Pada Juli 2015, Pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) kepada DPR. JPSK merupakan terjemahan dari Financial System Safety Nets (FSSN), suatu kerangka kerja koordinasi, kerjasama, dan tukar menukar informasi, serta pembagian tugas dan tanggung-jawab antar otoritas dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan.
Dalam pembahasan dengan DPR, RUU tersebut kemudian disepakati diubah menjadi RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (RUU PPKSK) untuk lebih menonjolkan substansi dan tujuan RUU tersebut sebagai payung hukum dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang PPKSK disahkan dan diundangkan pada 15 April 2016.
Berkenaan dengan JPSK atau FSSN, asosiasi penjamin simpanan internasional (IADI) pada tahun 2006 telah menyusun “General Guidance to Promote Effective Interrelationships among Financial Safety Net Participants” sebagai pedoman bagi penjamin simpanan dalam membina hubungan yang efektif dengan otoritas lain dalam JPSK. Selanjutnya pada tahun 2009, dalam Core Principles (CP) for Effective Deposit Insurance System diatur pula prinsip dasar hubungan antara penjamin simpanan dengan anggota JPSK lainnya yang dirumuskan dalam CP 4 - Relationships with other safety-net participants. Pada dasarnya pola hubungan antar anggota JPSK digambarkan dengan ungkapan “Good Fences Make Good Neighbors”.
Dalam pemaparan berikut akan dikupas dan dibahas mengenai peran yang dimainkan LPS dalam kerangka JPSK dengan menggunakan analogi sepakbola.
Kerangka JPSK
Pada dasarnya, pemberlakuan atau penerapan sistem penjaminan simpanan pada suatu negara harus dirancang sebagai bagian dari kerangka JPSK. Dalam pembahasan disini, JPSK dibatasi hanya meliputi sektor perbankan.
Komponen JPSK terdiri dari:
i. Pengaturan dan pengawasan perbankan yang efektif untuk memastikan bank dikelola secara hati-hati (prudent);
ii. Kebijakan lender of last resort untuk memberi solusi permasalahan likuiditas yang dihadapi bank;
iii. Pelaksanaan penjaminan simpanan dan resolusi bank gagal sebagai bagian dari exit strategy penyelesaian permasalahan bank; dan
iv. Kebijakan dan protokol pencegahan dan penanganan krisis.
Jaring pengaman dalam kerangka JPSK dimaknai sebagai sebuah jaring yang secara proaktif memelihara stabilitas sistem perbankan, bukan jaring pengaman yang pasif dan statis seperti jaring yang dipasang pada pertunjukan sirkus untuk mengantisipasi kalau ada pemain yang terjatuh. Setiap unsur dalam JPSK berupaya secara aktif mengidentifikasi sumber-sumber permasalahan (source of vulnerabilities) yang terkait bidang tugasnya, serta melakukan berbagai upaya pencegahan dan penyelesaian permasalahan tersebut secara dini sesuai kewenangannya masing-masing.
Apabila satu upaya tidak dapat menyelesaikan permasalahan pada tahap awal, diharapkan akan ada upaya penyelesaian berikutnya secara bertahap dan berjenjang sesuai tingkatan atau magnitude permasalahan. Sehingga kalaupun krisis sistem perbankan tidak dapat dicegah, dampak ekonomi dan sosial dari krisis tersebut sudah dapat diantisipasi, dimitigasi, dan diminimalkan.
JPSK dan Formasi Sepakbola
Dalam pertandingan sepakbola, pelatih yang berwenang menentukan formasi tim sesuai dengan strategi dan lawan yang dihadapi. Salah satu formasi standar tim sepakbola adalah 4 4 2 (Four Four Two) yang berarti di depan penjaga gawang terdapat 4 pemain belakang, 4 pemain tengah, dan 2 pemain depan. Formasi tersebut tentu saja tidak bersifat kaku karena dapat berubah menyesuaikan kondisi permainan di lapangan.
Pemain depan memiliki tugas utama menjadi ujung tombak serangan dan sekaligus menjadi pertahanan lapis pertama. Pemain tengah bertugas membantu mengatur serangan serta menjadi pertahanan lapis kedua. Pemain belakang tugas utamanya menjaga pertahanan tim agar tidak dapat ditembus lawan, namun dapat juga membantu serangan. Sedangkan kiper merupakan lapis pertahanan terakhir.
Dalam kerangka JPSK dengan menggunakan analogi sepakbola, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai pemain depan. Pengaturan dan pengawasan mikroprudensial (individual bank) yang kuat dan efektif diharapkan dapat mendorong perbankan untuk dapat mencapai tujuannya (goal) sebagaimana termaktup dalam UU Perbankan, yakni menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam kerangka pengaturan dan pengawasan tersebut, OJK mengidentifikasi permasalahan secara dini (early detection) dan melakukan tindakan perbaikan yang segera (prompt corrective actions, timely intervention) sehingga setiap gangguan atau permasalahan pada sektor perbankan diharapkan dapat diatasi pada stadium awal.
Bank Indonesia berperan sebagai pemain tengah yang bertugas menetapkan kebijakan moneter dan sistem pembayaran, serta kebijakan makroprudensial yang kondusif bagi perekonomian dan perbankan, sehingga dapat membantu menciptakan peluang-peluang terjadinya goal. Dalam hal suatu bank menghadapi permasalahan likuiditas, Bank Indonesia memberikan pinjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan lapis kedua. Sedangkan peran LPS dalam JPSK dianalogikan sebagai pemain belakang yang menjadi pertahanan lapis ketiga. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan melaksanakan resolusi bank gagal. Pelaksanaan fungsi penjaminan dan resolusi bank tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Pemain belakang yang handal dan sistem pertahanan yang efektif diharapkan dapat menghadang dan menghentikan setiap serangan lawan.
Dalam UU PPKSK, LPS diberi tambahan opsi resolusi bank gagal yakni purchase and assumption (P&A) dan bridge bank, serta diberi amanat untuk melaksanakan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP), sebagai rangkaian instrumen untuk memperkuat sistem pertahanan.
Apabila serangan lawan tidak dapat dihadang pemain belakang, penjaga gawang akan menjadi lapis pertahanan terakhir.
Dalam kerangka JPSK, Kementerian Keuangan berperan sebagai penjaga gawang dalam kapasitasnya sebagai pengelola keuangan negara (otoritas fiskal) dan koordinator JPSK. Kementerian Keuangan juga sering disebut sebagai guarantor of last resort. Sesuai Pasal 85 UU 24/2004, LPS memperoleh pinjaman dari Pemerintah ketika mengalami kesulitan likuiditas dan tambahan modal ketika modalnya menjadi kurang dari Rp4 triliun. Dalam Pasal 62 UU 3/2004, Pemerintah wajib menjaga modal Bank Indonesia sekurangnya sebesar Rp2 triliun.
Saat ini berkembang arus pemikiran untuk mengurangi atau menghindari penggunaan uang negara dalam pelaksanaan resolusi bank. Meskipun disadari dalam kondisi tertentu masih diperlukan atau dimungkinkan penggunaan uang negara sebagai pendukung dan katalisator dalam pelaksanaan resolusi bank, utamanya resolusi bank sistemik. Saat ini, FSB sedang menyusun “Guiding principles on the temporary funding needed to support the orderly resolution of a global systemically important bank (G-SIB)” sebagai pedoman dalam merancang sistem pendanaan untuk mendukung pelaksanaan resolusi bank sistemik yang terencana. Dalam pedoman tersebut juga diatur mengenai ketentuan dukungan pendanaan dari Pemerintah (public sector backstop funding atau state aid rules).
Koordinasi & Kerjasama dalam JPSK
Sebagaimana tim sepakbola, JPSK akan berjalan efektif untuk mencapai tujuan (goal) yang diinginkan apabila masing-masing pemain atau kelompok pemain dapat berkoordinasi, bekerjasama, saling mendukung, dan memainkan perannya masing-masing dengan baik. Kita tidak dapat hanya mengandalkan pada kehebatan satu pemain atau kelompok pemain tertentu, sementara membiarkan lemah pemain atau kelompok pemain lainnya. Memiliki striker handal yang mampu mencetak banyak gol tidak terlalu banyak manfaatnya apabila pada saat yang sama kita memiliki lini pertahanan lemah yang kebobolan gol lebih banyak, karena secara tim kita akan tetap kalah.
Dalam permainan sepakbola tidak jarang kita lihat terjadi overlapping atau pemain bergerak tidak sesuai posisinya. Bahkan tidak jarang pemain tengah dan pemain belakang bersaing dengan pemain depan untuk menciptakan gol. Kejadian Cristiano Ronaldo yang marah ketika rekan setim-nya Alvaro Arbeloa yang notabene pemain belakang mencetak gol ketika Real Madrid menghadapi Almeria pada 29 April 2015 lalu, merupakan salah satu contohnya. Ronaldo merasa dialah yang seharusnya paling berhak mencetak gol tersebut. Apakah Arbeloa melanggar “rule of the game” atau mengabaikan arahan sehingga layak mendapat sanksi dari pelatih? Tentu saja tidak.
Ketiadaan aturan yang jelas mengenai posisi, peran, dan tanggung jawab pemain bola, termasuk pemain mana yang seharusnya mencetak gol dapat menimbulkan persaingan dan kecemburuan antar pemain jika tidak dikelola dengan baik. Dalam kondisi yang sangat ekstrem dan tidak normal, bukan tidak mungkin seorang pemain akan bertengkar atau melakukan takle terhadap rekan setim-nya sendiri atau bahkan berlomba memasukkan gol ke gawang sendiri sebagaimana pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia antara PSIS Semarang dan PSS Sleman pada 26 Oktober 2014.
Analogi JPSK dengan permainan sepakbola mungkin tidak secara tepat dan utuh menggambarkan kondisi yang sebenarnya, namun setidaknya akan lebih mempermudah pemahaman kita mengenai peran masing-masing anggota JPSK. Dalam kerangka JPSK, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga/otoritas harus diatur rinci dalam undang-undang sehingga ketidakjelasan dapat dicegah. Sebagaimana sering kita simak di media, koordinasi antar instansi di Indonesia merupakan suatu barang yang mahal harganya. Ego sektoral dan silo mentality seringkali kita dengar sebagai salah satu kambing hitamnya.
Pada sektor keuangan atau perbankan, Bapak Darmin Nasution dalam bukunya “Bank Sentral Itu Harus Membumi” menggambarkan kondisi di masa lalu dengan menyatakan “Harus jujur diakui, ada semacam sibling rivalry atau "persaingan dua saudara" antara orang Thamrin (Bank Indonesia) dan orang Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan).” Semoga persaingan tersebut merupakan cerita lama yang saat ini sudah tidak terjadi lagi. Koordinasi dan kerjasama antar otoritas di sektor keuangan atau perbankan akan semakin menantang karena sekarang bukan lagi dua bersaudara, melainkan sudah empat bersaudara dengan lahirnya LPS dan OJK.
Bagi LPS sendiri sebagai pemain belakang, selain mengandalkan pada kapasitas dan kekuatannya sendiri, juga memerlukan aliran data dan informasi dari pemain tengah dan pemain depan mengenai adanya potensi serangan. Selayaknya serangan balik dalam sepakbola, kegagalan bank dapat bereskalasi sangat cepat sehingga pemain belakang memerlukan waktu untuk mengantisipasi, serta menyiapkan strategi dan taktik untuk menghadangnya. Selain itu, data dan informasi dari bank peserta juga sangat penting bagi LPS dalam perencanaan pembayaran klaim penjaminan dan resolusi bank yang tepat waktu. Berdasarkan hal tersebut, ke depan perlu dipertimbangkan agar setiap bank memiliki semacam reimbursement plan dan/atau resolution plan untuk mengantisipasi dampak kegagalannya, selain recovery plan yang merupakan perencanaan bank dalam menghadapi kesulitan keuangan tertentu.
Penetapan UU PPKSK merupakan tonggak penting dalam upaya menjalin koordinasi, kerjasama, dan tukar menukar informasi, serta pembagian tugas dan tanggung-jawab antar otoritas dalam pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, serta penanganan permasalahan bank berdampak sistemik. Berdasarkan UU PPKSK tersebut dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. KSSK bertujuan menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian. Dengan penetapan UU PPKSK tersebut, diharapkan koordinasi dan kerjasama antar otoritas akan semakin baik, serta pembagian tugas dan tanggung-jawab akan semakin jelas, sehingga pada akhirnya kita akan memiliki tim yang solid dan tidak mudah dikalahkan.
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago
0 comments:
Post a Comment