02 June 2010

Bail-Out Bank Gagal Tidak Boleh Memakai Dana Publik

Konsep Polluter Pay

Krisis tahun 2008 telah memberi banyak pelajaran berharga. Salah satu poin yang sering menjadi sasaran kritik adalah mengenai penggunaan anggaran negara/uang pembayar pajak untuk mem-bailout bank yang mengalami kegagalan. Setidaknya dalam hal ini ada 2 pertanyaan yang muncul yakni, mengapa bank gagal harus diselamatkan dan mengapa penyelamatan bank harus menggunakan menggunakan anggaran negara. Pertanyaan pertama seringkali dijawab dengan argumen bahwa kegagalan bank tersebut berdampak sistemik pada sistem keuangan secara keseluruhan atau bank gagal tersebut terlalu besar untuk dibiarkan gagal (too big to fail). Sedangkan pertanyaan kedua dijawab dengan argumen bahwa dalam kondisi krisis yang membutuhkan tindakan segera, sulit menemukan alternatif sumber pendanaan selain dari anggaran negara

Berkaca dari pengalaman tersebut, dalam forum G-20 telah disepakati pandangan bahwa tidak ada bank yang terlalu besar atau terlalu rumit untuk menjadi gagal dan bahwa dana publik/anggaran negara seharusnya tidak digunakan untuk membiayai resolusi bank gagal. Pemegang saham dan kreditur bank (kecuali nasabah yang simpanannya dilindungi oleh skim penjaminan) merupakan pihak yang pertama kali harus menanggung biaya kegagalan bank. Dalam konteks ini, digunakan pendekatan yang lazim dalam isu lingkungan yakni “polluter pay”, pihak yang menyebabkan polusi (kerugian) terhadap lingkungan (sektor keuangan) harus ikut bertanggungjawab terhadap biaya untuk mengatasinya.

Sejalan dengan pandangan tersebut, G-20 sepakat melakukan upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan bank mengalami kegagalan dengan cara memperkuat pengawasan makro dan mikro (macro & micro supervision), tata kelola perusahaan yang lebih baik, dan standar pengaturan yang lebih ketat. Dalam hal kegagalan bank tidak terhindarkan, harus diyakinkan bahwa telah tersedia mekanisme resolusi yang handal, termasuk pendanaan yang cukup untuk melakukan resolusi yang terencana dan tepat waktu.

Bank Resolution Fund

Dengan inisiatif awal dari Uni Eropa, untuk pembiayaan resolusi bank gagal setiap negara atau beberapa negara secara bersama-sama membentuk bank resolution fund sebagai bagian dari kerangka kerja pencegahan krisis dan upaya memperkuat sistem keuangan. Bank resolution fund bersumber dari premi (fees/levies) yang dipungut dari bank yang dapat didasarkan pada aset, kewajiban, atau laba bank. Besarnya bank resolution fund yang dipandang cukup memadai jika telah mencapai 2% – 4% GDP masing-masing negara. Dana yang terkumpul tidak digunakan untuk mem-bailout atau menyelamatkan bank gagal, melainkan digunakan untuk membiayai langkah-langkah dalam rangka memastikan bahwa resolusi bank gagal dapat dikelola dengan baik serta meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem perbankan.

Sebagai catatan, sebagian besar penjamin simpanan di Eropa hanya mempunyai fungsi membayar simpanan nasabah yang dijamin (pay-box system), sedangkan wewenang melakukan resolusi bank gagal dimiliki oleh institusi lain. Premi penjaminan yang dibayar bank dikumpulkan dalam deposit guarantee funds yang digunakan untuk membayar penjaminan simpanan nasabah. Beberapa penjamin simpanan dapat melaksanakan sebagian fungsi resolusi bank gagal, namun dana yang digunakan dibatasi sampai sebesar perkiraan jumlah simpanan yang dijamin. Kebutuhan dana untuk melaksanakan resolusi bank di atas jumlah simpanan yang dijamin harus diambilkan dari bank resolution funds.

Bank resolution funds antara lain dimaksudkan untuk : (1). membiayai transaksi bridge bank, yakni pengambil-alihan dan pengoperasian sementara bank gagal sampai ditemukan solusi akhir penyelesaian bank gagal tersebut, (2). membiayai transaksi pengalihan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank (transaksi P&A), (3). membiayai transaksi pemisahan good bank dan bad bank, serta (4). menutup biaya administratif, legal, and konsultan.

Dalam realisasinya, Inggris dan Perancis tidak sependapat dengan pembentukan bank resolution funds tersebut dengan alasan adanya kesulitan dalam mendesain skimnya, misalnya tarif dan dasar pengenaannya, target besarnya, tata kelola dan alasan (trigger) pengeluaran dananya. Selain itu mereka juga khawatir pembentukan dana tersebut justru akan memperbesar moral hazard bagi bank karena bank akan merasa telah membeli “polis asuransi” guna menutup biaya kegagalan banknya. Negara-negara tersebut lebih memilih menggunakan pola lama dimana pajak yang dibayar oleh bank yang dikelola dalam anggaran negara sebagai sumber pendanaan resolusi bank gagal. Sebaliknya Jerman dan Swedia telah membentuk bank stability funds dengan memungut premi/fee dari industri perbankan. Swedia mentargetkan bank stability funds mencapai 2,5% dari GDP yang diproyeksikan akan tercapai dalam kurun waktu 15 tahun.

Baca Lanjutannya...

Model Penjamin Simpanan

Lembaga penjaminan simpanan pertama kali didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1934, yang keberadaannya dipicu terjadinya krisis ekonomi hebat (great depression) yang mengakibatkan banyak terjadi penutupan bank pada tahun sebelumnya. Dalam perkembangannya berdasarkan data asosiasi penjamin simpanan internasional (International Association of Deposit Insurers/IADI) per Juni 2009 terdapat 95 negara yang telah menerapkan sistem penjamin simpanan, 48 negara diantaranya telah menjadi anggota IADI, sedangkan 23 negara sedang mempertimbangkan untuk menerapkan sistem tersebut. Beberapa negara memiliki penjamin simpanan lebih dari satu untuk menjamin simpanan pada beberapa jenis bank yang memiliki kekhususan, misalnya bank komersial, bank tabungan, atau bank koperasi.

Sistem penjamin simpanan yang diterapkan di masing-masing negara bervariasi satu dengan lainnya dalam hal keterbukaan (eksplisitas), mandat, skim penjaminan, dan kelembagaan. Pada dasarnya sistem penjaminan yang telah dipraktekkan di seluruh negara terbagi dalam dua kategori yaitu secara implisit dan eksplisit. Penjaminan simpanan secara implisit dilaksanakan tanpa melalui pendirian suatu lembaga khusus tetapi ditangani oleh lembaga yang sudah ada seperti Bank Sentral, Pengawas Bank, atau Departemen Keuangan. Sedangkan penjaminan simpanan secara eksplisit dilaksanakan oleh lembaga yang khusus dibentuk untuk melaksanakan program penjaminan tersebut.

Mandat penjamin simpanan dapat bervariasi pula, dari hanya berfungsi melakukan pembayaran klaim (pay box system) dalam hal terdapat bank yang ditutup, sampai mengemban mandat untuk meminimal risiko dan biaya kegagalan bank (risk minimizer). Sebagai risk minimizer, penjamin simpanan tidak hanya melakukan pembayaran simpanan yang dijamin tetapi memiliki wewenang yang bervariasi antara lain untuk menyeleksi dan menghentikan (cancelation, termination) kepesertaan bank dalam penjaminan, melakukan pengawasan bank, serta melakukan penyelamatan (resolusi) bank gagal. Perbedaan mandat tersebut berimplikasi terhadap struktur organisasi, tata kelola, dan wewenang yang dimiliki lembaga penjamin.

Pengaturan mengenai skim penjaminan meliputi antara lain sifat kepesertaan wajib atau sukarela, penentuan jenis dan jumlah simpanan yang dijamin, penjaminan per nasabah atau per rekening, besarnya premi dan penerapannya untuk semua bank atau dibedakan berdasarkan risiko (risk-based premium), serta alternatif sumber pendanaan lain dalam hal penjamin simpanan tidak mempunyai cukup dana untuk membayar klaim penjaminan atau melakukan resolusi bank gagal. Dalam hal kelembagaan, penjamin simpanan dapat berbentuk lembaga pemerintah, swasta, atau kombinasi. Di beberapa negara maju yang mempunyai kebijakan membatasi peran pemerintah dalam dunia usaha, pengelolaan lembaga penjaminan dilakukan oleh industri perbankan.

Variasi penerapan sistem penjaminan simpanan tersebut pada prinsipnya terjadi karena adanya penyesuaian dengan kondisi sistem perbankan dan tujuan kebijakan publik pendirian lembaga tersebut di masing-masing negara. Namun demikian, beberapa hal pokok yang perlu dipertimbangkan agar sistem tersebut dapat berfungsi secara efektif, yaitu :

(1) Penjamin simpanan yang terbatas;
Pembatasan penjaminan perlu dilakukan agar di satu sisi nasabah sampai jumlah yang dijamin (nasabah kecil) terlindungi simpanannya, di sisi lain nasabah besar diharapkan akan terdorong ikut mengawasi dan memonitor kondisi bank. Pemberlakuan penjaminan penuh (blanket guarantee) dapat meningkatkan moral hazard bagi para bankir dan nasabah, serta tidak mendorong disiplin pasar.

(2) Keanggotaan penjamin simpanan bersifat wajib;
Apabila kepesertaan bersifat sukarela maka akan timbul kecenderungan hanya bank dengan risiko kegagalan tinggi yang akan menjadi bank peserta penjaminan (adverse selection). Sedangkan bank yang merasa dalam kondisi sehat cenderung tidak mau menjadi peserta penjaminan.

(3) Penjamin simpanan harus dikelola secara baik dan transparan;
Pengelolaan penjaminan simpanan harus baik dan transparan agar industri perbankan dan masyarakat dapat mempercayainya.

(4) Independen dalam membuat keputusan;
Keputusan penjamin simpanan untuk melakukan pembayaran klaim penjaminan atau melakukan penyelamatan bank perlu dilakukan secara independen yang bebas dari tekanan dan pengaruh pihak lain untuk menghindari masuknya kepentingan pihak lain, termasuk Pemerintah.

(5) Penjamin simpanan dirancang sebagai bagian dari sistem jaring pengaman sektor keuangan (financial safety nets)

Fungsi penjaminan simpanan dirancang sebagai salah satu unsur penting dalam mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu perlu dibuat pengaturan mengenai koordinasi, kerjasama, dan tukar informasi yang baik dengan institusi lain seperti pengatur dan pengawas bank, otoritas moneter, dan otoritas fiskal dalam kerangka jaring pengaman sektor keuangan.

Baca Lanjutannya...

Peran LPS Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Perbankan

Pelajaran dari Krisis

Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Krisis pada tahun 1997/1998 telah memberi pelajaran yang berharga bagi kita bahwa kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan itu sangat mahal harganya. Berawal dari penutupan 16 bank umum pada waktu itu telah menimbulkan keraguan dan ketidak-percayaan masyarakat terhadap keamanan menempatkan dananya pada sistem perbankan.

Ketidak-percayaan tersebut kemudian mendorong masyarakat untuk menarik simpanannya secara besar-besaran dari sistem perbankan (bank run/rush). Dana yang ditarik nasabah tersebut sebagian dilarikan ke luar negeri yang menyebabkan capital flight, sebagian dibelikan valuta asing, dan sebagian dibelanjakan untuk keperluan konsumtif yang mengakibatkan tingkat inflasi naik drastis. Hal-hal tersebut yang terutama menyebabkan nilai tukar rupiah anjlog sampai Rp16.000/USD.

Untuk mengatasi dampak buruk penarikan dana tersebut, serta sebagai upaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, Pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank umum dan BPR (blanket guarantee) melalui Keppres Nomor 26 dan Nomor 193 Tahun 1998. Disamping kebijakan blanket guarantee tersebut, dalam rangka memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank, Pemerintah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan yang seluruhnya menelan biaya yang luar biasa besarnya.

Pendirian LPS

Kebijakan blanket guarantee, telah terbukti menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun di sisi lain dapat membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi bankir atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar karena adanya penjaminan simpanan. Dengan pertimbangan perlunya tetap menjaga kepercayaan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif blanket guarantee, Pemerintah menetapkan untuk secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan hanya akan memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas (limited guarantee).

Kebijakan tersebut dituangkan dalam ketentuan Pasal 37B UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana masyarakat tersebut diamanatkan untuk dibentuk suatu lembaga penjamin simpanan. Sebagai implementasinya, pada tanggal 22 September 2004 ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). LPS dirancang sebagai satu unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan (financial safety net) yang merupakan praktek terbaik di banyak negara.

Fungsi dan Peran LPS

Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi penjaminan diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan atas simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk tim likuidasi untuk membereskan aset dan kewajiban bank tersebut. Sedangkan fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelamatan atau penyehatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik (bank resolution).

Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak berdampak sistemik ditetapkan oleh LPS, salah satunya pertimbangannya didasarkan pada perhitungan biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan bank tersebut dengan membayar klaim penjaminan. Sedangkan keputusan untuk menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik ditetapkan dan diserahkan oleh Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner. LPS selanjutnya bertindak sebagai pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak sistemik.

Dalam upaya penyelamatan bank gagal, LPS mempunyai kewenangan antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/mengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal sementara; serta mengalihkan manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama 4 tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal yang berdampak sistemik. Selanjutnya LPS harus menjual seluruh saham bank yang diperoleh dari penyertaan modal sementara secara terbuka dan transparan.

Dalam hal LPS telah membayar klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS mempunyai hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate) bagi LPS sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus dijaga.

Penutup

Keberadaan LPS jelas sangat sejalan dengan API (Arsitektur Perbankan Indonesia) yang bertujuan menciptakan sistem perbankan nasional yang kuat, bertumbuh dan sehat. Fungsi LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank maupun melakukan penyelamatan bank gagal merupakan bagian penting dalam Pilar keenam API yang menekankan pada perlindungan kepada nasabah perbankan. Selain itu, peran LPS dalam mendukung stabilitas sistem perbankan juga dapat berkontribusi mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Baca Lanjutannya...