24 June 2008

Penjaminan Rp100 Juta, Apa Yang Dapat Dilakukan?

Sejak ditetapkannya Undang-Undang LPS Nomor 24 Tahun 2004, Pemerintah dan LPS telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai tahapan pengurangan penjaminan. Sosialisasi tersebut meliputi seminar dan workshop bagi bank, konferensi pers dan pelatihan bagi wartawan, iklan layanan masyarakat di media massa, serta penempelan stiker pada setiap kantor bank.

Seorang pengamat mengatakan sebagian besar nasabah sebenarnya sudah mengetahui bahwa mulai 22 Maret 2007 LPS hanya akan menjamin simpanan sampai dengan Rp 100 juta per nasabah per bank. Namun merupakan tipikal orang Indonesia, nasabah belum akan mengambil tindakan sampai saat terakhir menjelang tanggal tersebut.

Menurut survey Bank Indonesia (2005), reaksi yang akan dilakukan nasabah sebagai respon berlakunya penjaminan terbatas antara lain: akan lebih selektif dan hati-hati dalam memilih bank; hanya akan menabung di bank milik Pemerintah; atau yang terpopuler adalah akan memecah simpanan sampai jumlah yang dijamin pada beberapa bank. Selain pemecahan simpanan, sebenarnya ada upaya lain yang dapat dilakukan nasabah untuk memperbesar jumlah simpanan yang dijamin pada satu bank, yakni membuka rekening untuk kepentingan pihak lain (beneficiary).

Masalah Kepemilikan Rekening

Sesuai dengan ketentuan lebih lanjut dari Pasal 11 ayat (5) UU LPS, pada Pasal 25 Peraturan LPS Nomor 1 Tahun 2006 diatur bahwa dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain yang bersangkutan. Penjaminan terpisah tersebut didasari pandangan bahwa nasabah berada dalam kapasitas yang berbeda atas pemilikan rekening untuk kepentingan pihak lain dengan pemilikan rekening tunggal dan/atau rekening gabungan.

Dalam hal nasabah mempunyai rekening tunggal dan rekening gabungan, saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan adalah rekening tunggal. Apabila saldo rekening tunggal kurang dari Rp 100 juta, untuk menghitung jumlah simpanan yang dijamin, saldo rekening tersebut dijumlahkan dengan saldo rekening gabungan yang dibagi prorata dengan pemilik rekening lainnya. Sedangkan saldo rekening yang dimiliki untuk kepentingan pihak lain dijamin terpisah untuk masing-masing beneficiary yang dibagi prorata. Untuk memudahkan pemahamannya dapat kita ikuti ilustrasi sebagai berikut;

Keluarga Abdi dan Beti mempunyai 5 rekening di Bank XYZ dengan rincian sebagai berikut: (1) rekening tunggal Abdi bersaldo Rp 75 juta, (2) rekening tunggal Beti bersaldo Rp 50 juta, (3) rekening gabungan Abdi dan Beti bersaldo Rp 150 juta, (4) rekening Abdi untuk kepentingan 3 anaknya {Carli, Didi, dan Eli} bersaldo Rp 375 juta, dan (5) rekening Beti untuk kepentingan 2 pembantunya {Siti dan Sri} bersaldo Rp 120 juta. Apabila Bank XYZ dicabut izinnya pada akhir 2007, perhitungan jumlah simpanan yang dijamin adalah sebagai berikut:

Rekening tunggal Abdi sebesar Rp 75 juta dan rekening tunggal Beti sebesar Rp 50 juta dijamin seluruhnya karena saldo kedua rekening kurang dari Rp 100 juta. Sedangkan saldo rekening gabungan Abdi dan Beti sebesar Rp 150 juta dibagi prorata masing-masing sebesar Rp 75 juta. Mengingat jumlah rekening tunggal dan rekening gabungan yang dijamin bagi Abdi maksimal hanya Rp 100 juta, maka bagian Abdi dari saldo rekening gabungan yang dijamin hanya Rp 25 juta, sisanya Rp 50 juta tidak dijamin. Sedangkan untuk Beti bagian dari saldo rekening gabungan yang dijamin hanya Rp 50 juta, sisanya Rp 25 juta tidak dijamin.

Rekening yang dimiliki Abdi untuk kepentingan Carli, Didi, dan Eli sebesar Rp 375 juta dibagi prorata masing-masing Rp 125 juta. Mengingat jumlah yang dijamin untuk masing-masing beneficiary maksimal hanya Rp 100 juta, maka jumlah yang dijamin untuk rekening tersebut hanya sebesar Rp 300 juta. Begitu juga dengan rekening yang dimiliki Beti untuk kepentingan Siti dan Sri sebesar Rp 120 juta dibagi prorata masing-masing Rp 60 juta. Mengingat jumlah yang menjadi hak masing-masing beneficiary kurang dari Rp 100 juta, maka seluruh saldo rekening tersebut dijamin.

Insurable Interest

Penjaminan simpanan berbeda dengan asuransi, namun dalam pembahasan ini penulis akan menggunakan pendekatan salah satu prinsip asuransi. Untuk dapat memperoleh manfaat asuransi, tertanggung/beneficiary harus memilik insurable interest (kepentingan keuangan yang dapat diasuransikan) terhadap obyek yang diasuransikan. Seseorang dikatakan memiliki kepentingan keuangan apabila orang tersebut akan menderita kerugian seandainya terjadi musibah atas obyek yang diasuransikan. Kepentingan keuangan dapat berasal dari hubungan hukum, kontrak, atau undang-undang.

Untuk asuransi properti, kepentingan keuangan harus dimiliki tertanggung/beneficiary pada saat polis asuransi diterbitkan dan pada saat klaim terjadi. Sedangkan untuk asuransi jiwa, kepentingan keuangan harus dimiliki tertanggung/beneficiary pada saat polis asuransi diterbitkan. Saat polis diterbitkan diidentikkan dengan saat pembukaan rekening, sedangkan saat klaim terjadi diidentikkan dengan saat bank dicabut izinnya.

Berkenaan dengan rekening bagi kepentingan pihak lain, apakah beneficiary harus memiliki kepentingan keuangan atas rekening yang dibuka untuknya? Apabila pada ilustrasi diatas, sebelum Bank XYZ dicabut izinnya Carli meninggal dunia, serta Sri telah diberhentikan dan dibayarkan semua gajinya, maka perhitungan jumlah simpanan yang dijamin adalah sebagai berikut:

(1) Apabila digunakan pendekatan asuransi properti, maka Carli dan Sri tidak lagi mempunyai kepentingan keuangan atas rekening-rekening yang dibuka untuk mereka. Sehingga, untuk rekening nomor 4 jumlah simpanan yang dijamin menjadi Rp 200 juta, sedangkan untuk rekening nomor 5 menjadi Rp 60 juta. Pendekatan ini mengharuskan LPS memastikan setiap beneficiary mempunyai kepentingan keuangan pada saat bank dicabut izinnya.

(2) Sedangkan dengan pendekatan asuransi jiwa, mengingat rekening-rekening tersebut pada saat dibuka dinyatakan untuk kepentingan Carli dan Sri, mereka masih menjadi beneficiary yang berhak mendapat penjaminan terpisah. Perhitungan jumlah simpanan yang dijamin akan sama dengan ilustrasi tersebut. Pendekatan ini tidak mengharuskan LPS memastikan setiap beneficiary mempunyai kepentingan keuangan pada saat bank dicabut izinnya.

Pendekatan asuransi properti menurut penulis lebih tepat digunakan untuk menetapkan apakah setiap beneficiary berhak mendapat penjaminan yang terpisah. Untuk memastikan setiap beneficiary mempunyai kepentingan keuangan pada saat bank dicabut izinnya, pemilik rekening diwajibkan menyampaikan kepada bank setiap kali terjadi perubahan status dan komposisi kepentingan setiap beneficiary.

Broker Deposito

Merujuk pengalaman beberapa negara, pemberlakuan penjaminan simpanan dapat mendorong maraknya profesi baru yakni broker deposito. Profesi ini menawarkan jasa perantara kepada nasabah untuk menempatkan simpanannya di bank. Broker deposito juga dapat membantu menempatkan simpanan nasabah agar seluruhnya dijamin. Berikut salah satu contohnya.

Seorang broker deposito menawarkan jasa kepada 10 orang yang masing-masing mempunyai Rp 1.000 juta untuk menempatkan dananya pada bank dengan janji seluruh simpanannya dijamin oleh LPS dan tetap mendapat prime rate. Caranya, broker deposito membuka rekening deposito pada 10 bank (Bank A s/d Bank J) masing-masing sebesar Rp 1.000 juta dan setiap rekening dinyatakan secara tertulis untuk kepentingan 10 orang tersebut. Bank F dicabut izinnya pada Maret 2009.

Rekening deposito tersebut di satu sisi memenuhi syarat mendapat penjaminan terpisah untuk masing-masing beneficiary, karena pada saat dibuka dinyatakan untuk kepentingan 10 orang tersebut. Para beneficiary juga mempunyai kepentingan keuangan atas rekening tersebut baik pada saat pembukaan rekening maupun pada saat bank dicabut izinnya. Namun di sisi lain, penjaminan terpisah tersebut dipandang tidak sejalan dengan tujuan kebijakan publik (public policy objective) pendirian LPS. Sebagaimana umumnya penjamin simpanan, melindungi simpanan nasabah kecil (small unsophisticated depositors) merupakan salah satu tujuan kebijakan publik LPS.

Dengan adanya dilema tersebut, pengaturan penjaminan melalui broker deposito tersebut perlu dikaji dan dipertimbangkan dengan seksama karena akan berpengaruh terhadap perilaku menyimpan masyarakat, serta pelaksanaan fungsi penjaminan LPS. Apabila rekening tersebut ditetapkan dijamin terpisah untuk masing-masing beneficiary, maka perlu dilengkapi aturan yang ketat dan rigid untuk mencegah penyalah-gunaan.

Beberapa Catatan

Kepentingan keuangan beneficiary atas suatu rekening dapat berubah, hilang, atau bahkan direkayasa. Pernyataan tertulis nasabah pada saat pembukaan rekening saja tidak cukup, untuk itu perlu ditambah ketentuan antara lain:

(1) nasabah wajib melampirkan bukti pendukung yang menunjukkan kepentingan keuangan beneficiary pada saat pembukaan rekening, misalnya menyerahkan copi dan menunjukkan asli kartu keluarga, buku nikah, surat keterangan RT/RW, perjanjian/kontrak, atau bukti lain yang relevan; dan

(2) nasabah wajib secara periodik melaporkan kepada bank perubahan status beneficiary serta perubahan komposisi jumlah atau prosentase kepentingan setiap beneficiary apabila terdapat lebih dari 1 beneficiary;

Nasabah yang tidak memenuhi ketentuan tersebut, dinyatakan tidak layak mendapat penjaminan terpisah untuk masing-masing beneficiary. Untuk mendukung pelaksanaan ketentuan tersebut, perlu dilakukan penyuluhan intensif kepada perbankan dan masyarakat terutama mengenai manfaat dan keterbatasan dari pemilikan rekening untuk kepentingan pihak lain tersebut.

Penutup

Mulai 22 Maret 2007, LPS hanya akan menjamin simpanan sampai dengan Rp 100 juta per nasabah per bank. Nasabah dapat memperbesar jumlah simpanan yang dijamin pada satu bank dengan cara membuka rekening untuk kepentingan pihak lain (beneficiary). Rekening tersebut dijamin terpisah sampai dengan Rp 100 juta untuk masing-masing beneficiary dengan syarat beneficiary memiliki kepentingan keuangan pada saat pembukaan rekening dan saat bank dicabut izinnya. Mengingat ketentuan tersebut dapat disalah-gunakan, maka harus diatur secara ketat dan rigid, serta disosialisasikan secara intensif kepada perbankan dan masyarakat.

Baca Lanjutannya...

Penjaminan Simpanan di Bank Syariah

Berdasarkan ketentuan Pasal 96 dan penjelasan Pasal 4 UU LPS, serta ditegaskan kembali dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005, fungsi penjaminan simpanan LPS meliputi pula penjaminan simpanan di bank syariah (BS). Penjaminan LPS tersebut mencakup simpanan di bank umum syariah (BUS), unit usaha syariah (UUS), dan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS).

Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa pokok bahasan yang berkenaan dengan pelaksanaan penjaminan simpanan LPS di BS, yaitu bentuk simpanan yang dijamin, jumlah simpanan yang dijamin, dan maksimum tingkat bunga penjaminan.
Bentuk Simpanan Yang Dijamin

Sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 39/2005 dan Pasal 23 Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006, simpanan di BS yang dijamin oleh LPS terdiri dari:
a. giro berdasarkan prinsip wadiah (untuk BUS dan UUS);
b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah;
c. tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank;
d. deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau
e. simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan LPP (Bank Indonesia).

Dalam menetapkan bentuk simpanan yang dijamin, LPS mengacu pada bentuk simpanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, meskipun giro berdasarkan prinsip mudharabah termasuk jenis simpanan yang sesuai dengan prinsip syariah menurut fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), namun bentuk simpanan tersebut tidak termasuk yang dijamin LPS karena Bank Indonesia tidak menetapkannya sebagai jenis simpanan yang dapat dipasarkan oleh BS.

Tabungan dan deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah dijamin oleh LPS. Sedangkan tabungan dan deposito berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah tidak semua dijamin oleh LPS. Dalam akad mudharabah muqayyadah, pemilik dana/nasabah memberikan arahan atau batasan tertentu atas pengelolaan dananya, misalnya mengenai jangka waktu, jenis usaha, tempat usaha, dan/atau jenis pelayanan.

Ditinjau dari pihak yang menanggung risiko, akad mudharabah muqayyadah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yakni: risiko ditanggung oleh BS yang pengadministrasiannya dilakukan secara on balance sheet, atau risiko ditanggung oleh pemilik dana/nasabah yang pengadministrasiannya dilakukan secara off balance sheet (chanelling). LPS hanya menjamin tabungan dan deposito berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh BS.

Jumlah Simpanan Yang Dijamin

Sejak 22 September 2006, penjaminan LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 1 milyar per nasabah per bank. Nilai simpanan yang dijamin tersebut akan dikurangi menjadi paling banyak Rp100 juta sejak 22 Maret 2007.

Sesuai ketentuan Pasal 24 Peraturan LPS tersebut, nilai simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai dengan tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS, atau bank umum konvensional yang menjadi induk UUS.

Khusus untuk simpanan pada UUS, LPS hanya akan membayar klaim penjaminan apabila izin usaha bank umum konvensional yang menjadi induk UUS tersebut dicabut oleh LPP/Bank Indonesia. Sedangkan jika izin UUS yang dicabut oleh LPP/Bank Indonesia, baik atas permintaan pemegang saham maupun karena pengenaan sanksi dari LPP/Bank Indonesia, maka kewajiban UUS kepada nasabah penyimpan menjadi tanggung jawab bank umum konvensional yang menjadi induk UUS tersebut.

Penetapan bagi hasil dapat didasarkan pada pendapatan (revenue sharing) atau laba/rugi (profit/loss sharing). Mengacu pada fatwa DSN mengenai giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan akad mudharabah, BS sebagai mudharib menutup biaya operasional pengelolaan simpanan tersebut dengan menggunakan nisbah yang menjadi haknya. Dengan demikian, bagi hasil yang diterapkan pada perbankan syariah di Indonesia adalah bagi pendapatan (revenue sharing). Dengan diterapkannya bagi pendapatan, BS tidak akan membagi kerugian yang timbul dari pengelolaan/penempatan simpanan kepada nasabah, atau dengan kata lain BS menjamin pokok simpanan nasabah tidak akan berkurang.

Untuk deposito berdasarkan prinsip mudharabah yang mempunyai jangka waktu lebih dari 1 bulan, umumnya BS melakukan perhitungan bagi hasil secara bulanan. Bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah pada bulan tertentu oleh BS ditempatkan dalam rekening tabungan/giro nasabah yang bersangkutan, ditempatkan dalam kewajiban yang harus segera dibayar, atau dibayarkan secara tunai kepada nasabah.

Apabila BS dicabut izin usahanya di tengah periode perhitungan bagi hasil, besarnya bagi hasil untuk jangka waktu antara tanggal perhitungan bagi hasil bulanan yang terakhir dengan tanggal pencabutan izin usaha bank tersebut akan dihitung secara proporsional. Dengan perhitungan tersebut, pada prinsipnya tidak ada perbedaan perhitungan jumlah simpanan yang dijamin di BS dan di bank konvensional (BK).

Maksimum Tingkat Bunga Penjaminan

Penetapan maksimum tingkat bunga penjaminan oleh LPS mempunyai beberapa alasan utama, yakni:
a. membatasi eksposure yang menjadi beban LPS;
b. mencegah moral hazard pengelola bank untuk menggunakan bunga yang tinggi sebagai insentif pengerahan dana masyarakat; dan
c. sebagai pelaksanaan fungsi LPS untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf b UU LPS, klaim penjaminan nasabah penyimpan dinyatakan tidak layak dibayar apabila nasabah tersebut merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar.

Sesuai ketentuan Pasal 38 Peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006, nasabah penyimpan dinyatakan sebagai pihak yang diuntungkan secara tidak wajar apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Ketentuan maksimum tingkat bunga penjaminan tersebut hanya diberlakukan untuk simpanan yang mempunyai komponen bunga, dan tidak diberlakukan untuk simpanan di BS yang tidak mempunyai komponen bunga.

LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang wajar diterima nasabah penyimpan di BS, mengingat besarnya bagi hasil bersifat fluktuatif dan tidak diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di BS apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return/ER) melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan, simpanan di BS tersebut tetap dijamin oleh LPS.

Penutup

LPS menetapkan bentuk simpanan yang dijamin berdasarkan pada bentuk simpanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dapat dipasarkan oleh BS. Nilai simpanan yang dijamin mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS, atau bank umum konvensional yang menjadi induk UUS. Saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai dengan tanggal pencabutan izin usaha.

Ketentuan maksimum tingkat bunga penjaminan hanya diberlakukan untuk simpanan yang mempunyai komponen bunga, dan tidak diberlakukan untuk simpanan di BS yang tidak mempunyai komponen bunga. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di BS apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return/ER) melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan, simpanan di BS tersebut tetap dijamin oleh LPS.

Baca Lanjutannya...

23 June 2008

Penjaminan Simpanan bukan Asuransi Deposito

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa penjaminan simpanan (dalam bahasa Inggris sering disebut deposit insurance) merupakan salah satu cabang dari asuransi komersial (property & liability insurance). Sehingga masih banyak orang berpandangan bahwa penjaminan simpanan dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi komersial. Penjaminan simpanan mempunyai beberapa prinsip yang berbeda dengan prinsip asuransi komersial, terutama untuk hal-hal sebagai berikut:

Risiko

Risiko yang dijamin dalam asuransi komersial harus bersifat independen, yaitu besarnya risiko yang dihadapi oleh satu tertanggung tidak dipengaruhi oleh besarnya risiko tertanggung yang lain. Selain itu, risiko tersebut harus merupakan peristiwa insidental (accidental events) dan di luar kontrol tertanggung.

Dalam penjaminan simpanan, risiko yang dipertanggungkan adalah risiko kegagalan bank dalam memenuhi kewajibannya apabila bank tersebut dicabut izin usahanya. Risiko kegagalan bank tidak bersifat independen karena kegagalan satu bank dapat disebabkan oleh efek berantai (contagious effect) dari kegagalan bank lain. Di samping itu, risiko kegagalan bank seringkali terjadi akibat kesalahan dan kelalaian manajemen bank sendiri dan proses menuju kegagalan tersebut biasanya berlangsung dalam waktu yang lama.

Selain itu, penutupan suatu bank dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan peraturan (regulatory risks) dan/atau lemahnya pengawasan terhadap bank tersebut (supervisory risks). Kedua jenis risiko tersebut tidak dapat diasuransikan.

Hukum Bilangan Besar

Dalam asuransi komersial, suatu pertanggungan dinilai layak dilakukan apabila terdapat cukup banyak jumlah tertanggung yang mempunyai risiko sejenis. Dalam penjaminan simpanan tertanggung adalah bank, sedangkan nasabah penyimpan merupakan penerima manfaat (beneficiary).

Dalam penjaminan simpanan pertimbangan pokoknya adalah perlindungan terhadap nasabah dan stabilitas sistem perbankan. Oleh karena itu, penjaminan simpanan tetap dapat dilakukan walaupun prasyarat jumlah tertanggung yang mempunyai risiko sejenis (law of large numbers) tidak terpenuhi. Banyak negara yang mempunyai lembaga penjamin simpanan meskipun dalam negara tersebut terdapat kurang dari 50 bank.

Indemnitas

Salah satu prinsip asuransi adalah indemnity, yakni perusahaan asuransi mengembalikan posisi keuangan tertanggung seperti sesaat sebelum kerugian terjadi.

Penjamin simpanan tidak memberikan indemnitas kepada bank dengan mengembalikan bank pada kondisi keuangan sesaat sebelum bank dicabut izin usahanya, melainkan penjamin simpanan hanya membayar simpanan nasabah bank sampai jumlah tertentu.

Reasuransi

Perusahaan asuransi komersial akan mencari dukungan reasuransi sebagai sarana untuk mengalihkan sebagian risiko yang dihadapinya. Mengingat kerugian yang timbul dari kegagalan bank dapat menjadi sangat besar (systemic failure), dalam sistem penjaminan simpanan umumnya Pemerintah akan bertindak sebagai guarantor of last resort.

Di Amerika Serikat, FDIC dan industri reasuransi telah mengkaji pengalihan sebagian risiko penjaminan tersebut. Namun kalangan industri reasuransi menghendaki beberapa persyaratan antara lain: bank yang berpotensi sistemik dikecualikan, premi yang tinggi, adanya deductible yakni FDIC menanggung sendiri klaim penjaminan sampai jumlah tertentu, klaim di atas jumlah tersebut baru dibayar perusahaan reasuransi.

Sarana pengalihan risiko lain yang sedang dikaji adalah penerbitan Catastrophic Bond (CAT BOND), yakni obligasi yang imbal hasilnya dikaitkan dengan besarnya klaim penjaminan yang harus dibayar oleh FDIC. Semakin besar klaim penjaminan, semakin kecil imbal hasil yang diperoleh investor. Bahkan apabila terjadi kegagalan sistemik (sytemic failure) investor dapat kehilangan pokok investasinya. Namun apabila klaim penjaminan yang terjadi lebih rendah daripada yang diperkirakan, investor akan mendapat imbal hasil yang lebih tinggi daripada obligasi biasa.

Dalam FDIC Improvement Act, FDIC hanya diperbolehkan mengalihkan maksimal sebesar 10% dari seluruh eksposure yang dimiliki kepada pasar. Pembatasan tersebut didasari pertimbangan bahwa pengalihan risiko tersebut akan menimbulkan moral hazard bagi FDIC karena selain menjadi penjamin simpanan FDIC juga merupakan pengawas bank.

Penutup

Istilah deposit insurance telah digunakan oleh penjamin simpanan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat sebelum terbentuknya FDIC pada tahun 1934. Namun The Basel Committee on Banking Supervision lebih memilih penggunaan istilah deposit protection daripada deposit insurance.

Beberapa negara yang menggunakan istilah deposit insurance antara lain: Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Taiwan, Korea, dan Filipina. Sedangkan beberapa negara yang menggunakan istilah selain deposit insurance antara lain: Deposit Guarantee Fund (Austria, Denmark, Norwegia, Yunani, Portugal, Rumania, Spanyol), Deposit Protection Fund (Inggris, Bahrain, Kenya, Mexico), Fundo Garantidor de Creditors (Brasil), atau Fonds de Garantie des Depots (Perancis).

Baca Lanjutannya...

19 June 2008

LPS dan Upaya Meningkatkan Disiplin Pasar

Peran industri perbankan dalam perekonomian suatu negara seringkali diibaratkan sebagai peran jantung dalam sistem tubuh manusia. Mengerahkan dana masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya dalam bentuk kredit dalam rangka menggerakkan perekonomian. Agar dapat berfungsi efektif, jantung perekonomian tersebut perlu dijaga agar selalu dalam kondisi sehat, stabil, serta bertumbuh. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan beberapa prasyarat antara lain kepercayaan masyarakat yang terjaga dan penyelewengan (moral hazard) yang tercegah.

Mencegah Moral Hazard

Pencegahan moral hazard dalam industri perbankan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) upaya yang saling mendukung, yakni; manajemen risiko dan tata kelola yang baik (good corporate governance); disiplin pengaturan (regulatory discipline); dan disiplin pasar (market discipline). Adanya penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dapat membantu bank memastikan arah dan strateginya telah sesuai dan konsisten dengan yang direncanakan. Hal tersebut dapat mencegah pengelola bank melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko yang telah digariskan.

Dalam menghadapi persaingan atau mengejar laba, pengelola bank dapat tergoda untuk mengabaikan manajemen risiko dengan memangkas sumber daya pengawasan internal atau meniadakan prosedur tertentu dalam pengendalian risiko. Oleh sebab itu adanya disiplin pengaturan merupakan upaya untuk mengurangi insentif bank mengambil risiko yang lebih besar dengan menggunakan kewenangan publik. Adapun pihak-pihak yang dapat melakukan disiplin pengaturan antara lain pengawas bank, bank sentral, pengawas transaksi keuangan, pengawas pasar modal, dan penjamin simpanan.

Dengan menggunakan kewenangan publik, disiplin pengaturan dianggap merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah moral hazard. Namun mengingat tindakan disiplin pengaturan umumnya tidak dipublikasikan, masyarakat sulit mengetahui pelanggaran dan sanksi yang dikenakan pada bank. Sedangkan disiplin pasar merupakan tindakan yang dilakukan oleh nasabah penyimpan dan kreditur, serta investor dalam hal bank telah go publik, untuk “mendisiplinkan” bank yang dipersepsikan telah mengambil risiko terlalu besar. Tindakan tersebut diwujudkan antara lain dengan memindahkan dananya ke bank lain atau menjual kembali surat utang/obligasi/saham bank tersebut.

Harus disadari sepenuhnya bahwa persepsi pasar tidak selalu akurat karena sangat tergantung pada ketersediaan dan kelengkapan data bank yang dipublikasikan, serta kemampuan nasabah, kreditur, serta investor dalam menilai kondisi dan kinerja bank. Atas dasar adanya kendala tersebut, maka tidak semua pihak dapat diharapkan melakukan disiplin pasar.

Meningkatkan Disiplin Pasar

Dalam perspektif penjaminan simpanan, terdapat beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan disiplin pasar, antara lain; pembatasan jumlah yang dijamin; pembatasan jenis yang dijamin; pembatasan pihak yang dijamin; dan pengaturan prioritas pembagian hasil likuidasi bank.

Adanya pembatasan simpanan yang dijamin menyebabkan nasabah yang simpanannya melebihi jumlah yang dijamin akan menghadapi risiko apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup. Oleh karena itu, nasabah tersebut akan terdorong untuk selalu memonitor kondisi dan kinerja bank.

Dilain pihak penjamin simpanan juga dapat mengecualikan penjaminan atas suatu jenis simpanan tertentu apabila simpanan tersebut mempunyai investment feature atau dianggap sebagai investment tool, dan hanya dimiliki nasabah tertentu. Contoh jenis simpanan yang tidak dijamin antara lain; negotiable sertificate of deposit (Jepang, Malaysia), structured deposit (Singapura), dan simpanan dalam valuta asing (Jepang, Malaysia, Singapura, Canada).

Peningkatan disiplin pasar dapat pula dilakukan dengan mengecualikan penjaminan terhadap simpanan milik pihak yang mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis kondisi dan kinerja bank, seperti : bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, atau perusahaan sekuritas.

Dalam prioritas pembagian hasil likuidasi bank, pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada urutan yang lebih belakang. Nasabah penyimpan pada umumnya mempunyai urutan sebelum kreditur lainnya. Sedangkan nasabah penyimpan yang dijamin dapat diberi urutan yang berbeda dengan nasabah yang tidak dijamin. Posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya digantikan oleh penjamin simpanan (hak subrogasi).

Kebijakan yang diambil oleh penjamin simpanan umumnya dipengaruhi oleh kondisi dan sistem perbankan di masing-masing negara, serta tujuan kebijakan publik yang ingin dicapai. Dari beberapa pilihan tersebut, dalam UU LPS hanya diterapkan 2, yakni; (1) pembatasan jumlah simpanan yang dijamin maksimal Rp 100 juta per nasabah per bank, dan (2) dalam pembagian hasil likuidasi bank, pembayaran kembali klaim penjaminan yang telah dibayar LPS mempunyai hak mendahulu terhadap pembayaran simpanan yang tidak dijamin.

Manfaat Penjaminan Simpanan

Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar adalah nasabah besar dan kreditur. Nasabah kecil memang tidak diharapkan melakukan disiplin pasar. Ketiadaan akses informasi dan kemampuan menilai kondisi dan kinerja bank menyebabkan nasabah kecil menjadi sensitif terhadap rumors mengenai keadaan suatu bank yang mudah menyulut kepanikan dan bank runs. Dalam sistem penjaminan simpanan, risiko yang dihadapi nasabah kecil dialihkan kepada LPS sehinga bank runs diharapkan dapat dicegah.

Manfaat penjaminan simpanan bagi nasabah besar lebih terletak pada terciptanya sistem perbankan yang lebih stabil dan kompetitif. Selain itu, nasabah besar dapat memperoleh manfaat dalam pelaksanaan fungsi LPS untuk memelihara stabilitas sistem perbankan melalui pelaksanaan resolusi bank gagal. Dalam UU LPS terdapat 4 pilihan metode resolusi bank, yakni; (1) penanganan bank gagal sistemik dengan melibatkan pemegang saham; (2) penanganan bank gagal sistemik tanpa melibatkan pemegang saham; (3) penyelamatan bank gagal tidak sistemik; serta (4) tidak menyelamatkan bank gagal tidak sistemik.

Dalam metode resolusi (1), (2), dan (3), LPS melakukan penyehatan bank gagal dengan mempertahankan keberlangsungan operasional bank dan melakukan penyertaan modal sementara. Dalam ketiga metode resolusi tersebut, semua nasabah penyimpan baik yang besar maupun yang kecil, termasuk kreditur bank akan mendapat manfaat dari upaya penyehatan bank yang dilakukan LPS.

Sedangkan dalam metode resolusi (4), LPS menetapkan tidak menyelamatkan bank gagal tidak sistemik, serta merekomendasikan pencabutan izin usaha bank tersebut. Setelah melakukan verifikasi dan rekonsiliasi, LPS akan membayar klaim penjaminan atas simpanan yang layak bayar. Simpanan yang tidak layak bayar, simpanan yang tidak dijamin, dan klaim kreditur lainnya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem penjamin simpanan dapat didisain untuk berperan dalam upaya meningkatkan disiplin pasar yang merupakan salah satu unsur dalam pencegahan moral hazard yang merupakan prasyarat dalam menciptakan industri perbankan yang lebih sehat, kuat, stabil, serta bertumbuh.

Baca Lanjutannya...

Merger Bank, Kendala dan Solusinya

Kenapa Harus Merger?

Melalui Arsitektur Perbankan Indonesia, industri perbankan dirancang menjadi lebih kuat dalam menghadapi gangguan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar, sehingga kejadian seperti krisis tahun 1998 dapat dihindari atau paling tidak diantisipasi dengan baik.

Pada saat ini kemampuan permodalan perbankan Indonesia dianggap masih belum begitu kuat. Dengan kapasitas yang terbatas tersebut akan sulit bagi perbankan kita untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola usaha dan risiko untuk mendukung pertumbuhan kredit yang diharapkan.

Keterbatasan permodalan tersebut juga mengakibatkan bank kita kurang dapat berkiprah di tingkat internasional, bahkan untuk kawasan regional pun kita masih tertinggal dengan bank dari Malaysia dan Singapura.

Dalam rangka memperkuat struktur permodalan, Bank Indonesia menetapkan modal inti minimal bank umum pada akhir tahun 2007 sebesar Rp 80 miliar, dan pada akhir tahun 2010 minimal sebesar Rp 100 miliar. Pada akhir tahun 2006 masih terdapat sekitar 41 bank umum yang mempunyai modal inti kurang dari Rp 100 milyar, 26 di antaranya bermodal inti kurang dari Rp 80 milyar.

Sebagai upaya memenuhi ketentuan modal inti minimum tersebut, bank dapat menempuh berbagai upaya antara lain: penambahan modal; merger; penerbitan saham; dan/atau penerbitan subordinated loan. Pada kondisi saat ini merger nampaknya merupakan pilihan yang dianggap relatif lebih feasible.

Untuk mendorong merger, Bank Indonesia memberi berbagai insentif, sebaliknya bagi pengurus dan pemilik bank yang layak merger namun tidak bersedia melakukannya akan dikenakan sanksi.

Strategic vs Mandatory Merger

Menurut textbook merger merupakan strategi untuk menghasilkan sinergi di antara peserta merger dalam rangka menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan yang bertumpu pada peningkatan kinerja.

Pada tataran praktis, tujuan merger bank adalah untuk memperkuat struktur permodalan; memperbesar kapasitas penyerapan risiko; meningkatkan daya saing; serta memperluas basis nasabah.

Apabila merger dilakukan sebagai strategi bisnis, peserta merger memiliki kecocokan chemistry, serta adanya waktu yang cukup untuk uji tuntas, sinergi dan tujuan merger tersebut di atas relatif lebih mudah tercapai.

Sebaliknya apabila merger dilakukan antara bank yang mempunyai masalah dan didorong sekadar memenuhi ketentuan (mandatory merger), maka merger tersebut dapat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Mengapa Merger Kurang Diminati?

Pada saat ini terdapat lebih banyak bank yang sedang dalam proses akuisisi daripada dalam proses merger. Salah satu alasan yang menjadi kambing hitam kurang berminatnya bank melakukan merger adalah faktor pajak.

Sejatinya ada faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya, yakni belum adanya contoh sukses bank hasil merger di Indonesia. Merger antara empat bank milik Pemerintah menjadi Bank Mandiri, penggabungan beberapa bank rekap ke dalam Bank Danamon, dan bergabungnya lima bank menjadi Bank Permata memang mampu menghasilkan bank pascamerger yang berkinerja bagus.

Namun perlu dicatat bahwa semua merger tersebut dapat berlangsung dengan baik karena didukung oleh dua hal; (1) pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas pada hampir semua bank peserta merger, dan (2) pemerintah masih memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) pada saat terjadinya merger.

Para pemilik bank tentu juga telah memperhitungkan bahwa merger dapat pula tidak menghasilkan sinergi atau nilai tambah apapun. Dalam kondisi sinergi tidak tercipta, energi para peserta merger justru akan terkuras untuk menyelesaikan komplikasi permasalahan internal.

Apabila bank hasil merger kondisinya semakin memburuk dan tidak dapat memenuhi tingkat kesehatan minimum yang dipersyaratkan, bank tersebut juga akan berpotensi untuk dicabut izin usahanya dan menjadi “pasien” LPS.

Akuisisi dianggap lebih menarik karena prosesnya relatif lebih mudah, selain itu ada indikasi sebagian pemilik bank kecil berniat hengkang dari bisnis perbankan. Hal tersebut disebabkan oleh makin kompetitifnya persaingan bisnis antar bank serta makin ketatnya pengaturan (reregulasi) terhadap bank, pengurus, maupun pemiliknya.

Bagaimana Agar Merger Berhasil?

Kendala operasional yang acapkali dihadapi dalam proses merger antara lain: perbedaan budaya kerja; penetapan visi dan misi pascamerger; pengurangan duplikasi dan redudansi; pelaksanaan sosialisasi dan internalisasi, penetapan platform teknologi informasi, serta rasionalisasi pekerja.

Agar berhasil perencanaan merger harus dibuat dengan berbagai skenario untuk mengantisipasi kondisi terburuk yang mungkin timbul. Permasalahan yang dihadapi masing-masing bank sedapat mungkin diselesaikan sebelum proses merger.

Dengan tenggat waktu yang relatif sempit, bank yang berniat merger ada baiknya mencari pasangan yang memiliki sebanyak mungkin persamaan terutama dalam budaya kerja, falsafah perusahaan, dan fokus bisnis. Sedangkan visi dan misi bank dapat dirumuskan dengan melanjutkan visi dan misi salah satu bank atau merupakan gabungan.

PHK sebagai dampak merger pada umumnya tidak dapat dihindari. Untuk mengurangi munculnya dampak sosial bahkan politik dari PHK tersebut, perlu disiapkan formula golden-shakehand yang atraktif bagi mereka yang terpaksa harus diputus hubungan kerjanya dengan tetap memperhatikan kemampuan bank.

Sosialisasi dan internalisasi kepada para pekerja perlu dilakukan agar proses merger dapat dipahami, didukung, dan dilaksanakan. Kegagalan dalam melakukan komunikasi internal, akan menyebabkan pekerja bukan hanya tidak mendukung bahkan akan menghambat proses merger. Pengelolaan sumber daya manusia sering dianggap sebagai salah satu faktor kunci kesuksesan merger.

Program komunikasi juga perlu dilakukan kepada segenap nasabah, relasi, dan mitra usaha terutama mengenai dampak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan proses merger. Ketidakpastian visi dan masa depan bank pascamerger dapat mengakibatkan nasabah, relasi, dan mitra usaha beralih ke bank lain.

Pada akhirnya bank yang berencana merger harus siap untuk mengorbankan kepentingan jangka pendek demi mendapatkan hasil dalam jangka panjang (short term pain for long term gain). Agar mendapatkan hasil maksimal ada baiknya bank mencoba mempraktekkan tesisnya Profesor Yohanes Surya PhD, yakni Mestakung (seMesta menduKung).

Berdasarkan tesis tersebut untuk mencapai sukses seseorang harus menempatkan dirinya dalam kondisi kritis dengan menetapkan sasaran setinggi mungkin dan bertindak sedini mungkin. Dalam kondisi tersebut alam semesta akan mendukung sehingga akan menghasilkan ide dan gagasan, serta dapat melakukan hal luar biasa yang tidak mungkin terjadi dalam kondisi normal.

Baca Lanjutannya...

LPS dan Penjaminan Simpanan Nasabah Bank

Dalam pembahasan RUU LPS pada tahun 2004 ada seorang anggota DPR yang mengajukan pertanyaan apakah Pemerintah mempunyai kewajiban asasi untuk menjamin simpanan nasabah bank. Bukankah pada dasarnya hubungan bank dengan nasabah penyimpan merupakan perikatan perdata yang tidak memerlukan keterlibatan dan campur tangan Pemerintah. Lantas apa dasar pemikiran pendirian LPS dan bagaimana skim penjaminan LPS.

Blanket Guarantee

Krisis pada tahun 1997/1998 menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menurun tajam. Kebijakan Pemerintah memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) merupakan satu upaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat dan mendukung stabilitas sistem perbankan.Kebijakan blanket guarantee terbukti meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan, namun di sisi lain kebijakan tersebut telah menimbulkan distorsi baru yakni membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard.

Beban negara timbul karena penetapan tingkat premi dalam blanket guarantee tidak memperhitungkan besarnya risiko (expected loss) yang harus ditanggung oleh Pemerintah sebagai penjamin. Sebagai akibatnya jumlah premi yang diterima oleh Pemerintah tidak sebanding dengan jumlah klaim penjaminan yang harus dibayar.Bagi bankir, adanya blanket guarantee menimbulkan moral hazard karena mereka mendapat insentif untuk mengambil risiko yang lebih besar.

Sebaliknya nasabah penyimpan tidak terdorong untuk memonitor kondisi keuangan bank, sehingga tidak menumbuhkan disiplin pasar.Dengan pertimbangan dampak negatif tersebut serta memperhatikan membaiknya kondisi perbankan, kebijakan blanket guarantee diputuskan untuk diakhiri. Namun Pemerintah menilai bahwa penjaminan simpanan masih tetap diperlukan tetapi dengan upaya maksimal untuk meminimalkan dampak negatif pemberian jaminan tersebut.

Berdasarkan praktek terbaik yang diterapkan di banyak negara, ada 3 prinsip pokok dalam penerapan sistem penjaminan simpanan, yakni: diberikan terhadap simpanan sampai jumlah terbatas; didesain sesuai kondisi masing-masing negara; dan merupakan bagian dari sistem jaring pengaman sektor keuangan (financial safety net system).

Perlindungan Nasabah Kecil

Pada transaksi penyimpanan dana, pihak bank mengetahui lebih banyak atau lebih baik mengenai kondisi keuangan termasuk risiko-risiko yang dihadapi bank daripada nasabah penyimpan. Untuk menyeimbangkan adanya asymmetric information tersebut, harus ada mekanisme yang mewajibkan bank mengungkapkan (disclose) semua fakta material mengenai kondisi keuangannya.

Meskipun bank telah mengungkapkan fakta material mengenai kondisi keuangannya namun nasabah kecil tetap akan menghadapi risiko karena mereka tidak mempunyai akses atau kemampuan untuk memahami informasi yang diungkapkan. Ketiadaan akses informasi atau ketidakmampuan menilai kondisi keuangan bank menyebabkan mereka seringkali bereaksi berlebihan terhadap rumors mengenai keadaan suatu bank yang dapat memicu timbulnya bank runs.Dalam sistem penjaminan simpanan, risiko yang dihadapi nasabah kecil dialihkan kepada LPS sehinga bank runs diharapkan dapat dicegah.

Sedangkan bagi nasabah besar, yang dipersepsikan mempunyai akses informasi atau kemampuan menganalisa kondisi keuangan bank, diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengukur besarnya risiko dari setiap tindakan yang akan diambil.

Disain dan Skim Penjaminan LPS

Pemerintah telah merancang LPS sesuai kebijakan umum (public policy) yang ditetapkan, dengan mempertimbangkan kondisi industri perbankan nasional. LPS merupakan badan hukum yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Selain berfungsi menjamin simpanan nasabah bank, LPS juga dirancang untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Pelaksanaan tugas dan wewenang LPS dipertanggung-jawabkan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Kepesertaan

Kepesertaan dalam penjaminan LPS bersifat wajib bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Kepesertaan yang bersifat wajib tersebut dipilih karena tiga alasan utama; pertama, untuk menghindari terjadinya adverse selection yakni kecenderungan hanya bank yang tidak sehat yang menjadi peserta penjaminan; kedua, yang memperoleh manfaat dari adanya penjaminan simpanan bukan hanya nasabah tetapi semua bank dengan terciptanya sistem perbankan yang lebih stabil; dan ketiga, mencegah sekelompok bank mempunyai keunggulan kompetitif dalam penetapan harga (competitive pricing) serta menciptakan persaingan yang lebih fair (level playing field).

Lingkup Penjaminan

Bentuk simpanan yang dijamin oleh LPS meliputi giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan nilai simpanan yang dijamin oleh LPS per nasabah per bank paling tinggi sebesar Rp 100 juta, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Maret 2007.

Adapun pentahapan pengurangan jumlah simpanan yang dijamin per nasabah per bank adalah sebagai berikut:a. sejak 22 September 2005, seluruh simpanan dijamin;b. sejak 22 Maret 2006, paling tinggi Rp 5 milyar;c. sejak 22 September 2006, paling tinggi Rp 1 milyar; dand. sejak 22 Maret 2007 dan seterusnya, paling tinggi Rp 100 juta.

IMF merekomendasikan nilai simpanan yang dijamin sebesar 2 - 3 kali pendapatan per kapita masing-masing negara. Namun pendapatan per kapita kita kurang representatif dijadikan dasar penetapan nilai simpanan yang dijamin karena distribusi pendapatan tidak merata dan pendapatan per kapita setelah krisis turun akibat depresiasi rupiah.LPS menetapkan nilai simpanan yang dijamin berdasarkan pada proporsi atau prosentase jumlah nasabah yang simpanannya dijamin seluruhnya. Berdasarkan data industri perbankan pada tahun 2003, rekening bersaldo sampai dengan Rp 100 juta mencapai 98% dari jumlah rekening.

Pendanaan

Sumber pendanaan utama bagi LPS berasal dari modal awal, kontribusi kepesertaan, premi penjaminan, dan hasil investasi. Jumlah modal awal LPS setelah dikonsultasikan dengan DPR ditetapkan sebesar Rp 4 triliun. Apabila modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR akan menutup kekurangan tersebut.Kontribusi kepesertaan ditetapkan sebesar 0,1% dari modal sendiri bank yang dipungut hanya satu kali pada saat bank menjadi peserta penjaminan.

Premi pada tahap awal ditetapkan berdasarkan prosentase yang sama untuk semua bank (flat rate premium) sebesar 0,1% per semester dari jumlah simpanan pada bank peserta. Penerapan flat rate lebih mudah dalam perhitungan dan murah dalam operasionalnya. Namun penerapan metode ini dianggap kurang fair karena bank yang sehat secara tidak langsung memberi subsidi kepada bank yang tidak sehat. Selain itu, penerapan flat rate tidak mendorong bank untuk lebih meningkatkan efektifitas pengelolaan risikonya.

Dalam UU, penerapan flat rate dapat diubah menjadi berdasarkan tingkat risiko kegagalan masing-masing bank (risk-based premium). Sebagian besar penjamin simpanan menerapkan flat rate pada awal pendirian dan akan diubah menjadi risk-based premium pada saat persyarat dan kondisi tertentu telah terpenuhi.

Cadangan Penjaminan

Penjamin simpanan dirancang untuk selalu mempunyai cadangan yang cukup guna memenuhi kewajibannya di masa yang akan datang. Surplus yang timbul dari selisih lebih antara pendapatan dan beban LPS dalam 1 tahun, 80% akan diakumulasikan dalam cadangan penjaminan, sedangkan sisanya akan dialokasikan untuk cadangan tujuan.

Kecukupan cadangan penjaminan ditetapkan dalam rasio tertentu dari jumlah simpanan pada industri perbankan. FDIC menetapkan rasio cadangan (designated reserve ratio) sebesar 1,25%, sedangkan dalam UU LPS tingkat sasaran cadangan penjaminan ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah simpanan pada industri perbankan. Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan telah mencapai tingkat sasaran tersebut, kelebihannya akan disetorkan kepada negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak.

Tata Kelola

LPS dirancang untuk mempunyai tata kelola usaha yang baik (good corporate governance). Untuk itu dalam UU LPS diatur secara rinci mengenai pokok-pokok tata kelola LPS. Dewan Komisioner sebagai pimpinan LPS bertanggung jawab untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS.

Sedangkan pelaksana kegiatan operasional LPS dilakukan oleh Kepala Eksekutif yang merupakan anggota Dewan Komisioner yang tidak mempunyai hak suara. Dewan Komisioner berjumlah 6 orang yang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 161/M Tahun 2005, susunan Dewan Komisioner LPS adalah sebagai berikut:i. Ketua Dewan Komisioner : Rudjitoii. Kepala Eksekutif : Krisna Wijayaiii. Anggota : Markus Parmadiiv. Anggota : Pontas Riyanto Siahaanv. Anggota : Maman H. Somantrivi. Anggota : Darmin Nasution

Jaring Pengaman Sektor Keuangan

Keberadaan penjaminan simpanan saja tidak cukup untuk mengantisipasi dan mengatasi semua permasalahan perbankan. Penjaminan simpanan hanya akan berfungsi efektif apabila didukung oleh fungsi lain dalam sistem keuangan yang meliputi fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan, fungsi lender of last resort dan sistem pembayaran, serta fungsi pengelolaan keuangan negara.

Koordinasi dan kerjasama yang terpadu antara fungsi-fungsi tersebut tanpa mengabaikan independensi masing-masing lembaga, diharapkan dapat mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan. Mekanisme koordinasi, kerjasama, dan pengambilan keputusan dalam mengantisipasi dan mengatasi permasalahan perbankan dituangkan dalam sistem jaring pengaman sektor keuangan (financial safety net).

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah ditetapkan bahwa sistem jaring pengaman sektor keuangan di Indonesia akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Pada saat ini rancangan undang-undang tersebut sedang dipersiapkan oleh tim yang beranggotakan unsur dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan pihak terkait lainnya.

Penutup

Krisis pada tahun 1997/1998 telah memberi pelajaran bagi kita, ternyata harga dari kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan sangat mahal. Harga tersebut harus ditanggung oleh seluruh rakyat melalui pengalokasian anggaran negara. Pemerintah memandang perlu untuk mengatur mengenai pemberian jaminan terhadap simpanan nasabah bank sebagai upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan.

Pendirian LPS tidak dirancang untuk mencegah timbulnya krisis. Keberadaan LPS dan pembentukan jaring pengaman sektor keuangan lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan mekanisme yang jelas dan transparan dalam mengatasi permasalahan perbankan dalam kondisi normal, terutama dalam kondisi krisis. Dengan adanya mekanisme tersebut, diharapkan dampak adanya permasalahan perbankan dapat diminimalkan.

Baca Lanjutannya...