Agar dapat melaksanakan visi dan misi, serta untuk mencapai tujuannya, suatu perusahaan atau organisasi harus merumuskan kebijakan dan inisiatif strategis, melaksanakan kegiatan operasional, serta melakukan pengawasan atau monitoring agar kegiatan operasional tersebut dapat sejalan dengan kebijakan strategis yang telah ditetapkan. Untuk itu, perlu dirancang suatu struktur atau sistem tata kelola perusahaan atau organisasi (corporate governance) yang mendukung upaya pencapaian tujuan tersebut.
Struktur atau sistem tata kelola perusahaan mempunyai banyak variasi, namun yang paling sering digunakan ada dua sistem, yakni one-tier board system dan two-tier board system. Sistem yang pertama banyak diterapkan oleh perusahaan atau organisasi di negara Anglo-Saxon antara lain Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sedangkan sistem yang kedua banyak diterapkan di negara Eropa daratan terutama Jerman, Perancis, dan Belanda. Sebagai negara yang pernah dijajah oleh Belanda, tata kelola perusahaan atau organisasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh sistem yang diterapkan di Belanda yakni two-tier board system.
One-Tier Board System
Dalam one-tier board system, keseluruhan wewenang pelaksanaan fungsi suatu perusahaan atau organisasi dilaksanakan oleh satu board atau dewan yang lazim disebut sebagai board of directors. Beberapa perusahaan atau organisasi sering juga menyebutnya dengan board of governors atau board of commissioners. Pada sistem ini, board of directors berfungsi menetapkan kebijakan, melaksanakan kegiatan operasional, dan sekaligus melakukan pengawasan atau monitoring.
Bagi kita yang terbiasa dengan two-tier board system, sistem ini dipandang kurang memperhatikan pemisahan wewenang dan tanggung-jawab karena ketiga fungsi utamanya dilaksanakan oleh satu dewan. Namun jika ditilik lebih dalam, sebenarnya dalam internal board of directors tersebut terdapat pembagian wewenang dan tanggung-jawab.
Pengambilan kebijakan merupakan kewenangan board of directors sebagai satu kesatuan dewan sehingga semua anggota board of directors dapat berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi tersebut. Seringkali konsep kesatuan dalam pengambilan keputusan dan pertanggung-jawaban tersebut disebut sebagai kolektif kolegial. Dalam pelaksanaan kegiatan operasional ditunjuk satu atau beberapa anggota board of directors yang disebut sebagai executive director(s).
Sedangkan pelaksanaan fungsi monitoring dan pengawasan dilakukan oleh beberapa anggota board of directors lainnya yang disebut non-executive directors (NEDs). NEDs pada umumnya bekerja secara paruh waktu (part time). Komposisi jumlah anggota executive directors dan non-executive directors bervariasi tergantung pertimbangan dan kepentingan perusahaan atau organisasinya, tetapi pada umumnya executive directors berjumlah lebih sedikit.
Pemegang saham atau board of directors memilih salah satu anggota non-executive directors menjadi Chairman atau sering pula disebut sebagai President. Sedangkan satu atau salah satu anggota executive directors ditetapkan menjadi Chief Executive Officer (CEO). Dalam prakteknya terdapat perbedaan penerapan dalam penetapan Chairman dan CEO tersebut.
Di Amerika Serikat, seorang Chairman biasanya sekaligus ditunjuk juga menjadi CEO yang kemudian memunculkan sebutan Executive Chairman. Sedangkan di Inggris, pada umumnya seorang CEO tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Chairman, sehingga kedua jabatan tersebut harus diamanatkan pada orang yang berbeda.
Two-Tier Board System
Sedangkan dalam two-tier board system terdapat dua dewan yang terpisah, satu dewan yang bertanggung-jawab menetapkan kebijakan dan mengelola operasional perusahaan (management board) dan satu dewan lainnya yang melakukan fungsi monitoring dan pengawasan (supervisory board). Pada dasarnya, management board merupakan executive directors sedangkan supervisory board merupakan non-executive directors.
Pemisahan fungsi penetapan kebijakan dan pelaksanaan operasional dengan fungsi monitoring dan pengawasan tersebut dimaksudkan untuk menghindari benturan kepentingan yang diharapkan akan dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Namun berdasarkan pengalaman, penetapan kriteria dan pelaksanaan proses pemilihan supervisory boards pada umumnya kurang jelas dan tidak transparan sehingga seringkali justru akan menghasilkan sistem pengawasan yang tidak efektif dan dapat menyebabkan tata kelola yang kurang baik. Berkaca pada hal tersebut, saat ini terdapat kecenderungan perusahaan atau organisasi mulai mengkaji atau menerapkan one-tier board system.
Tata Kelola LPS
Dalam UU LPS tidak secara eksplisit menyebutkan sistem tata kelola yang dianut dan diterapkan pada LPS. Namun jika dilihat dari pengaturan mengenai Organisasi dalam UU tersebut, dapat disimpulkan bahwa tata kelola LPS menggunakan pendekatan one-tier board system. Pilihan pendekatan one-tier board system tersebut dimaksudkan agar Dewan Komisioner (DK) sebagai organ tertinggi dan pimpinan LPS dapat menjaga independensinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Hal tersebut konsisten dengan ketentuan Pasal 2 UU tersebut yang menyatakan bahwa LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Independensi bagi LPS mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh Pemerintah, kecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas di dalam UU tersebut. Sedangkan untuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik, diwujudkan dengan dilakukannya pemeriksaan laporan keuangan, pengendalian internal, dan kepatuhan LPS oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan keuangan yang telah diaudit BPK selanjutnya wajib dipublikasikan di surat kabar dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. LPS bertanggung jawab kepada Presiden.
Anggota DK LPS berjumlah 6 orang yang diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Keuangan dengan susunan sebagai berikut:
a. 1 orang anggota ex-officio dari Kementerian Keuangan;
b. 1 orang anggota ex-officio dari Bank Indonesia (BI);
c. 1 orang anggota ex-officio dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan
d. 3 orang anggota lainnya yang berasal dari akademisi, profesional, atau pejabat karir LPS.
Presiden pada saat mengangkat anggota DK sekaligus menetapkan seorang anggota bukan ex-officio sebagai Ketua DK dan satu orang bukan ex-officio lainnya sebagai Kepala Eksekutif. Penetapan Ketua DK (chairman) dan Kepala Eksekutif (chief executive officer) LPS tidak dilakukan dalam rapat DK melainkan ditetapkan oleh Presiden pada saat pengangkatannya. Seluruh anggota DK LPS bekerja secara penuh waktu (full time).
Kepala Eksekutif bertugas menjalankan sebagian wewenang DK untuk melaksanakan kegiatan operasional LPS dengan dibantu oleh paling banyak 5 direktur eksekutif. Sedangkan Ketua DK dan anggota DK lainnya (sebagai non-executive directors) bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan, serta mengawasi dan memonitor pelaksanaan kegiatan operasional yang dijalankan oleh Kepala Eksekutif.
Meskipun merupakan anggota DK, Kepala Eksekutif tidak memiliki hak suara dalam rapat pengambilan keputusan yang dilakukan DK. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya benturan kepentingan, terutama dalam rapat pengambilan keputusan terkait monitoring dan pengawasan pelaksanaan kegiatan operasional. Untuk rapat perumusan dan penetapan kebijakan selain kegiatan operasional, terdapat pandangan sebaiknya Kepala Eksekutif juga memiliki hak suara sesuai dengan prinsip kolektif kolegial dari board of directors.
Dalam keanggotaan DK LPS terdapat perwakilan dari otoritas lainnya (BI, OJK, & Kementerian Keuangan) mengingat kebijakan dan operasional penjaminan simpanan dapat berdampak luas pada perbankan, perekonomian, moneter, dan fiskal. Keberadaan para wakil otoritas tersebut dimaksudkan agar dalam merumuskan kebijakan penjaminan simpanan dapat selaras dan bersinergi dengan kebijakan pada sektor-sektor tersebut.
Keanggotaan DK secara ex-officio yang mewakili beberapa otoritas tersebut juga diperlukan dalam mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan fungsi LPS. Kementerian Keuangan dapat memberikan dukungan pelaksanaan tugas dalam penyusunan legislasi (pengaturan) yang terkait LPS antara lain berupa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Selain itu, Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal juga merupakan pihak yang akan memberikan dukungan pendanaan dalam bentuk pinjaman ketika LPS mengalami kesulitan likuiditas dan tambahan modal ketika modal awal LPS menjadi kurang dari Rp 4 triliun.
Pelaksanaan tugas LPS juga terkait dengan BI sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran, serta OJK sebagai pengatur dan pengawas perbankan, terutama dalam penetapan tingkat bunga penjaminan, serta tukar menukar data dan informasi mengenai kondisi perbankan, perekonomian, serta koordinasi dalam pelaksanaan resolusi bank. Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS merupakan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dibentuk guna menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago