Pada bulan Pebruari 2008 yang lalu hampir semua koran tanah air memuat berita mengenai pengenaan sanksi denda sebesar Rp100 Juta oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) kepada JP Morgan Securities Indonesia terkait dengan kesalahan input harga saham. Pada pukul 15.11.57 WIB hari Jumat tanggal 15 Februari 2008, total nilai transaksi di pasar negosiasi BEI dengan cara tutup sendiri (bukan reguler) melonjak sangat tajam. Usut punya usut ternyata terjadi kekeliruan input harga saham Bakrie & Brothers (BNBR) oleh seorang dealer JP Morgan Securities Indonesia dari yang seharusnya harga per saham diinput dalam rupiah penuh sebesar Rp362 oleh trader tersebut diinput dengan menambahkan angka desimal menjadi Rp362,0287.
Sistem yang digunakan oleh BEI, Jakarta Automatic Trading System (JATS), tidak mengenal tanda koma atau sistem desimal, sehingga angka Rp362,0287 tersebut oleh sistem komputer BEI dikenali sebagai tujuh digit tanpa desimal atau dibaca sebagai Rp3.620.287,-. Kontan saja nilai transaksi yang seharusnya sebesar Rp 362 kali 10 juta lembar (20.000 lot) atau sebesar Rp3,62 Miliar dalam sistem tercatat menjadi sebesar Rp36,2 Triliun.
Dalam industri jasa keuangan, kejadian salah ketik, salah pencet, atau salah input yang dapat menimbulkan risiko kerugian sering disebut dengan “fat finger error”. Istilah kesalahan si tangan gemuk tersebut kalau ditelusuri dapat berasal dari kecenderungan desain tuts pada keyboard pc, laptop, hp, pda, dan sejenisnya yang menjadi lebih kecil dan lebih sensitif sehingga seringkali menimbulkan salah pencet atau kepencet dua tuts pada saat yang bersamaan.
Kejadian fat finger error yang paling menggemparkan dan memalukan terjadi di Jepang pada bulan Desember 2005. Seorang trader Mizuho Securities menerima order jual 1 lembar saham J-Com dengan harga ¥610.000 per lembar, tetapi trader tersebut justru melakukan penjualan 610.000 lembar saham J-Com dengan harga seluruhnya sebesar ¥1. Meskipun seluruh saham J-Com yang diperdagangkan di Tokyo Stock Exchange (TSE) hanya sebanyak 14.000 lembar, sistem pada TSE tidak mengenali keanehan tersebut dan tetap mengeksekusi penjualan tersebut. Kesalahan tersebut mengakibatkan Mizuho Securities mengalami kerugian sebesar ¥27 Miliar atau sekitar US$225 Juta. Sebagai imbas peristiwa tersebut, President TSE, Takuo Tsurushima; Managing Director Bursa, Sadao Yoshino, bersama dengan Kepala Sistem Informasi, Yasuo Tobiyama mengundurkan diri dari jabatannya.
Beberapa perusahaan sekuritas besar yang mendapat rejeki nomplok dari kesalahan tersebut seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley, Credit Suisse First Boston, dan Nomura Securities bersedia menyisihkan keuntungan yang didapat ke dalam suatu fund yang akan digunakan untuk mendanai riset guna mencegah kejadian serupa terulang. Sebagian yang lain termasuk UBS yang mendapat keuntungan paling besar, tidak mau menyisihkan keuntungannya. Untuk yang terakhir ini Menteri Keuangan Jepang menyebutnya sebagai “Kajiba Dorobo” istilah untuk para penjarah yang suka mengambil harta dari rumah yang terbakar. Beberapa kasus fat finger error yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Apendix 1.
Rouge Trader
Pada hari Jumat tanggal 25 Januari 2008, Societe Generale Bank membuat iklan di beberapa media massa yang menyatakan permintaan maaf kepada seluruh pemegang saham berkaitan dengan kerugian sebesar €4,9 Miliar (sekitar Rp66,4 Triliun) akibat pembobolan yang dilakukan oleh karyawannya sendiri, Jerome Kerveil (31 tahun). Societe Generale Bank merupakan bank terbesar kedua di Prancis setelah BNP Paribas, yang didirikan oleh Napoleon III pada tahun 1864 atau saat ini bank tersebut telah berusia 144 tahun.
Sebagai trader pada Societe Generale Bank, Jerome Kerveil menggunakan transaksi yang sederhana tetapi dilakukan dengan teknik yang bervariasi dan sangat canggih. Kerveil juga bisa menutupi transaksi fiktifnya sehingga tidak terdeteksi oleh sistem keamanan bank yang sudah dibuat berlapis. Kerugian yang diakibatkan oleh ulah Kerveil tersebut memecahkan rekor jumlah kerugian yang dialami Barings Bank akibat kecurangan yang dilakukan oleh Nick Leeson, general manager Barings Bank di Singapura. Barings Bank mengalami kerugian sebesar £860 juta (sekitar Rp12,8 triliun) yang menyebabkan bank yang telah berusia 230 tahun tersebut kolaps pada tahun 1995.
Pada awalnya Nick Leeson menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar bagi Barings Bank dari transaksi derifative dan future. Namun ketika mulai mengalami kerugian, Leeson menggunakan rekening fiktif untuk menyembunyikan transaksinya. Mengingat Leeson melakukan sendiri setlemen atas setiap transaksi yang dibuatnya, kecurangan tersebut dapat ditutupi dalam jangka waktu yang lama sampai akhirnya Leeson keluar dari Barings Bank pada tahun 1995. Kerugian yang disebabkan oleh Nick Leeson telah menyebabkan Barings Bank bangkrut dan pada akhirnya dijual kepada ING Group dengan harga hanya £1.
Nick Leeson dan Jerome Kerveil sering disebut sebagai rouge trader atau pedagang licik, meskipun keduanya mempunyai motivasi yang berbeda. Menurut teman-temannya, Kerveil tidak menikmati uang hasil kelicikannya dan sepertinya hanya puas dengan “keberhasilannya” membobol sistem di perusahaannya. Beberapa kasus rouge trader yang menyebabkan kerugian yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Apendix 2.
Manajemen Risiko
Kerugian yang timbul dari fat finger error dan rouge trader dari sudut pandang manajemen risiko termasuk dalam skope risiko operasional. Menurut Basel II, risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian yang timbul dari kegagalan atau tidak memadainya prosedur internal, manusia, sistem informasi, atau kejadian eksternal. Sedangkan ditinjau dari seberapa sering kejadiannya (frequency) dan seberapa besar kerugiannya (severity), risiko operasional dapat dikelompokan menjadi 4 : LFLS, HFLS, LFHS, dan HFHS (L=Low, H=High, F=Frequency, dan S=Severity).
Risiko yang masuk dalam kelompok 1 (LFLS) tidak layak dikelola karena biaya pengelolaannya akan lebih besar dibandingkan dengan potensi risiko kerugian yang dapat dimitigasi. Risiko pada kelompok 2 (HFLS) sering disebut sebagai expected loss mengingat peristiwanya sering terjadi dan jumlah kerugiannya dapat diestimasi. Sebaliknya risiko pada kelompok 3 (LFHS) disebut sebagai unexpected loss karena peristiwanya jarang terjadi tetapi jumlah kerugiannya berpotensi menyebabkan kebangkrutan. Sedangkan risiko pada kelompok 4 (HFHS) berada diluar kemampuan perusahaan untuk mengelolanya sehingga harus dihindari melakukan bisnis yang mempunyai risiko pada kelompok ini (avoidance).
Dalam kejadian sesungguhnya seringkali satu peristiwa dapat disebabkan oleh lebih dari satu penyebab atau disebut sebagai boundary events. Risiko kerugian yang dialami oleh JP Morgan Securities Indonesia, Mizuho Securities, Barings Bank, dan Societe Generale Bank secara kasat mata dapat dikategorikan sebagai risiko operasional yang disebabkan oleh faktor manusia. Namun untuk dua kasus yang terakhir penyebab yang lebih dominan sebenarnya berasal dari kegagalan atau tidak memadainya prosedur internal di masing-masing bank untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan oleh para rouge trader.
Untuk memitigasi risiko operasional yang berasal dari faktor manusia dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan pekerjaan masing-masing pegawai. Selain itu perlu dibuat kondisi dan suasana kerja yang kondusif, termasuk remunerasi yang menarik. Sedangkan potensi risiko yang berasal dari kegagalan atau kurang memadainya prosedur internal dapat dimitigasi dengan melakukan review secara periodik terhadap setiap prosedur operasi standar untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya celah bagi terjadinya pelanggaran.
Apendix 1 : Fat Finger Error Cases
In September 1997, London Stock Exchange staff were puzzled when a firm entered three buy orders within an hour for 989,529 shares Zeneca shares. The orders were worth a combined £21m, or three times normal market size at the time. When the LSE queried the order, it was discovered the trader had entered Zeneca’s number, the six-figure code used by the exchange to identify stocks, instead of the volume. Assuming the trader had intended to buy Zeneca at its normal market size, his error would have cost £60m.
--------------------------------------------------------------
In October 1998, an incident that involved Solomon Brothers selling 10,000 futures contracts on French derivatives exchange Matif and losing several million dollars drove it to demand an independent audit to investigate faulty hardware or software. The audit revealed the error had been caused by a trader leaning his elbow on his keyboard’s F12 button, the “instant sell” key. This meant Salomon had entered an order for 14,500 contracts in the 10-year French government bond, of which 10,000 were met by counterparties. Salomon was thought to be considering action against its software suppliers, GL, for not supplying an up-to-date version of its software.
--------------------------------------------------------------
In May 2001, a Lehman Brothers dealer in London wiped £30bn off the FTSE when he inadvertently ordered sales of shares in blue-chip companies such as BP and AstraZeneca that were 100 times larger than intended. He keyed in £300m for a trade which should have been £3m, causing a 120-point drop in the FTSE 100 and a £20,000 fine for Lehman Brothers.
--------------------------------------------------------------
In October 2002, a trader at the US bank Bear Stearns was blamed for a 100-point drop in the Dow Jones after he entered a $4bn sell order instead of the intended $4m order. More than $600m of stock changed hands before the mistake was detected and was blamed for much of the day’s 183-point slump in the index, according to sources. Bankers said: “You can put in one extra zero by accident but to put in three extra zeros is three fat fingers and that’s pretty stupid.”
--------------------------------------------------------------
In September 2006, a Bank of America trader’s keyboard was set up to execute an order when the senior trader gave the signal – he just had to press enter. However, he failed to notice an errant rugby ball thrown in his direction, which landed on his keyboard and executed the $50m trade ahead of schedule. The ball thrower, a graduate trainee, was given a severe reprimand but no further action was taken.
--------------------------------------------------------------
In May 2007, a Morgan Stanley trader cost the US bank $300,000 in fines from the New York Stock Exchange for running an order worth $10.8bn instead of $10.8m. The trader entered an agency order to buy 100,000 units to cover a short position. However, the tool he used had a built-in multiplier of 1,000 so when he typed in 100,000, he created a basket valued at $10.8bn instead of $10.8m.
Apendix 2 : Rouge Trader Cases
In 1984, Toshihide Iguchi began trading U.S. government bonds at Daiwa Bank’s New York branch office. By 1989, he had lost more than $575 million. Iguchi covered his losses by selling bonds the branch was holding in custodial accounts and then falsifying the records. By the time that Iguchi’s fraudulent activity was disclosed in 1995, he had accumulated $1.1 billion in unauthorized trading losses. Subsequently, Daiwa Bank was fined heavily, and the Federal Reserve ordered it to end all of its operations in the United States.
--------------------------------------------------------------
In 1993, John Rusnak was hired by Allfirst Financial Inc. (“Allfirst”), the Baltimore-based subsidiary of Allied Irish Bank. Rusnak was hired to conduct an arbitrage trading strategy between foreign exchange options and the spot and forward markets. He claimed that he could make money by running a large options book hedged in the cash markets. In reality, however, his trading was directional and he sustained substantial losses at some point in 1997 by betting mainly on the Japanese yen. Rusnak hid his losses over several years by using fictitious options contracts. In addition, he manipulated the firm’s Value at Risk (“VaR”) calculation – the primary measure used by Allfirst to monitor his trading. It took until 2002 before routine checks finally uncovered the true extent of the firm’s exposure. By that time, Rusnak had vastly exceeded his trading limit, secretly betting $7.5 billion of firm capital on the yen rising against the dollar.
--------------------------------------------------------------
From a period beginning in November 1991 through March 1994, Joseph Jett, the former head of Kidder’s government trading desk, conjured up $350 million in phantom profits in a scheme to mask $100 million in losses. Jett was a fixed income trader who was involved in exchanging Treasury securities known as “STRIPs” for whole bonds (or “recon” transactions). He also entered trading contracts that involved the future exchange of STRIPs for bonds. It was through these forward contracts that Jett was able to conceal his trading losses, by extending them again and again and recording phantom profits. He was able to perpetrate this fraud by exploiting a weakness in Kidder’s trading and accounting systems, which recognized a profit in connection with recons entered for settlement more than one business day forward.
--------------------------------------------------------------
Sumitomo Corp. disclosed a $2.6 billion loss in 1996 on copper trades. The Japanese firm blamed unauthorized trades by its chief copper trader, Yasuo Hamanaka, who was known as ``Mr. Copper'' in the markets because of his aggressive trading. Hamanaka was sentenced to eight years in prison in 1998.
--------------------------------------------------------------
US energy giant Enron collapsed in 2001 with numerous concealed debts and financial irregularities, in the biggest ever biggest bankruptcy case for a bluechip company. Jeffrey Skilling, Enron’s former chief executive, was sentenced to 24 years and four months in prison for orchestrating the fraud and conspiracy that destroyed the giant energy trader. Kenneth Lay, Enron’s former chairman, was found guilty on all six accounts he faced, but avoided jail after he died of a heart attack.
--------------------------------------------------------------
Calisto Tanzi, head of dairy corporation Parmalat and once an Italian success story, collapsed in 2003 after a series of financial and accounting frauds. In 2005 it was charged with market-rigging. In a scandal dubbed “Europe’s Enron”, Parmalat eventually revealed debts of €14bn, eight times greater than it had claimed when it filed for bankruptcy.
--------------------------------------------------------------
US conglomerate Tyco International suffered a comparable scandal when an audit found hidden losses estimated as high as $10bn. Dennis Kozlowski, the company’s former chief executive, and Mark Swartz, the former finance chief, were convicted in 2005 of looting the company and are now serving jail terms of up to 25 years.
--------------------------------------------------------------
The hedge fund Amaranth Advisors collapsed after it lost more than $6bn from the bad natural gas contracts, largely due to a 32-year-old energy trader Brian Hunter, who tried to manipulate gas futures contracts on the NYME.
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago
0 comments:
Post a Comment