Pada 6 Juni 2017, ECB menyatakan Banco Popular Espanol, bank keenam terbesar di Spanyol, memenuhi kategori “Failing or Likely To Fail (FLTF)” dan menyerahkan penanganannya kepada SRB. FLTF merupakan titik pemicu resolusi atau resolution trigger. Istilah serupa yang sering digunakan, yakni: “Point of Non-Viability (PoNV)”, sedangkan di Indonesia padanan istilahnya, yakni: “Bank Tidak Dapat diSehatkan (BTDS)” atau bank gagal.

Setelah menerima penyerahan dari ECB, SRB berkoordinasi dengan otoritas resolusi Spanyol, Fondo de Reestructuración Ordenada Bancaria (FROB), melakukan bail-in dengan menghapus modal saham dan instrumen modal inti tambahan (write down equities and additional Tier 1 instruments), serta mengkonversi instrumen modal pelengkap (convert Tier 2 bonds) menjadi saham.

Sesuai Single Resolution Mechanism Regulation (SRMR), pelaksanaan bail-in harus didasarkan pada hasil valuasi oleh penilai independen untuk menentukan seberapa besar jumlah modal saham dan kewajiban bank yang akan dihapus dan/atau dikonversi menjadi modal. Hasil valuasi menunjukkan nilai Banco Popular Espanol berkisar antara negatif €2 milyar dengan menggunakan baseline scenario dan negatif €8,2 milyar dengan adverse scenario. Sebagai informasi, jumlah aset Banco Popular Espanol per akhir 2016 sebesar €148 milyar.

Pada tanggal 7 Juni 2017 atau sehari setelah FLTF, dengan persetujuan European Commission (EC), Banco Popular Espanol dijual kepada Banco Santander seharga €1. Dengan penjualan tersebut, Banco Popular Espanol dapat melanjutkan operasi secara normal, solven dan likuid, sebagai bagian dari group Banco Santander. Untuk memperkuat permodalan dan meningkatkan provisi setelah akuisisi tersebut, Banco Santander melakukan rights issue senilai €7 milyar. Per 30 Juni 2017, grup Banco Santander mengelola total aset senilai €1.653 milyar. Pelaksanaan resolusi terhadap Banco Popular Espanol tidak menggunakan State Aid maupun dana dari SRF.

Likuidasi Veneto Banca dan Banca Popolare di Vicenza

Pada 23 Juni 2017, ECB menyatakan Veneto Banca dan Banca Popolare di Vicenza memenuhi kategori FLTF dan menyerahkan penanganannya kepada SRB. Berbeda dengan ketika menangani Banco Popular Espanol, SRB memandang kegagalan Veneto Banca dan Banca Popolare di Vicenza tidak memiliki dampak signifikan bagi stabilitas sistem keuangan di Eropa dan pelaksanaan resolusi atas kedua bank tersebut tidak diperlukan demi kepentingan publik.

Bank yang ditetapkan FLTF dan menurut SRB tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan resolusi, konsekuensinya harus dikeluarkan dari sistem perbankan (wind-down/liquidate) yang pelaksanaannya sesuai national insolvency procedures dan oleh otoritas resolusi negara tempat kedudukan bank tersebut. Bank of Italy merupakan otoritas resolusi di Italia, selain fungsinya sebagai bank sentral.

Veneto Banca dan Banca Popolare di Vicenza merupakan bank kecil dengan pangsa kredit sekitar 1% dan 1,5%, serta jumlah aset per akhir 2016 masing-masing sebesar €28 miliar dan €35 miliar. Meski secara nasional tidak memiliki kontribusi besar, kedua bank memiliki peran penting dalam perekonomian di wilayah Venezia, keduanya sering disebut Venetian Banks. Otoritas resolusi Italia memandang perlu untuk mengupayakan agar pelaksanaan likuidasi kedua bank tersebut tidak mengganggu pelayanan jasa perbankan di wilayah tersebut dan tidak memicu kepanikan nasabah bank-bank lainnya.

Sesuai State Aid Rules, Pemerintah di Eropa dapat memberikan bantuan keuangan dalam rangka memitigasi dampak dari pelaksanaan likuidasi suatu bank. Pemberian bantuan tersebut dengan syarat pemegang saham dan pemegang subordinate debts harus berkontribusi penuh (burden sharing) dan tidak mengganggu iklim kompetisi yang sehat. Pemberian bantuan keuangan tersebut perlu mendapat persetujuan dari EC.

Pada 24 Juni 2017 atau sehari setelah FLTF, Pemerintah Italia mengajukan permohonan persetujuan kepada EC untuk memberikan bantuan keuangan dalam proses likuidasi kedua bank tersebut. Setelah mendapatkan persetujuan pada 25 Juni 2017, sesuai persyaratan State Aid, otoritas resolusi membebankan seluruh kerugian bank kepada para pemegang saham dan pemegang subordinate debts.

Melalui lelang terbuka, otoritas resolusi kemudian menjual/mengalihkan good assets dan simpanan beserta senior debts kedua bank dengan nilai setara kepada bank terbesar kedua di Italia, Intesa Sanpaolo, seharga €1. Sedangkan bad assets dan junior debts ditinggal pada kedua bank tersebut untuk selanjutnya dilikuidasi dengan bantuan pendanaan/pinjaman dari Intesa Sanpaolo.

Bantuan keuangan dari Pemerintah Italia diberikan kepada Intesa Sanpaolo dalam bentuk kas sebesar €4,8 milyar yang terdiri dari: €3,5 milyar untuk memastikan rasio permodalannya tidak terdampak dan €1,3 milyar untuk biaya integrasi dan rasionalisasi termasuk penutupan 600 kantor cabang dan PHK sekitar 4.000 karyawan. Dari total aset €51 milyar yang diambil-alih Intesa Sanpaolo dihitung ATMR-nya sejumlah €28 milyar, sehingga untuk mempertahankan rasio permodalan Intesa Sanpaolo sebesar 12,5% diperlukan bantuan dana sebesar €3,5 milyar.

Sedangkan dalam pelaksanaan likuidasi kedua bank, Pemerintah Italia memberikan jaminan (state guarantee) sebesar €12 milyar untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas aset, risiko hukum/legal dispute, dan jaminan atas pinjaman dari Intesa Sanpaolo. Per 30 Juni 2017, grup Intesa Sanpaolo mengelola aset senilai €788 milyar. Dengan pemberian bantuan dan jaminan tersebut, Pemerintah Italia memiliki hak pertama dalam pembagian hasil likuidasi kedua bank.

Precautionary Recapitalisation Banca Monte dei Paschi di Siena

Pada 4 Juli 2017, EC mengumumkan persetujuan terhadap usulan yang diajukan Pemerintah Italia pada akhir 2016 untuk melakukan Precautionary Recapitalisation (PreRecap) kepada Banca Monte dei Paschi di Siena (BMPS). BMPS merupakan bank keempat terbesar di Italia yang telah beroperasi sejak tahun 1472 atau 20 tahun sebelum benua Amerika ditemukan oleh Columbus. BMPS mulai menghadapi permasalahan setelah melakukan akuisisi Bank Antonveneta pada 2008 yang menghabiskan dana €9 miliar.

Kondisi keuangan BMPS semakin memburuk sebagai dampak kejatuhan Lehman Brothers pada 2008 dan European Debt Crisis pada 2010. BMPS telah 2 kali menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Italia pada 2009 dan 2013. Pada 29 Juli 2016, EBA mengumumkan hasil stress testing terhadap 51 bank di Eropa dan menempatkan BMPS sebagai bank yang memiliki kondisi terburuk.

Dengan menggunakan baseline scenario, rasio modal inti utama (CET1) BMPS pada tahun 2018 diproyeksikan masih akan bertahan pada kisaran 12%. Namun apabila digunakan adverse scenario, CET1 BMPS pada tahun 2018 diproyeksikan akan turun menjadi minus 2,23%. Sesuai ketentuan, bank yang berdasarkan hasil stress testing mengalami insolven harus meningkatkan permodalannya dalam jangka waktu tertentu.

BMPS diminta menyusun perencanaan dan diberi waktu beberapa bulan untuk mencari tambahan modal dari pasar (market solution). Untuk mengatasi potensi kekurangan modal dan menambah rasio modal inti utama menjadi minimal 8%, BMPS membutuhkan dana sebesar €5 milyar. BMPS menjajagi kemungkinan mendapatkan strategic partner untuk meningkatkan permodalannya, dan Qatar Sovereign Fund merupakan salah satu anchor investors yang digadang akan menggelontorkan dananya.

Pada awal Desember 2016, BMPS menginformasikan kepada Bank of Italy kemungkinan sumber permodalan dari pasar tidak dapat diperoleh seiring mundurnya Qatar Sovereign Fund karena ketidak-sepakatan beberapa klausul restrukturisasi BMPS. Pemerintah Italia kemudian membawa permasalahan perbankan kepada Parlemen Italia dan meminta persetujuan alokasi dana sebesar €20 miliar untuk bantuan keuangan dan restrukturisasi perbankan.

Setelah Parlemen Italia menyetujui usulan tersebut pada 20 Desember 2016, Pemerintah Italia mengajukan persetujuan pelaksanaan PreRecap terhadap BMPS kepada EC. PreRecap bukan merupakan tindakan resolusi karena bank belum masuk kategori FLTF dan PreRecap tidak pula menjadi pemicu resolusi.

PreRecap hanya dapat dilakukan apabila terpenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1. Bank dalam kondisi solven. Bank tersebut hanya mengalami insolven berdasar stress testing dengan adverse scenario. Jika bank mengalami insolven dengan baseline scenario, bank tersebut tidak memenuhi prasyarat mendapatkan PreRecap;
2. Dana PreRecap tidak boleh digunakan untuk menyerap atau mengkompensasi kerugian dan potensi kerugian yang mungkin timbul. Kerugian tersebut harus menjadi beban pemegang saham dan pemegang subordinate debts (burden sharing);
3. PreRecap bersifat sementara dan harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu, bank harus memiliki rencana restrukturisasi yang efektif dan kredibel untuk memastikan kondisinya sehat dalam jangka panjang; dan
4. PreRecap harus mendapat persetujuan EC.

Pelaksanaan PreRecap terhadap BMPS diawali dengan men-dilusi hak pemegang saham dan mengkonversi subordinate debts sebesar €4,3 milyar menjadi saham. Pelaksanaan konversi tersebut diiringi dengan pemberian kompensasi kepada investor retail yang membeli subordinate debts BMPS tanpa mendapat penjelasan terkait risikonya (victims of mis-selling). Retail investor yang memenuhi kriteria tersebut dapat mengajukan kompensasi dengan menukarkan saham hasil konversi (converted shares) menjadi senior bonds BMPS. Pemerintah Italia mengalokasikan dana sebesar €1,5 milyar untuk keperluan kompensasi tersebut.

Pemberian kompensasi tersebut dipandang penting berkaca pada kemarahan publik pada tahun 2015 yang dipicu oleh bunuh diri seorang pensiunan (Mr. Luigino D’Angelo) yang kehilangan simpanan masa tuanya (life saving) karena ketidak-pahamannya terbujuk membeli subordinate debts Banca Etruria yang di kemudian hari menjadi bank gagal. Untuk lebih memperkuat permodalan, dalam rangka PreRecap tersebut Pemerintah Italia melakukan penyertaan modal negara kepada BMPS sejumlah €3,9 milyar. BMPS kemudian melakukan restrukturisasi aset, termasuk menjual portofolio kredit bermasalah senilai €26 milyar.

Catatan Penutup

Meskipun konsep bail-in sudah mulai diterapkan di Eropa, penggunaan anggaran negara masih dimungkinkan untuk mendukung pelaksanaan resolusi atau mengatasi permasalahan perbankan dengan dalih demi kepentingan umum dan stabilitas sistem keuangan, antara lain melalui state aid dan precautionary recapitalisation.

Penetapan bank masuk kategori FLTF merupakan kewenangan pengawas bank dan menjadi pemicu resolusi. Untuk menghindari potensi ketidak-sepahaman, kriterianya perlu dibuat jelas, transparan, serta didiskusikan antara pengawas bank dengan otoritas resolusi.

Bail-in merupakan kewenangan resolusi yang pelaksanaannya didasarkan pada hasil valuasi oleh penilai independen untuk menentukan jumlah modal saham dan kewajiban yang akan dilakukan write down dan/atau dikonversi menjadi saham. Dalam perkembangannya, eks pemegang saham dan subordinate debts Banco Popular Espanol mempertanyakan validitas dan reliabilitas hasil valuasi yang dibuat oleh Deloitte, dan mengajukan tuntutan melalui European Court of Justice agar SRB dan EC membatalkan kebijakan resolusi atas bank tersebut dengan dalih tidak didasarkan pada informasi yang komplit.

Mengeluarkan bank dari sistem (likuidasi) pada prinsipnya merupakan pilihan/opsi pertama dalam menyelesaikan bank gagal. Opsi lainnya akan dipertimbangkan apabila pelaksanaan likuidasi tersebut diperkirakan dapat mengganggu stabilitas keuangan, menghambat keberlangsungan fungsi kritikal bank, atau berdampak pada perlindungan simpanan nasabah.

Stress testing telah menjadi alat penting dalam pengaturan dan pengawasan perbankan (regulatory and supervisory toolkits), serta hasilnya dapat memiliki implikasi dan konsekuensi yang besar bagi bank. Oleh karenanya, metodologi stress testing, termasuk variabel, skenario, dan asumsi yang digunakan perlu dipahami kalangan perbankan dan para pemangku kepentingan lainnya.

Baca Lanjutannya...