Seiring turunnya simpanan yang dijamin LPS menjadi maksimal sebesar Rp100 juta per nasabah per bank sejak 22 Maret 2007, timbul pertanyaan apakah tarif premi juga akan diturunkan. Selain itu, muncul pula pandangan bahwa dasar pengenaan premi dari seluruh simpanan tidak adil mengingat tidak seluruh simpanan dijamin.
Semua ketentuan dalam UU LPS sesungguhnya dirancang berlaku dalam kondisi normal, kecuali pentahapan simpanan yang dijamin yang diatur dalam Pasal 100 UU LPS. Pentahapan penjaminan dilakukan untuk memberi kesempatan nasabah yang mempunyai konsern pada penjaminan, menyesuaikan jumlah simpanannya pada satu bank. Hal tersebut mengingat sebelum LPS mulai beroperasi, Pemerintah memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank. Bagi negara yang tidak menerapkan blanket guarantee, jumlah simpanan yang dijamin langsung ditetapkan pada satu angka tertentu, misalnya di Malaysia sebesar RM 60.000 atau di Singapura sebesar SIN$ 20.000.
Dengan demikian, penjaminan maksimal Rp100 juta per nasabah per bank dan tarif premi 0,2% dari seluruh simpanan per tahun merupakan ketentuan yang dirancang berlaku dalam kondisi normal. Dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa dasar pemikiran mengenai cadangan penjaminan, tarif dan dasar pengenaan premi.
Cadangan Penjaminan
Disain sistem penjaminan simpanan yang baik mengharuskan adanya mekanisme untuk memastikan tersedianya dana yang cukup (sufficient) dan mudah dicairkan (liquid) untuk membayar klaim penjaminan dan melakukan resolusi bank gagal. Ketidakcukupan cadangan penjaminan dapat menyebabkan tertundanya pembayaran klaim dan/atau pelaksanaan resolusi bank yang berakibat pada meningkatnya biaya kegagalan bank.
Berkenaan dengan hal tersebut, lazimnya penjamin simpanan menetapkan suatu jumlah atau tingkat tertentu cadangan yang dianggap memadai untuk mengantisipasi kebutuhan dana di masa depan (targeted reserve level). Ukuran kecukupan cadangan penjaminan tersebut dapat ditetapkan dalam jumlah (nominal) tertentu; sebagai prosentase dari jumlah simpanan; atau sebagai prosentase dari jumlah simpanan yang dijamin.
Menurut Garcia (1999), cadangan penjaminan yang ditetapkan oleh penjamin simpanan berkisar antara 0,4% sampai dengan 5% dari jumlah simpanan, atau 0,5% sampai 20% dari jumlah simpanan yang dijamin. Sebagai contoh, LPS menetapkan sasaran cadangan penjaminan sebesar 2,5% dari jumlah simpanan, sedangkan penjamin simpanan di Amerika Serikat (FDIC) menetapkan designated reserve ratio (DRR) sebesar 1,25% dari jumlah simpanan.
Dalam menetapkan besarnya sasaran cadangan penjaminan, penjamin simpanan mempertimbangkan banyak faktor, antara lain: besarnya eksposur, efektifitas pengawasan perbankan, efektifitas disiplin pasar, kondisi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan, jumlah dan diversitas bank peserta penjaminan, jumlah simpanan pada bank terbesar, prioritas nasabah penyimpan dalam pembagian hasil likuidasi, alternatif pendanaan, dan kebijakan investasi.
Lantas, apa yang akan dilakukan apabila cadangan penjaminan telah mencapai jumlah yang ditargetkan. Sejauh ini, terdapat 2 pendekatan pendanaan penjamin simpanan yang umum digunakan, yakni pendekatan user fee model dan pendekatan mutual agreement model.
Dalam pendekatan user fee model, pemerintah dianggap merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menanggung seluruh biaya kegagalan bank. Industri perbankan membayar premi (fee) secara periodik kepada pemerintah atau lembaga yang dibentuk pemerintah sebagai kompensasi atas keikutsertaannya dalam program penjaminan.
Apabila cadangan penjaminan telah mencapai jumlah yang ditargetkan, kelebihan (surplus) dana tersebut akan disetorkan kepada pemerintah. Sebaliknya apabila cadangan penjaminan tidak mencukupi untuk membayar klaim penjaminan atau melaksanakan resolusi bank gagal, pemerintah akan menutup semua kekurangannya. Dalam pendekatan ini, premi penjaminan ditetapkan dengan mempertimbangkan risiko yang akan dihadapi oleh Pemerintah dalam jangka panjang (long time horizon).
Bagi industri perbankan, penerapan pendekatan ini akan menghasilkan cost of capital yang relatif lebih rendah karena premi yang dibayar dalam jumlah yang stabil untuk jangka waktu yang lama. Sedangkan kelemahannya, meskipun cadangan penjaminan telah mencapai target, penurunan tarif premi akan sangat tergantung pada persepsi pemerintah terhadap besarnya risiko kegagalan perbankan di masa yang akan datang.
Dalam pendekatan mutual agreement model, pemerintah hanya akan menanggung biaya kegagalan bank yang mempunyai dampak sistemik (systemic failure). Hal tersebut dengan pertimbangan bank gagal yang berdampak sistemik cenderung diselamatkan (too big to fail policy) dengan biaya yang umumnya melampaui kemampuan penjamin simpanan. Sedangkan kegagalan bank yang tidak berdampak sistemik akan ditanggung oleh industri perbankan secara bersama-sama (mutual).
Apabila cadangan penjaminan telah mencapai jumlah yang ditargetkan, bank peserta penjaminan akan mendapat pengurangan tarif premi (rebate) atau bahkan pengembalian premi (refund) jika jumlah simpanan pada perbankan turun. Dana yang berasal dari premi penjaminan tidak pernah masuk ke kantong Pemerintah. Sebaliknya apabila cadangan penjaminan tidak mencukupi untuk membayar klaim penjaminan atau melaksanakan resolusi bank gagal tidak sistemik, industri perbankan secara bersama-sama akan diminta memberikan tambahan kontribusi untuk menutup kekurangannya (post assesment).
Tarif Premi Penjaminan
Penetapan tarif premi merupakan hal yang sulit namun sangat krusial dalam menjaga keberlangsungan sistem penjaminan simpanan. Terdapat beberapa metode penetapan tarif premi, salah satunya didasarkan pada pengalaman pembayaran klaim penjaminan di masa lalu (historically loss experience). Metode penetapan tarif premi ini tidak dapat diterapkan pada penjamin simpanan yang baru berdiri. Namun demikian, pengalaman penjamin simpanan di negara lain dengan kondisi dan sistem perbankan yang identik dapat dijadikan acuan.
Metode penetapan tarif premi dengan pendekatan akademik pertama kali diperkenalkan oleh Merton pada tahun 1977. Dalam metode ini dibuat pemodelan untuk menghitung tarif premi yang wajar dengan mengaplikasikan teori harga option Black-Scholes. Nilai pasar aset bank digunakan untuk memprediksi kemungkinan kegagalan bank tersebut. Secara teoritis bank mengalami kegagalan apabila nilai pasar aset bank lebih rendah daripada nilai pasar kewajibannya. Pemodelan ini telah banyak dikembangkan tapi punya kelemahan hanya dapat diterapkan untuk bank yang telah menerbitkan saham dan/atau surat utang di pasar modal.
Metode penetapan tarif premi yang lain adalah menghubungkan tarif premi dengan pencapaian akumulasi cadangan penjaminan yang telah dimiliki. Dalam penjaminan simpanan berlaku procyclical premium. Pada awal pendirian penjamin simpanan atau setelah terjadi pembayaran klaim penjaminan yang besar (setelah krisis), tarif premi menjadi relatif lebih tinggi. Hal tersebut terjadi karena dalam komponen premi dimasukkan proporsi untuk mempercepat pencapaian sasaran cadangan penjaminan.
Pada saat ini dana yang dimiliki oleh LPS sekitar Rp7 triliun yang terdiri dari modal awal sebesar Rp 4 triliun dan cadangan penjaminan sekitar Rp 3 triliun. Jumlah dana tersebut masih jauh dari cadangan penjaminan yang ditargetkan sekitar Rp 32,5 triliun yang merupakan 2,5% dari jumlah simpanan pada industri perbankan saat ini sekitar Rp1.300 triliun. Merupakan suatu hal yang dilematis, di satu sisi ada pihak yang menyangsikan kemampuan menjamin LPS karena dana yang dimiliki masih relatif kecil dibanding jumlah yang dijamin, sementara di lain pihak ada pula yang menghendaki LPS menurunkan tarif premi penjaminan.
Dalam Pasal 13 UU LPS telah diatur mengenai prasyarat perubahan tarif premi, yakni jika dipenuhi satu atau lebih kondisi berikut: (1) terjadi perubahan jumlah simpanan yang dijamin, (2) akumulasi cadangan penjaminan telah melampaui 2,5% dari jumlah simpanan pada industri perbankan, atau (3) terjadi perubahan tingkat risiko kegagalan (eksposure) pada industri perbankan. Menurut penulis pada saat ini belum ada satupun prasyarat yang terpenuhi, sehingga tarif premi tidak ada indikasi akan diubah. Prasyarat yang mungkin dapat dipenuhi dalam waktu yang relatif lebih dekat adalah turunnya tingkat risiko kegagalan pada industri perbankan setelah konsolidasi perbankan dan seluruh pilar API ditegakkan.
Dasar Pengenaan Premi
Dasar pengenaan premi yang lazim digunakan oleh penjamin simpanan terdiri dari 2, yakni berdasarkan jumlah simpanan yang dijamin (insured deposit) atau jumlah simpanan (total deposit). Penerapan jumlah simpanan yang dijamin sebagai dasar pengenaan premi dilatar-belakangi pandangan bahwa jumlah simpanan yang dijamin merupakan eksposure maksimum yang akan menjadi kewajiban penjamin simpanan. Selain itu, bagi bank peserta penjaminan dan masyarakat, perhitungan premi berdasarkan jumlah simpanan yang dijamin lebih mudah dipahami karena adanya korelasi antara dasar pengenaan premi dengan jumlah simpanan yang dijaminkan.
Pandangan tersebut benar jika penjamin simpanan hanya mempunyai fungsi menjamin simpanan. Fungsi penjamin simpanan bervariasi dari hanya sebagai pay box system, risk minimizer system, bahkan ada yang melaksanakan sebagian fungsi pengawasan bank.
Dalam penjaminan LPS, pengenaan premi didasarkan pada jumlah seluruh simpanan. Menurut penulis pilihan tersebut dapat dijelaskan dengan 2 pertimbangan : teoritis dan praktis.
Pertimbangan Teoritis
Selain menjamin simpanan nasabah bank, LPS juga mempunyai fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem keuangan sesuai kewenangannya. Fungsi kedua tersebut diaplikasikan dengan melaksanakan resolusi bank gagal baik untuk bank yang berdampak sistemik maupun bank yang tidak berdampak sistemik.
Untuk bank gagal yang berdampak sistemik, dalam UU LPS secara implisit diakomodasi apa yang disebut too big to fail policy, yakni LPS akan melakukan penanganan (penyehatan) bank gagal tersebut dengan mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama. Desain UU LPS tersebut tidak memberi peluang adanya pencabutan izin usaha bank gagal yang berdampak sistemik. Sehingga meskipun dinyatakan penjaminan maksimal sebesar Rp100 juta, pada dasarnya LPS memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan yang ada pada bank yang berdampak sistemik. Oleh karena itu cukup beralasan kalau pengenaan premi pada bank yang berdampak sistemik tersebut didasarkan pada seluruh simpanan.
Sedangkan resolusi bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan bank gagal tersebut (open bank assistance) atau tidak menyelamatkan bank gagal tersebut. Dalam pilihan resolusi yang pertama, bank gagal tidak sistemik disehatkan oleh LPS dengan penempatan modal sementara.
Dalam pelaksanaan open bank assistance, yang memperoleh manfaat dari upaya penyehatan tersebut bukan hanya nasabah yang simpanannya dijamin (insured depositors) namun meliputi juga seluruh nasabah penyimpan, bahkan para kreditur. Meskipun pilihan resolusi ini baru akan dilakukan apabila terpenuhi persyaratan tertentu, namun adanya implisit guarantee terhadap seluruh simpanan nasabah bank gagal tersebut cukup menjadi alasan untuk memperluas dasar pengenaan premi menjadi pada seluruh simpanan.
Pertimbangan Praktis
Penggunaan seluruh simpanan sebagai dasar pengenaan premi juga didasari pertimbangan relatif lebih mudah dan praktis dalam perhitungannya. Dalam penjaminan LPS, jumlah simpanan yang dijamin diberlakukan per nasabah per bank. Oleh karena itu, dalam menghitung jumlah simpanan yang dijamin untuk satu nasabah, bank harus menjumlahkan seluruh saldo rekening yang dimiliki nasabah tersebut, kemudian baru dapat ditetapkan berapa jumlah yang dijamin untuk nasabah tersebut. Selanjutnya jumlah simpanan yang dijamin untuk masing-masing nasabah dijumlahkan untuk menghitung jumlah simpanan yang dijamin pada bank tersebut.
Kesulitan yang dihadapi dalam proses perhitungan tersebut antara lain belum adanya standarisasi untuk mengidentifikasi nasabah, misalnya nomor identitas tunggal/single identity number yang berlaku secara nasional. Ketiadaan identitas tunggal tersebut akan menimbulkan kesulitan bagi bank untuk mengidentifikasi kepemilikan suatu simpanan. Terlebih lagi apabila penjamin simpanan memberikan perlakuan penjaminan yang berbeda untuk rekening tunggal, rekening gabungan (joint account), dan rekening untuk kepentingan pihak lain. Selain itu, agar dapat melakukan perhitungan jumlah simpanan yang dijamin setiap bulan, bank peserta penjaminan harus memiliki sistem informasi dan database yang memadai.
Kendala lain yang juga krusial dalam penetapan jumlah simpanan yang dijamin adalah apabila penjaminan simpanan meliputi juga simpanan atas unjuk (bearer deposit) seperti sertifikat deposito atau negotiable certificate of deposit (NCD). Dalam hal simpanan atas unjuk termasuk jenis simpanan yang dijamin, pada saat perhitungan jumlah simpanan yang dijamin harus diketahui nasabah yang sedang memiliki sertifikat simpanan tersebut. Pada umumnya bank hanya mencatat pembeli pertama sertifikat dan tidak mencatat setiap transaksi pemindahtanganan sertifikat tersebut. Dengan demikian, bank tidak mempunyai informasi mengenai nasabah pemilik sertifikat simpanan tersebut pada setiap akhir bulan.
Anomali
Dalam penjaminan simpanan terdapat beberapa anomali, yakni tidak semua yang dijamin digunakan sebagai dasar pengenaan premi, sebaliknya tidak semua yang dijadikan dasar pengenaan premi dijamin. Beberapa contoh antara lain :
(1) Penjaminan simpanan meliputi pokok dan bunga, namun bunga yang terutang (accrued interest) tidak diperhitungkan sebagai dasar pengenaan premi. Bunga yang terutang umumnya ditempatkan dalam pos kewajiban segera dibayar;
(2) Transfer masuk untuk kepentingan nasabah yang sudah diterima bank pada tanggal pencabutan izin usaha, meskipun belum dibukukan ke rekening simpanan nasabah yang bersangkutan diperlakukan sebagai simpanan dan dijamin; dan
(3) Simpanan yang memperoleh bunga melebihi suku bunga penjaminan tidak dijamin tetapi tetap diperhitungkan sebagai dasar pengenaan premi;
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago
0 comments:
Post a Comment