27 February 2017
Bank Sistemik Itu Seperti Gambar Porno
Sebaliknya, penuntut umum berupaya membuktikan bahwa pada saat itu tidak terjadi krisis perbankan dan kegagalan Bank Century tidak berdampak sistemik.
Sebelum tahun 2008, kriteria bank berdampak sistemik sepertinya memang secara sengaja dibiarkan tidak jelas atau sering disebut dengan istilah constructive ambiguity, ketidak-jelasan yang bermanfaat. Ketidak-jelasan tersebut dimaksudkan untuk memberi ruang bagi pengambil kebijakan mempertimbangkan kondisi riil saat kejadian kegagalan bank, serta untuk menghindari adanya bank yang meyakini dirinya berdampak sistemik dan berharap akan diselamatkan ketika mengalami permasalahan.
Dampak sistemik sering dikaitkan dengan teori too big to fail (TBTF). Merujuk pada wikipedia : “The too big to fail (TBTF) theory asserts that certain corporations, particularly financial institutions, are so large and so interconnected that their failure would be disastrous to the greater economic system, and they therefore must be supported by government when they face potential failure”.
TBTF mulai populer ketika FDIC pada tahun 1984 melakukan penyelamatan dalam bentuk open bank assistance (OBA) kepada Continental Illinois National Bank and Trust Company, yang saat itu merupakan bank terbesar ketujuh di Amerika Serikat. FDIC melakukan resolusi dengan membeli kredit macet (bad loans), menyuntikkan modal, dan memberikan pinjaman kepada bank tersebut. Opsi OBA tidak lagi dimiliki FDIC sejak ditetapkannya Dodd-Frank Act pada tahun 2010.
Ketiadaan kriteria yang jelas menyebabkan penilaian terhadap dampak berantai kegagalan suatu bank menjadi relatif sulit dilakukan. Dalam suatu seminar yang pernah penulis ikuti, seorang pemateri menyatakan “systemic bank is just like pornography, you only know it when you see it”. Bank sistemik diibaratkan seperti gambar porno, kita hanya akan mengetahui atau memahaminya ketika kita melihatnya sendiri. Akan sulit bagi seseorang untuk meyakinkan orang lain bahwa suatu bank memiliki dampak sistemik, tanpa orang tersebut mengetahui, merasakan, atau mengalaminya sendiri. Terlebih jika peristiwanya sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Selain itu, mirip dengan kriteria dan persepsi orang terhadap ke-porno-an suatu gambar, kriteria dan persepsi yang digunakan masing-masing orang untuk menilai dampak sistemik suatu bank sangat mungkin berbeda.
Berkaca pada pengalaman tahun 2008, para pimpinan negara kelompok G20 telah menyepakati untuk membatasi moral hazard bagi bank berdampak sistemik (systemically important bank atau SIB) dan mengakhiri konsep TBTF. Semua bank, terutama SIB, diberi pesan yang kuat bahwa sebesar apapun ukurannya dapat saja menjadi gagal dan ditutup. Resolusi SIB ke depan diupayakan dapat memenuhi 3 tujuan yakni: meminimalkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan, menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi kritisnya (critical functions), dan menghindari penggunaan uang pembayar pajak (anggaran negara).
Dengan paradigma baru tersebut, SIB akan diidentifikasi dan ditetapkan sebelumnya (pre-determined) agar dapat diminta memenuhi persyaratan atau kewajiban tertentu. Dalam rangka mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalannya, bank sistemik wajib menyiapkan bantalan tebal dalam bentuk kapasitas menyerap kerugian dan melakukan rekapitalisasi yang disebut Total Loss Absorbing Capacity (TLAC).
Selain itu, bank sistemik juga harus menyusun rencana pemulihan (recovery plan) untuk mengatasi berbagai skenario permasalahan keuangan yang mungkin dihadapinya, dan rencana mati (resolution plan) untuk mempersiapkan pelaksanaan resolusi atas kegagalannya, yang disebut Recovery and Resolution Plan (RRP). RRP sering disebut sebagai living wills atau surat wasiat.
Dalam rangka menetapkan bank yang secara global berdampak sistemik (G-SIB), Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) merumuskan indicator-based measurement approach yang terdiri dari aspek kegiatan lintas negara (cross jurisdictional), ukuran (size), keterkaitan (interconnnectedness), ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability), dan kompleksitas (complexity). Berdasarkan indikator tersebut, sejak tahun 2011 dilakukan asesmen terhadap bank yang memenuhi kriteria G-SIB dan daftarnya diumumkan pada setiap bulan Nopember.
Berdasarkan hasil skoring (systemic importance score) berbagai aspek tersebut, G-SIB dikelompokkan menjadi 4 bucket. Selanjutnya bucket ke-5 ditambahkan untuk menghalangi (dis-incentive) G-SIB agar tidak terus memperbesar potensi dampak sistemiknya. Apabila ada G-SIB yang memenuhi kriteria bucket 5, akan dibuat bucket kosong lagi di atasnya dengan tambahan persyaratan dan kewajiban yang lebih berat.
Berdasar pengelompokan tersebut, G-SIB diwajibkan memenuhi tambahan modal antara 1% sampai 2,5% dalam bentuk modal inti utama atau Common Equity Tier 1 (CET1) yang disebut Capital Surcharge atau Systemic Buffer. Tahapan penerapan (phase in) ketentuan capital surcharge tersebut yakni: tahun 2016 (25%), 2017 (50%), 2018 (75%), dan 2019 (100%). Beberapa negara (Amerika Serikat, Swiss) menetapkan capital surcharge yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh BCBS.
Untuk kriteria bank yang secara domestik memiliki dampak sistemik (D-SIB), masing-masing otoritas diberi kewenangan untuk menetapkan sendiri dengan tetap memperhatikan kriteria G-SIB tanpa aspek cross jurisdictional. Kriteria lain dan informasi kualitatif dapat ditambahkan apabila dipandang perlu berdasarkan pertimbangan pengawas. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia telah menetapkan kriteria dan mengumumkan D-SIBnya, sedangkan beberapa negara lainnya seperti Filipina sudah menetapkan kriterianya namun belum atau tidak mengumumkan daftar D-SIBnya.
Sesuai Pasal 1 angka 5 UU PPKSK, bank sistemik didefinisikan sebagai bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
Pada Pasal 17 UU PPKSK dinyatakan dalam rangka mencegah krisis sistem keuangan di bidang perbankan, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia menetapkan bank sistemik. Penetapan bank sistemik pertama kali dilakukan pada kondisi stabilitas sistem keuangan normal. OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan pemutakhiran daftar bank sistemik secara berkala setiap 6 bulan. OJK menyampaikan hasil penetapan dan pemutakhiran daftar bank sistemik kepada KSSK. Pasal 52 UU PPKSK mengatur penetapan bank sistemik dilakukan pertama kali paling lambat 3 bulan sejak UU tersebut diundangkan.
Pada Desember 2015, OJK telah menetapkan Peraturan OJK Nomor 46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharge. Dalam POJK tersebut, indikator yang digunakan dalam penetapan bank yang berdampak sistemik meliputi eksposur bank (size), keterkaitan dengan sistem keuangan domestik (interconnectedness), dan kompleksitas kegiatan usaha (complexity). Sedangkan untuk faktor ketergantian perannya dalam infrastruktur keuangan (substitutability) tidak menjadi indikator tersendiri melainkan merupakan sub-indikator dari kompleksitas. Bobot setiap indikator tersebut ditetapkan sama (equal weight).
Ketentuan pengelompokan dan besarnya capital surcharge yang ditetapkan dalam POJK tersebut sama dengan yang diatur BCBS yakni terdiri dari 4 bucket dan besarnya capital surcharge antara 1% sampai 2,5% dari ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko atau Risk-Weighted Asset/RWA) yang harus dipenuhi dengan komponen modal inti utama (CET1). Pemenuhan capital surcharge diberlakukan bertahap mulai tahun 2016 sampai dengan tahun 2019. Dalam POJK tersebut disebutkan penetapan bank sebagai SIB tidak mencakup kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri (KCBA), dengan kata lain KCBA tidak akan pernah ditetapkan menjadi bank sistemik (D-SIB) di Indonesia. Daftar D-SIB di Indonesia tidak diumumkan ke publik.
13 February 2017
Penjaminan Simpanan Syariah
Pada Juli 2015 lalu, media massa ramai memberitakan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menyatakan BPJS Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, DSN merekomendasikan pendirian BPJS Kesehatan Syariah dengan menggunakan akad dan praktik yang sesuai syariah. Berita tersebut memicu perdebatan mengingat sudah lebih 100 juta orang yang mengikuti program BPJS Kesehatan.
Sebagaimana dimaklumi, sejak konsep syariah diterima dan diterapkan dalam sistem perekonomian kita, beberapa kegiatan usaha telah memiliki sistem ganda (dual system) konvensional dan syariah, di antaranya perbankan, perasuransian, pembiayaan, pergadaian, dan dana pensiun.
Gagasan penerapan penjaminan simpanan syariah juga mengemuka akhir-akhir ini. Sejak beroperasi, LPS telah menjamin simpanan di bank syariah, namun belum menerapkan sistem penjaminan simpanan syariah.
Simpanan di Bank Syariah
Dalam pengerahan dana masyarakat, terdapat berbagai jenis kontrak (akad) yang lazim digunakan bank syariah, yakni: wadiah (titipan), qard (pinjaman), murabahah (biaya plus), mudharabah (bagi hasil), dan wakalah (keagenan).
Pada perbankan syariah di Indonesia, untuk produk simpanan (giro, tabungan, dan deposito) yang lazim digunakan hanya 2 jenis akad yakni wadiah dan mudharabah.
Simpanan berakad wadiah merupakan titipan yang dijamin pengembalian pokoknya oleh bank, namun tidak boleh diperjanjikan adanya tambahan atau bonus (athaya). Pemberian tambahan atau bonus bagi nasabah didasari pada keikhlasan dari pihak bank semata.
Sedangkan simpanan berakad mudharabah menjanjikan bagi hasil dalam pengelolaan dananya. Pada simpanan berakad mudharabah, bank tidak boleh menjamin pengembalian pokok simpanannya kepada nasabah.
Dalam UU Perbankan Syariah, simpanan didefinisikan sebagai dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad wadiah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan dana yang dipercayakan nasabah kepada bank syariah berdasarkan akad mudharabah dalam bentuk deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu disebut investasi.
Nasabah pemilik simpanan disebut nasabah penyimpan dan nasabah pemilik investasi disebut nasabah investor. Meskipun dalam UU tersebut dikategorikan sebagai investasi, simpanan berakad mudharabah termasuk dalam lingkup penjaminan LPS.
Dasar Penjaminan Simpanan Syariah
Saat ini sudah banyak negara yang menerapkan dual banking system, perbankan syariah dan konvensional, namun belum banyak yang menerapkan sistem penjaminan simpanan ganda (dual deposit insurance system).
Dalam penerapan penjaminan simpanan syariah, terdapat perbedaan pandangan terkait dasar pemikiran dan operasionalisasinya.
Untuk simpanan dengan akad wadiah, qard, dan murabahah, ahli syariah menyepakati diperbolehkannya pemberian penjaminan atas simpanan tersebut. Pada akad wadiah misalnya, mengingat sifatnya berupa titipan, bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah.
Pengembalian pokok simpanan tersebut dapat dijaminkan kembali oleh bank kepada pihak ketiga, dalam hal bank tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam skema ini, penjamin simpanan bertindak sebagai penjamin dari penjamin pertama (acting as guarantor to a guarantor). Sebagai alternatif, kedudukan penjamin simpanan dapat pula sebagai penjamin kedua atas simpanan berakad wadiah tersebut bersama-sama dengan bank (double guarantors).
Sedangkan pada akad mudharabah dan wakalah, ahli syariah menyepakati larangan bank memberikan jaminan atas pengembalian pokok simpanan kepada nasabah. Berdasarkan pandangan tersebut, kalangan ahli syariah klasik berpendapat tidak diperbolehkan adanya penjaminan terhadap simpanan dengan akad mudharabah dan wakalah.
Sebagaimana dimaklumi, simpanan berakad mudharabah merupakan bentuk simpanan yang proporsinya paling besar di banyak negara yang memiliki perbankan syariah. Tidak diperbolehkannya penjaminan terhadap simpanan berakad mudharabah inilah yang menjadi salah satu alasan sistem penjaminan simpanan syariah belum banyak diterapkan. Simpanan berakad mudharabah umumnya juga dimiliki nasabah yang sudah paham risiko atau sudah siap menanggung rugi atas penempatan dananya sehingga tidak memerlukan penjaminan.
Sebaliknya kalangan pakar syariah kontemporer berpandangan bahwa bank memang dilarang memberikan penjaminan terhadap pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah kepada nasabah, namun pihak ketiga dalam hal ini penjamin simpanan diperbolehkan memberikan penjaminan tersebut.
Berdasarkan pandangan tersebut, penjaminan atas pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah dapat pula dilakukan oleh penjamin simpanan. Mengingat bank tidak menjamin pengembalian pokok simpanan berakad mudharabah dan wakalah, premi penjaminan dibebankan pada nisbah yang menjadi hak nasabah penyimpan.
Argumen lain yang menjadi dasar penerapan penjaminan simpanan syariah diantaranya bertujuan turut menjaga stabilitas sistem keuangan, pemberian perlakuan yang sama dengan simpanan pada perbankan konvensional, memberi kemaslahatan atau kebaikan kepada umat, dan dalam rangka menampung aspirasi nasabah penyimpan di perbankan syariah.
Sistem Penjaminan Simpanan Syariah
Dalam pelaksanaan penjaminan simpanan syariah, perlu dipenuhi beberapa prinsip syariah yang meliputi: tidak mengandung riba; gharar (ketidakpastian/ ketidakjelasan); dan maysir (judi). Untuk itu, terdapat beberapa hal yang perlu diatur berbeda dengan penjaminan simpanan konvensional, antara lain : (1) akad penjaminan; (2) pengelolaan dana penjaminan; dan (3) lingkup penjaminan.
Akad Penjaminan
Dalam penjaminan simpanan syariah, kontrak (akad) antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan harus jelas dan ditetapkan di awal. Beberapa akad antara penjamin simpanan dan bank peserta penjaminan yang dapat dipertimbangkan antara lain: tabarru, kafalah, atau dharibah.
Dalam akad tabarru’, bank peserta mengumpulkan premi (fee) untuk dikelola oleh penjamin simpanan yang nantinya akan digunakan untuk membayar kembali simpanan nasabah ketika ada bank peserta penjaminan yang dicabut izinnya. Akad ini dapat dikombinasikan dengan akad ta’awuni yang dapat diartikan sebagai prinsip tolong menolong antara sesama peserta penjaminan. Akad tabarru’ ini lazim digunakan dalam kontrak asuransi komersial yang sering pula disebut sebagai akad takaful.
Kesediaan bank mengumpulkan premi (fee) dan saling menanggung sesama peserta penjaminan tersebut secara syariah harus didasarkan pada sifat sukarela (voluntary). Sehingga dalam sistem penjaminan simpanan, penerapan akad tabarru’ lebih tepat dilakukan untuk penjaminan simpanan yang sifat kepesertaannya tidak wajib. Meskipun penggunaan akad ini dapat saja diterapkan apabila semua bank syariah sepakat terhadap perlu dan pentingnya menjadi peserta penjaminan.
Pada akad ini, akumulasi premi tidak menjadi milik penjamin simpanan melainkan milik bersama bank peserta penjaminan. Penjamin simpanan hanya bertindak sebagai administrator penjaminan dan menerima fee dari pengelolaan dana penjaminan. Bank Deposit Security Fund (BDSF) di Sudan dan Jordan Deposit Insurance Corporation (JODIC) di Yordania mengunakan pendekatan akad ini.
Sedangkan akad kafalah merupakan suatu bentuk kontrak penjaminan yang secara bahasa memiliki arti a-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Pada akad ini, penjamin menjanjikan akan memenuhi hal yang diperjanjikan kepada pihak terjamin. Dalam sejarah, akad ini sering digunakan untuk jaminan pembayaran hutang, jaminan pengembalian barang, dan/atau jaminan menghadirkan orang.
Pada akad kafalah, penjamin simpanan (kafil) memberikan jaminan atas pembayaran kembali simpanan sampai jumlah tertentu kepada nasabah penyimpan (makfuul lahu) dalam hal bank (makfuul ‘anhu) tidak dapat memenuhi kewajibannya karena dicabut izinnya.
Sebagai imbalan atas pemberian jaminan tersebut, bank membayar fee (ujroh) secara periodik. Dengan adanya fee (ujroh) tersebut, akad ini disebut pula sebagai kafalah bil ujroh.
Mengacu pada praktek di masa lalu, sebagian ahli syariah berpandangan pembayaran fee (ujroh) atas akad kafalah tersebut tidak diperbolehkan mengingat tujuan akad tersebut untuk kebaikan dan tolong menolong semata. Sementara sebagian lainnya, termasuk DSN, berpandangan dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima fee (ujroh) sepanjang tidak memberatkan pihak terjamin (Fatwa No: 11/DSN-MUI/IV/2000).
Untuk memenuhi unsur tidak memberatkan, besarnya fee (ujroh) harus mempertimbangkan beban riil yang harus ditanggung oleh penjamin dalam melaksanakan penjaminan tersebut. Akumulasi fee (ujroh) yang dibayar bank peserta sepenuhnya menjadi milik penjamin simpanan. Malaysia Deposit Insurance Corporation menggunakan pendekatan akad kafalah bil ujroh ini.
Akad lain yang dapat diterapkan dalam sistem penjaminan simpanan syariah adalah dharibah, yang secara bahasa diterjemahkan sebagai pajak. Dalam akad ini, penjamin simpanan diposisikan sebagai unsur Pemerintah atau negara yang diberi kewenangan untuk menjamin simpanan dengan memungut premi kepada bank peserta penjaminan.
Pemberian wewenang memungut premi penjaminan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemaslahatan kepada nasabah penyimpan berupa perlindungan atas keamanan simpanannya di bank syariah dan terciptanya stabilitas sistem perbankan syariah.
Selain akad tabarru, kafalah, dan dharibah, penggunaan akad lain yang sesuai syariah dapat pula dikaji untuk dapat diterapkan sesuai kondisi masing-masing negara.
Pengelolaan Dana Penjaminan
LPS telah membayar klaim penjaminan terhadap simpanan pada beberapa BPR Syariah yang dicabut izin usahanya. Nasabah penyimpan pada BPR Syariah tersebut tentu berharap pembayaran klaim penjaminan yang diterima berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan hasil kelolaan dana yang sesuai prinsip syariah.
Sampai saat ini, pengelolaan dana penjaminan dari penerimaan premi sampai pembayaran klaim penjaminan belum dipisahkan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah. Sehingga ketika LPS membayar klaim penjaminan kepada nasabah bank syariah yang dicabut izinnya, tidak dapat dipastikan apakah dana yang digunakan berasal dari premi yang dibayar bank syariah dan/atau hasil investasi yang sesuai prinsip syariah.
Meskipun saat ini LPS telah menempatkan dananya pada surat berharga negara syariah (Sukuk) yang nilainya melebihi jumlah seluruh premi penjaminan yang diterima dari perbankan syariah.
Belum diterapkannya sistem penjaminan terpisah tersebut mempertimbangkan antara lain masih relatif sedikitnya jumlah bank syariah, atau relatif kecilnya porsi aset/simpanan perbankan syariah dibanding aset/simpanan perbankan nasional. Dipandang dari sisi pendanaan, jumlah bank syariah yang relatif sedikit mengakibatkan tarif premi penjaminan simpanan syariah dapat menjadi lebih mahal karena hanya sedikit bank yang diminta berkontribusi menanggung biaya kegagalan bank syariah. Pemisahan dana penjaminan simpanan syariah dan konvensional memiliki konsekuensi antara kedua dana tersebut tidak boleh saling membantu (no cross subsidy).
Lingkup Penjaminan
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2005 diatur simpanan di perbankan syariah yang dijamin LPS yaitu :
a. giro berdasarkan prinsip wadiah;
b. tabungan berdasarkan prinsip wadiah;
c. tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank;
d. deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqqayadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau
e. simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan pengawas perbankan.
Pada saat PP tersebut ditetapkan, giro berdasarkan prinsip mudharabah belum ditetapkan sebagai jenis simpanan yang dapat dipasarkan oleh bank syariah, meskipun menurut fatwa DSN jenis simpanan tersebut sesuai syariah. Dalam perkembangannya giro berdasarkan prinsip mudharabah ditetapkan dapat dipasarkan bank syariah, sehingga dalam Peraturan LPS Nomor 2 Tahun 2010, giro berdasarkan prinsip mudharabah termasuk sebagai bentuk simpanan syariah yang dijamin LPS.
Akad mudharabah pada dasarnya dibedakan menjadi dua, mudharabah mutlaqah (unrestricted investment accounts) apabila nasabah penyimpan tidak memberikan arahan atau batasan tertentu (misalnya jenis usaha, lokasi usaha, dan/atau jenis pelayanan) kepada bank dalam penyaluran dananya; dan mudharabah muqqayadah (restricted investment accounts) jika nasabah memberikan arahan atau batasan tertentu kepada bank dalam penyaluran dananya.
Simpanan dengan akad mudharabah muthlaqah dijamin oleh LPS. Sedangkan simpanan dengan akad mudharabah muqayyadah tidak semua dijamin oleh LPS. Ditinjau dari pihak yang menanggung risiko, akad mudharabah muqayyadah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yakni: risiko ditanggung oleh bank syariah yang pengadministrasiannya dilakukan secara on balance sheet, atau risiko ditanggung oleh pemilik dana/nasabah yang pengadministrasiannya dilakukan secara off balance sheet (chanelling). LPS hanya menjamin simpanan berakad mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank syariah.
Sejak 13 Oktober 2008, nilai simpanan yang dijamin LPS paling banyak Rp 2 milyar per nasabah per bank. Sesuai Peraturan LPS, nilai simpanan yang dijamin tersebut mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank. Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil (mudharabah), saldo tersebut meliputi pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS, atau bank umum konvensional yang menjadi induk UUS.
Khusus untuk simpanan pada UUS, LPS hanya akan membayar klaim penjaminan apabila izin usaha bank umum konvensional yang menjadi induk UUS tersebut dicabut. Sedangkan jika izin UUS yang dicabut oleh OJK, baik atas permintaan bank umum konvensional yang menjadi induknya maupun karena pengenaan sanksi dari OJK, maka kewajiban UUS kepada nasabah penyimpan menjadi tanggung jawab bank umum konvensional yang menjadi induknya.
Ketentuan tingkat bunga penjaminan tidak diberlakukan untuk simpanan di bank syariah. LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang dapat diterima nasabah penyimpan di bank syariah, mengingat besarnya bagi hasil tidak tentu, bersifat fluktuatif, dan tidak diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di bank syariah apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return) melebihi tingkat bunga penjaminan, simpanan di bank syariah tersebut tetap dijamin oleh LPS.
*****
07 February 2017
LPS Beyond Penjaminan
Beberapa tahun lalu, media massa diramaikan pemberitaan mengenai penyelamatan Bank Century. Salah satu yg menjadi topik pemberitaan tersebut terkait peran LPS dalam melaksanakan penyertaan modal sementara (PMS) pada bank tersebut.
LPS sesuai namanya, sering dipahami hanya melakukan penjaminan simpanan ketika bank dicabut izinnya. Bagaimana ceritanya sampai LPS melakukan penyelamatan Bank Century yang notabene masih beroperasi dan izinnya tidak dicabut.
Dalam UU 24/2004, LPS mempunyai 2 fungsi yakni menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan tsb diwujudkan dengan penyelamatan bank melalui PMS, yang diikuti upaya penyehatan lainnya.
Dalam UU PPKSK, LPS diberi tambahan pilihan metode resolusi bank selain PMS, yakni: mengalihkan sebagian/seluruh aset dan/atau kewajiban bank gagal kepada bank lain (purchase & assumption) atau kepada bank perantara (bridge bank).
Program Restrukturisasi Perbankan
Selain itu, UU PPKSK juga mengamanatkan tambahan tugas baru kepada LPS yang sangat strategis dalam menunjang kestabilan dan kesinambungan sistem keuangan/perbankan kita. Apabila dalam kondisi krisis sistem keuangan dan terjadi permasalahan sektor perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, KSSK merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP). LPS ditetapkan sebagai penyelenggara PRP tersebut.
Dalam penyelenggaraan PRP tersebut, LPS mendapat dukungan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Dana penyelenggaraan PRP berasal dari: (a) pemegang saham bank atau pihak lain berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang tertentu menjadi modal; (b) hasil pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal dari aset dan kewajiban bank yang ditangani; (c) kontribusi industri perbankan; dan/atau (d) pinjaman yang diperoleh LPS dari pihak lain.
LPS bertanggung jawab atas pengelolaan serta penatausahaan aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari penyelenggaraan PRP. LPS harus memisahkan pencatatan aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari penyelenggaraan PRP dari aset dan kewajiban yang diperoleh atau berasal dari pelaksanaan fungsi dan tugas LPS berdasarkan UU LPS. Dalam pelaksanaan PRP tersebut, LPS mendapatkan tambahan kewenangan yang luas.
Integrated Protection Scheme
Pada tingkat global, saat ini berkembang gagasan untuk membangun sistem penjaminan yang terintegrasi dalam rangka memberikan perlindungan terhadap seluruh konsumen jasa keuangan yg disebut sebagai Integrated Protection Scheme (IPS).
IPS terdiri dari penjaminan simpanan nasabah bank (Deposit Insurance Scheme/DIS), penjaminan pemegang polis asuransi (Insurance Guarantee Scheme/IGS), dan penjaminan dana investor (Investor Compensation Scheme/ICS).
Pengembangan IPS tersebut didasari pertimbangan makin komplek dan terintegrasinya produk jasa keuangan yang dijual kepada masyarakat yang dapat mengandung gabungan unsur simpanan, asuransi, dan/atau investasi.
Dari sisi kelembagaan, terdapat pula kecenderungan perusahaan jasa keuangan memiliki anak perusahaan yang bergerak pada industri jasa keuangan yang berbeda kegiatan usahanya (konglomerasi). Selain itu, beberapa waktu terakhir terdapat pula kecenderungan untuk menerapkan pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang terintegrasi.
Dalam menghadapi perkembangan global tersebut, penjamin simpanan dipandang perlu meningkatkan kesiapannya dalam menghadapi krisis sistem keuangan dan memperluas lingkup perlindungannya terhadap konsumen jasa keuangan lain, sehingga dapat berkontribusi nyata dalam memelihara stabilitas sistem keuangan. Penerapan IPS merupakan satu opsi kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Beberapa negara yang telah menerapkan IPS tersebut antara lain:
FSCS-UK dan KDIC-Korea menjamin sekaligus simpanan nasabah bank, polis asuransi, dan dana investasi;
MDIC-Malaysia dan SDIC-Singapura menjamin simpanan nasabah bank dan polis asuransi; dan
Esisuisse-Swiss menjamin simpanan nasabah bank dan dana investasi.
Di Indonesia, LPS telah melaksanakan penjaminan simpanan nasabah bank sejak tahun 2005. Untuk penjaminan dana investor, pada tahun 2014 telah didirikan PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia (P3IEI) atau Indonesia Securities Investor Protection Fund (SIPF).
Lingkup penjaminan dana investor pada saat ini sebesar Rp100 juta per investor pada setiap perusahaan peserta/anggota penjaminan. Penjaminan tersebut untuk melindungi dana investor pasar modal dalam hal terjadi pembobolan atau penyalahgunaan dana oleh perusahaan sekuritas, bukan penjaminan atas risiko atau kerugian investasi.
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Penyelenggaraan program penjaminan polis tersebut akan diatur dengan undang undang yang harus ditetapkan paling lama 3 tahun sejak UU Perasuransian diundangkan atau paling lambat 17 Oktober 2017.
Dalam pembahasan UU Perasuransian tersebut, muncul gagasan untuk menunjuk LPS sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi dengan alasan antara lain: tidak perlu membentuk lembaga baru, LPS sudah berpengalaman mengelola penjaminan simpanan nasabah bank, dan agar terdapat keselarasan kebijakan antara penjaminan simpanan nasabah bank dengan penjaminan polis asuransi.
Penunjukan pelaksana program penjaminan polis asuransi tersebut masih akan menunggu penetapan UU dimaksud.
Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. Selain itu, keberadaan program penjaminan polis dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi.
Beyond Penjaminan
Dengan pelaksanaan fungsi sesuai UU LPS, tambahan mandat sebagai penyelenggara PRP, serta kemungkinan tambahan tugas sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi, LPS akan memiliki fungsi, tugas, dan wewenang yang jauh lebih luas dari sekedar sebutan namanya sebagai penjamin simpanan.
Kita mungkin pernah mendengar tagline “beyond marketing” yang digunakan konsultan pemasaran untuk menunjukkan bahwa mereka menyediakan jasa yang lebih luas dari sekedar pemasaran dan penjualan.
Sebuah perusahaan konstruksi juga menggunakan tagline “beyond construction” untuk menunjukkan reposisi dan rebranding perusahaannya yang tidak sekedar berkutat pada konstruksi bangunan.
Tidak ketinggalan industri perbankan syariah juga menggunakan tagline “beyond banking” untuk menunjukkan luasnya jangkauan produk perbankan yang mereka tawarkan melampaui produk perbankan yang konvensional.
Melihat peran strategisnya dalam mendukung dan memelihara stabilitas sistem keuangan, LPS tentu saja dapat memposisikan diri dan layak menyandang predikat “Beyond Penjaminan”.
05 February 2017
Ragam Sistem Penjaminan Simpanan
Sesuai dengan tujuan kebijakan publik (public policy objective/PPO) yang ditetapkan, sistem penjaminan simpanan memiliki beragam variasi di banyak negara. Berbeda dengan bank sentral atau pengawas bank yang umumnya memiliki wewenang dan tanggung jawab yang relatif seragam di berbagai negara, desain sistem penjamin simpanan antara satu negara dengan negara lainnya seringkali tidak dapat diperbandingkan satu sama lain.
Pilihan desain penjamin simpanan dipengaruhi banyak faktor, utamanya faktor mandat dan PPO. Faktor selain itu diantaranya struktur dan sistem perbankan, sistem perekonomian, hukum kebangkrutan atau kepailitan, serta sistem akuntansi dan keterbukaan informasi.
Berikut beberapa ragam variasi desain sistem penjamin simpanan:
Implisit atau Eksplisit
Suatu negara dapat memilih memberikan penjaminan secara implisit terhadap simpanan yang ada pada perbankannya. Pada pilihan ini, tidak ada peraturan perundangan atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani penjaminan simpanan.
Namun dalam kondisi sistem perekonomian yang memburuk atau apabila terjadi kegagalan bank yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem perbankan, negara tersebut dapat mengaktivasi pemberian penjaminan terhadap kewajiban bank, baik untuk penjaminan simpanan dalam jumlah terbatas (limited guarantee) maupun penjaminan menyeluruh (blanket guarantee).
Dalam penjaminan secara implisit, industri perbankan tidak terbebani oleh pembayaran premi dan pemenuhan persyaratan atau kewajiban penjaminan lainnya di muka. Akan tetapi tidak adanya mekanisme formal yang dapat mempercepat nasabah mendapatkan kembali simpanannya jika bank dicabut izinnya, mengharuskan setiap nasabah untuk selalu memonitor kondisi keuangan bank dan pada kondisi tertentu hal tersebut dapat menyebabkan nasabah menjadi rentan dan mudah panik.
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, praktek terbaik penjaminan simpanan saat ini dilakukan secara eksplisit dengan menetapkan peraturan perundangan dan membentuk/menugaskan lembaga tertentu sebagai pelaksana penjaminan.
Blanket Guarantee atau Limited Guarantee
Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan akan terjaga pada titik tertinggi apabila negara memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank. Namun untuk mendapat manfaat maksimal tersebut perlu pula mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan. Penjaminan menyeluruh akan dapat memberi beban terhadap keuangan negara, selain dapat pula menimbulkan moral hazard.
Dalam hal pembiayaan blanket guarantee dibebankan kepada industri perbankan, premi penjaminan yang dibayar bank akan menjadi relatif tinggi. Oleh karena itu, pembiayaan blanket guarantee umumnya didukung pendanaan dari Pemerintah.
Sebagai dampak samping blanket guarantee, bankir cenderung menjadi kurang hati-hati dalam mengelola usahanya, sementara nasabah tidak terdorong untuk memonitor kondisi keuangan bank di mana simpanannya ditempatkan. Blanket guarantee umumnya hanya diterapkan sementara ketika suatu negara menghadapi krisis atau gangguan pada stabilitas sistem perbankannya.
Sistem penjaminan simpanan sampai jumlah tertentu (limited guarantee) merupakan upaya untuk mengurangi dampak samping dari blanket guarantee. Nasabah kecil yang umumnya tidak mempunyai akses informasi dan kemampuan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan suatu bank perlu dilindungi. Nasabah ini seringkali bereaksi berlebihan terhadap rumors mengenai keadaan suatu bank yang dapat menimbulkan bank runs atau sebaliknya terlambat mengambil tindakan untuk menyelamatkan simpanannya.
Penjaminan terbatas merupakan praktek terbaik yang diterapkan di banyak negara dan merupakan Core Principles yang menjadi indikator efektifitas suatu sistem penjaminan simpanan.
Lembaga Pemerintah, Swasta, atau Gabungan
Pengelola penjaminan simpanan dapat merupakan lembaga Pemerintah, swasta, atau gabungan. Apabila dipilih lembaga Pemerintah sebagai pelaksana penjaminan, dapat dilakukan dengan membentuk lembaga khusus tersendiri atau membentuk unit pada lembaga pengawas perbankan, bank sentral, atau kementerian keuangan.
Sedangkan penjamin simpanan yang dilaksanakan oleh lembaga yang berstatus swasta murni pada umumnya pembentukannya dilakukan oleh asosiasi perbankan.
Status lembaga penjamin simpanan dapat pula merupakan lembaga gabungan dengan memasukkan unsur dari Pemerintah dan swasta.
Pemilihan bentuk lembaga sebagai pelaksana penjaminan sangat tergantung pada mandat yang diberikan pada lembaga tersebut. Di beberapa negara yang mempunyai kebijakan membatasi peran Pemerintah dalam dunia usaha, lembaga penjaminan dirancang hanya bertugas membayar klaim penjaminan simpanan dan dikelola oleh asosiasi perbankan.
Namun apabila penjamin simpanan dirancang memiliki wewenang yang lebih luas, termasuk misalnya memiliki beberapa kewenangan publik atau quasi judisial, pelaksanaan penjaminan akan dilakukan oleh lembaga Pemerintah.
Pay Box atau Risk Minimizer
Ditinjau dari sisi mandatnya, penjamin simpanan dapat bervariasi dari yang bermandat hanya melakukan pembayaran klaim (paybox); melakukan pembayaran klaim penjaminan dan fungsi resolusi bank (paybox plus); melakukan pembayaran klaim penjaminan dan berperan aktif dalam pemilihan opsi resolusi sebagai upaya meminimalkan biaya kegagalan bank (loss minimizer), sampai melakukan langkah yang komprehensif untuk meminimal risiko kegagalan bank (risk minimizer).
Sebagai risk minimizer, penjamin simpanan tidak hanya melakukan pembayaran klaim penjaminan, melaksanakan fungsi resolusi bank, dan meminimalkan biaya kegagalan bank, melainkan juga melakukan pengawasan prudensial dan melakukan intervensi terhadap bank bermasalah.
Perbedaan mandat tersebut dapat berimplikasi pada struktur organisasi, tata kelola, program penjaminan, pendanaan, serta wewenang yang dimiliki oleh penjamin simpanan.
03 February 2017
Asymmetric Information
Persepsi pasar terhadap suatu bank dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan dan kelengkapan data/informasi bank, serta kemampuan nasabah penyimpan, kreditur, serta investor dalam menilai kondisi bank berdasarkan data/informasi yang tersedia.
Bank merupakan pihak yang paling mengetahui mengenai kondisi keuangannya termasuk prospek dan risiko yang dihadapinya, dibandingkan nasabah penyimpan, kreditur, dan investor. Untuk mengatasi ketidakseimbangan atau kesenjangan informasi (asymmetric information) tersebut, harus ada mekanisme yang mewajibkan bank mengungkapkan (disclose) semua fakta material mengenai kondisi keuangannya. Nasabah penyimpan akan menghadapi risiko simpanannya tidak dapat kembali tepat waktu dan/atau tepat jumlah apabila kondisi keuangan bank memburuk yang dapat berakhir pada pencabutan izin usaha bank tersebut.
Pada dasarnya risiko yang dihadapi nasabah penyimpan karena adanya asymmetric information tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua tipe/jenis, yakni: Pertama, bank mengungkapkan semua fakta material mengenai kondisi keuangannya, namun nasabah tidak mempunyai pengetahuan atau kemampuan untuk memahami informasi yang diungkapkan; dan Kedua, bank mengungkapkan informasi yang tidak benar mengenai kondisi keuangannya.
Sistem penjaminan simpanan dirancang dan ditujukan untuk dapat melindungi nasabah penyimpan yang memiliki simpanan sampai jumlah tertentu (nasabah kecil) dari kedua tipe/jenis risiko tersebut. Sedangkan nasabah yang memiliki simpanan lebih besar dari jumlah yang dijamin (nasabah besar) diharapkan dapat melakukan analisa data/informasi bank, mengukur risiko penempatan dananya pada bank tersebut, serta melakukan upaya untuk melindungi dirinya sendiri.
Dalam perspektif penjaminan simpanan, terdapat beberapa kebijakan/program yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan disiplin pasar, antara lain; pembatasan jumlah yang dijamin; pembatasan jenis yang dijamin; pembatasan pihak yang dijamin; koasuransi; dan pengaturan prioritas pembagian hasil likuidasi bank.
Adanya pembatasan jumlah simpanan yang dijamin menyebabkan nasabah yang simpanannya melebihi jumlah yang dijamin akan menghadapi risiko kerugian apabila bank tempat mereka menempatkan simpanannya ditutup karena sebagian simpanannya tidak dijamin. Oleh karena itu, nasabah besar akan terdorong untuk selalu memonitor kondisi dan kinerja bank.
Penjamin simpanan dapat pula tidak menjamin jenis simpanan tertentu yang dipandang lebih sebagai sarana investasi (investment tools) atau hanya dimiliki kategori nasabah tertentu saja, misalnya NCD, structured deposits, dan simpanan dalam valuta asing. Peningkatan disiplin pasar dapat pula dilakukan dengan mengecualikan penjaminan terhadap simpanan milik pihak yang dipandang memiliki kemampuan melakukan analisa kondisi bank, seperti : bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan perusahaan sekuritas. Para institutional investors tersebut dipandang mampu melindungi dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan perlindungan dari sistem penjaminan simpanan.
Penerapan koasuransi juga dimaksudkan sebagai upaya mendorong disiplin pasar. Koasuransi dalam penjaminan simpanan diartikan sebagai pembagian risiko antara nasabah penyimpan dengan penjamin simpanan. Dalam penetapan lingkup penjaminan, setiap nasabah penyimpan dirancang ikut menanggung sebagian risiko atas pilihan penempatan dananya pada bank tertentu. Sebagai misal, lingkup penjaminan ditetapkan maksimal Rp1 milyar dengan koasuransi 90%, artinya nasabah yang memiliki simpanan Rp500 juta hanya akan dijamin sebesar Rp450 juta (90%), sementara yang Rp50 juta (10%) tidak dijamin dan dipandang sebagai risiko yang harus ditanggung oleh nasabah atas keputusannya menempatkan simpanan pada bank tersebut.
Dalam penetapan prioritas pembagian hasil likuidasi bank (creditor hierarchy atau depositor preference), pihak yang diharapkan melakukan disiplin pasar ditempatkan pada prioritas yang lebih rendah. Posisi nasabah penyimpan yang telah dibayar penjaminannya lazimnya digantikan oleh penjamin simpanan (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Nasabah penyimpan yang dijamin akan ditetapkan memiliki prioritas dibandingkan nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan unsecured creditur lain, dalam hal pihak yang disebut belakangan diharapkan melakukan disiplin pasar.
Sebaliknya seluruh nasabah penyimpan dapat pula ditetapkan memiliki prioritas yang sama dalam pembagian hasil likuidasi bank dengan unsecured creditur lainnya (pari passu), dalam hal tidak diharapkan disiplin pasar dari mereka.
Dalam penjaminan LPS, hanya diterapkan 2 kebijakan dalam rangka mendorong disiplin pasar, yakni; (1) pembatasan jumlah simpanan yang dijamin maksimal Rp 2 milyar per nasabah per bank, dan (2) penetapan hak subrogasi LPS memiliki prioritas dibanding pembayaran simpanan yang tidak dijamin dan kewajiban kepada kreditur lain dalam pembagian hasil likuidasi bank.
Untuk butir (2), selain dimaksudkan untuk mendorong nasabah penyimpan yang tidak dijamin dan kreditur lain melakukan disiplin pasar, juga dimaksudkan untuk meningkatkan recovery rate bagi LPS sehingga biaya penjaminan simpanan dapat ditekan. Melalui peningkatan penerapan manajemen risiko, tata kelola yg baik, disiplin pengaturan, dan disiplin pasar diharapkan moral hazard pada perbankan dapat tercegah sehingga pada akhirnya akan dapat terbentuk sosok perbankan yang lebih sehat, stabil, serta bermanfaat bagi rakyat banyak. *****
02 February 2017
Moral Hazard & Disiplin Pasar
Moral hazard merupakan insentif untuk mengambil risiko yang lebih besar atau tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan karena adanya pihak lain yang mengambil alih risiko yang dihadapinya. Istilah ini sering digunakan pada industri perasuransian.
Dalam bahasa sederhana, moral hazard dapat terjemahkan sebagai perilaku sembrono dari seseorang karena merasa ada pihak lain yang akan menanggung risiko yang timbul akibat tindakan/keputusan-nya.
Adanya penjamin simpanan dipandang dapat menyebabkan nasabah penyimpan menjadi abai terhadap kondisi kesehatan bank tempat menyimpan uangnya, serta pengelola bank dapat terdorong mengambil risiko berlebihan karena merasa telah membayar premi penjaminan dan mengalihkan (sebagian) risikonya kepada penjamin simpanan.
Moral hazard paling besar bagi nasabah penyimpan dan pengelola bank terjadi apabila penjaminan diberikan terhadap seluruh kewajiban bank (blanket guarantee).
Untuk mengatasi efek samping penjaminan simpanan tersebut, penjaminan simpanan harus didisain dengan mempertimbangkan bauran kebijakan (policy mix) yang pas dan tepat antara tujuan melindungi simpanan nasabah dengan mencegah moral hazard.
Lingkup penjaminan jangan ditetapkan terlalu rendah/sempit agar sebagian terbesar nasabah penyimpan dapat terlindungi, namun jangan pula ditetapkan terlalu tinggi/luas agar tidak mendorong moral hazard bagi nasabah dan pengelola bank.
Secara umum upaya mencegah moral hazard dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni manajemen risiko dan tata kelola yang baik (risk management & good governance); disiplin pengaturan (regulatory discipline); dan disiplin pasar (market discipline).
Adanya penerapan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dapat membantu bank memastikan arah dan strateginya sesuai dan konsisten dengan yang direncanakan. Hal tersebut akan mencegah pengelola bank melakukan tindakan yang melampaui derajat risiko (risk appetite dan risk tolerance) yang telah digariskan.
Dalam menghadapi persaingan atau mengejar laba, pengelola bank dapat tergoda untuk mengabaikan manajemen risiko dan tata kelola yang baik dengan memangkas sumber daya pengawasan internal atau meniadakan prosedur tertentu dalam pengendalian risiko.
Disiplin pengaturan merupakan satu upaya dengan menggunakan kewenangan publik guna mengurangi insentif bank mengambil risiko yang berlebihan.
Pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan disiplin pengaturan antara lain: pengawas bank, bank sentral, pengawas transaksi keuangan, pengawas pasar modal, dan penjamin simpanan.
Kewenangan masing-masing otoritas tersebut lazimnya diberikan berdasarkan undang-undang. Dengan menggunakan kewenangan publik, disiplin pengaturan dipandang merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah moral hazard.
Beberapa contoh bentuk disiplin pengaturan yang menjadi wewenang pengawas bank antara lain berupa pengaturan persyaratan permodalan dan tingkat kesehatan bank, serta uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) pengelola bank.
Sedangkan contoh bentuk disiplin pengaturan yang dapat dilakukan penjamin simpanan berupa penerapan sistem premi diferensial atau premi penjaminan berbasis risiko. Penerapan tingkat premi yang didasarkan pada risiko kegagalan masing-masing bank juga merupakan bentuk intervensi dini (early intervention) penjamin simpanan dalam mengendalikan perilaku bank yang berisiko.
Sedangkan disiplin pasar merupakan tindakan yang dilakukan masyarakat, utamanya nasabah penyimpan, kreditur, serta investor dalam hal bank telah go public, untuk mendisiplinkan bank. Tindakan disiplin tersebut dilakukan terhadap bank yang dipersepsikan mengambil risiko terlalu besar atau melakukan tindakan yang dipandang tidak sejalan dengan kepentingan nasabah penyimpan, kreditur, atau investor.
Disiplin pasar dapat diwujudkan antara lain dengan menarik/memindahkan simpanan, atau menjual surat utang, obligasi, dan saham yang diterbitkan bank tersebut.
Rush dan Bank Runs, apa dampaknya?
Beberapa waktu lalu media sosial kita dihebohkan dengan adanya seruan untuk melakukan rush, suatu tindakan yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem perbankan.
Sebagaimana dimaklumi, peran bank dalam perekonomian modern adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediary). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan), mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sumber pendanaan bank utamanya berasal dari penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, deposito yang selanjutnya menjadi kewajiban bank yang umumnya mempunyai masa jatuh tempo jangka pendek. Sedangkan sebagian terbesar aset bank berupa penyaluran kredit yang pada umumnya mempunyai masa jatuh tempo jangka panjang.
Dengan karakteristik tersebut, apabila masyarakat menilai suatu bank menghadapi permasalahan, baik nyata maupun hanya persepsi, dan kemudian bereaksi secara bersamaan menarik simpanannya (rush atau bank runs), dapat dipastikan bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas karena bank hanya memelihara aset likuid dalam jumlah terbatas.
Pada kondisi tersebut, bank tidak dapat meminta debitur untuk segera melunasi kredit yang belum jatuh tempo. Untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya, bank akan menjual asetnya yang seringkali dengan harga relatif murah (fire sale) karena bank dalam kondisi tertekan; atau meminjam kepada bank lain dengan bunga relatif tinggi karena bank lain memperhitungkan risiko pengembaliannya; atau meminjam kepada bank sentral dengan memenuhi beberapa persyaratan dan jaminan.
Pada galibnya, rush atau bank runs dapat menyebabkan suatu bank yang sehat sekalipun akan menjadi tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Kesulitan pada satu bank berpotensi menyebabkan efek berantai (contagion effect) pada bank-bank lain, mengingat dalam kondisi panik nasabah sulit membedakan antara bank sehat dan bank yang bermasalah.
Pengaruh bank runs dalam sistem perbankan dan perekonomian ditentukan oleh tindak lanjut yang dilakukan nasabah setelah penarikan dana tersebut.
Ada tiga kemungkinan tindakan yang diambil nasabah sesuai kepercayaannya pada sistem perbankan, yaitu:
1. Menyimpan dananya pada bank lain yang dipersepsikan lebih sehat (direct redeposit).Pilihan ini akan berpengaruh pada likuiditas satu bank namun tidak berpengaruh terhadap likuiditas sistem perbankan secara keseluruhan.
2. Mengalihkan dananya pada instrumen investasi lain seperti saham, obligasi, reksadana,atau pasar uang. Pilihan ini akan berpengaruh pada likuiditas sistem perbankan meskipun ada kemungkinan perusahaan sekuritas akan menempatkan kembali dana tersebut kedalam sistem perbankan (indirect redeposit).
3. Menggunakan dananya untuk membeli barang konsumsi, membeli valuta asing, atau menyimpan dananya di bawah bantal atau di luar negeri. Pilihan ini akan dapat mengurangi likuiditas sistem perbankan secara signifikan, meningkatkan angka inflasi, serta dapat memperlemah nilai tukar.
Apabila kepercayaan masyarakat sudah sedemikian rendah sehingga sebagian besar masyarakat memilih tindakan yang ketiga, maka akan terasa bahwa harga atau nilai kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan itu ternyata sangat mahal, sebagaimana yang pernah kita alami pada krisis tahun 1997/1998.
Upaya melindungi nasabah bank, mencegah rush atau bank runs, dan memelihara stabilitas sistem perbankan merupakan beberapa di antara tujuan kebijakan publik dari sistem penjaminan simpanan. Dengan adanya penjaminan simpanan diharapkan nasabah akan dapat menjadi tenang, merasa aman, dan tidak tergoda untuk melakukan rush. *****