Pada tanggal 22 September 2016 ini, LPS akan genap berusia 11 tahun dalam kiprahnya melaksanakan penjaminan simpanan nasabah bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. Dalam kurun waktu tersebut, lebih dari 70 bank telah dibayar klaim penjaminannya dan dilikuidasi, serta 1 bank diselamatkan. Berikut akan dipaparkan sekelumit sejarah sistem penjaminan simpanan, termasuk kilas balik kelahiran LPS.
Penjaminan simpanan awal mulanya dapat dirunut pada penetapan the Banking Act yang ditandatangani oleh Presiden Amerika SerikatFranklin D. Roosevelt pada 16 Juni 1933. Dalam the Banking Act tersebut diamanatkan pembentukan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan memulihkan stabilitas sistem perbankan yang mengalami guncangan akibat the Great Depression.
Pemberlakuan penjaminan kewajiban bank sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah negara bagian di Amerika Serikat beberapa dekade sebelumnya, namun pelaksanaan penjaminan tersebut tidak berkesinambungan akibat tingginya angka kegagalan bank. Jumlah rata-rata kegagalan bank di Amerika Serikat antara tahun 1921 – 1929 mencapai sekitar 600 bank per tahun. Gelombang kegagalan bank tersebut telah mendorong masyarakat untuk menarik simpanannya dari sistem perbankan (bank runs).
Dalam rangka mengantisipasi kebutuhan likuiditasnya, bank membatasi penyaluran kredit dan menjual asetnya. Penjualan aset dalam kondisi krisis menyebabkan harga jualnya jatuh dan semakin memperburuk kinerja bank. Sementara itu dampak penarikan dana masyarakat semakin meluas. Pada akhirnya banyak bank yang mengalami permasalahan solvabilitas dan ditutup. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Pada kesempatan penandatanganan the Banking Act tersebut, President F.D. Roosevelt menyampaikan pidato yang kutipannya terkenal hingga kini.
“After all, there is an element in the readjustment of our financial system more important than currency, more important than gold, and that is the confidence of the people.”
Sejak berdirinya FDIC, beberapa negara mulai mempertimbangkan perlu dan pentingnya fungsi penjaminan simpanan dalam mendukung stabilitas sistem perbankan. Namun pada waktu itu belum banyak negara yang secara formal mengikutinya dengan mendirikan lembaga sejenis. Beberapa lembaga sejenis yang tercatat didirikan setelah FDIC antara lain : Deposit Insurance and Credit Guarantee Corporation (DICGC) – India pada tahun 1961, Philippines Deposit Insurance Corporation (PDIC) pada tahun 1963, Canada Deposit Insurance Corporation (CDIC) pada tahun 1967, dan Deposit Insurance Corporation of Japan (DICJ) pada tahun 1971.
Di Indonesia sendiri gagasan pembentukan lembaga sejenis telah ada pada tahun 1968 sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 30 UU Bank Sentral Nomor 13 Tahun 1968 yang menyebutkan bahwa “Dalam rangka pembinaan perbankan, maka jika keadaannya telah memungkinkan, untuk lebih menjamin uang fihak ketiga yang dipercayakan kepada bank-bank, dapat diadakan suatu asuransi deposito dengan tujuan pembinaan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.”
Sebagai pelaksanaan dari ketentuan UU Bank Sentral tersebut, ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang Pada Bank yang mengatur bahwa semua bank kecuali bank asing diwajibkan menjaminkan simpanan yang berbentuk giro, deposito, maupun tabungan. Bank Indonesia bertindak sebagai pelaksana penjaminan dengan jumlah simpanan yang dijamin untuk tiap deposan paling tinggi sebesar Rp1 juta dan premi penjaminan sebesar 0,5% (lima perseribu) dari jumlah simpanan yang ada pada bank. PP tersebut tidak terlaksana dan diterapkan pada waktu itu terutama karena adanya penolakan dari industri perbankan dengan alasan akan menimbulkan biaya tambahan, sementara industri perbankan masih dalam tahap konsolidasi.
Pada tahun 1997/1998, negara kita mengalami krisis yang berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional yang ditandai dengan penarikan dana masyarakat dari sistem perbankan secara bersamaan dalam jumlah besar. Untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat, Pemerintah memberikan penjaminan terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank (blanket guarantee). Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keppres Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pemerintah kemudian membentuk BPPN pada tahun 1998 yang salah satu tugasnya sebagai pelaksana penjaminan kewajiban pembayaran bank umum sampai tanggal 27 Pebruari 2004. Setelah itu, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 17 Tahun 2004 penjaminan bank umum dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3) yang merupakan unit di lingkungan Departemen Keuangan sebelum dialihkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan pelaksanaan penjaminan terhadap kewajiban pembayaran BPR sejak 1998 dikelola oleh Bank Indonesia sampai kemudian dialihkan kepada LPS.
Gagasan pendirian lembaga penjamin simpanan kembali dimunculkan dalam pembahasan amandemen UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada tanggal 10 Nopember 1998, Pemerintah menetapkan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal 37B UU Perbankan tersebut ditetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana masyarakat tersebut dibentuk suatu lembaga penjamin simpanan. Pembentukan lembaga penjamin simpanan dan skim penjaminannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai tindak lanjut ditetapkannya UU Perbankan tersebut, Departemen Keuangan bekerjasama dengan Bank Indonesia melakukan telaah dan kajian untuk mempersiapkan pembentukan lembaga penjamin simpanan. Pada tanggal 26 Januari 2001, Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 30/KMK.017/2001 mengenai pembentukan Kelompok Kerja Dalam Rangka Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (Pokja Pendirian LPS) yang beranggotakan unsur dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan BPPN. Pokja Pendirian LPS bertugas melakukan kajian mengenai pembentukan LPS, mempersiapkan rancangan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pendirian LPS, serta mempersiapkan pendirian dan operasional LPS.
Sesuai amanat UU Perbankan, pembentukan lembaga penjamin simpanan dan pengaturan skim penjaminannya diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam PP. Namun Pokja Pendirian LPS berpandangan pendirian dan pengaturan mengenai LPS dan skim penjaminannya kurang memadai apabila hanya ditetapkan dengan PP. Berdasarkan hasil telaah dan kajian, serta berdasarkan pengalaman negara lain, disimpulkan bahwa pengaturan mengenai lembaga dan program penjaminan simpanan harus ditetapkan dengan UU. Agar pelaksanaan penjaminan simpanan dapat efektif dan berkesinambungan, penjamin simpanan harus mempunyai kewenangan publik yang hanya dapat diberikan dengan undang-undang, antara lain untuk memungut premi, membayar klaim penjaminan, melakukan penyelesaian dan penanganan bank gagal, membatalkan kontrak yang merugikan bank gagal yang diselamatkan, mengambil alih hak dan wewenang RUPS, serta mengenakan sanksi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Menteri Keuangan mengajukan permohonan izin prakarsa penyusunan rancangan undang-undang tentang lembaga penjamin simpanan yang kemudian mendapatkan persetujuan dari Presiden pada 24 Desember 2001. Setelah melalui pembahasan yang panjang dan bernas, Pemerintah menyampaikan Rancangan UU (RUU) LPS kepada DPR pada bulan Nopember 2003 untuk mendapat persetujuan.
Pembahasan RUU LPS dengan DPR dimulai pada awal Pebruari 2004 yang juga melibatkan Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya sebagai narasumber. Pada tanggal 24 Agustus 2004 Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU LPS dan mengajukan kepada Presiden untuk ditetapkan. Dengan ditetapkannya UU LPS oleh Presiden pada tanggal 22 September 2004, pelaksanaan penjaminan simpanan nasabah bank di Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang kuat. UU LPS mulai berlaku efektif 12 bulan setelah diundangkan.
Dalam masa peralihan menuju penjaminan LPS, Pemerintah pada tanggal 18 Oktober 2004 menetapkan Keppres Nomor 95 tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Keppres Nomor 26 Tahun 1998 yang mengatur mengenai pengurangan lingkup dan pengakhiran program penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum. Sedangkan untuk pengakhiran penjaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran BPR, Pemerintah pada tanggal 23 Mei 2005 menetapkan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2005.
Dalam rangka mempersiapkan operasional LPS, Pokja Pendirian LPS melakukan beberapa persiapan sebagai berikut: Pertama, penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan dari UU LPS yang meliputi rancangan Peraturan Pemerintah mengenai modal awal, surplus dan tingkat likuiditas LPS, serta penjaminan simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah; rancangan Peraturan LPS mengenai program penjaminan, penyelesaian dan penanganan bank gagal, serta likuidasi bank; dan rancangan Keputusan Dewan Komisioner mengenai struktur organisasi, kepegawaian, anggaran dan pelaporan, serta prosedur operasional; Kedua, penyiapan sistem informasi dan database bank yang meliputi juga data profil bank, direksi, komisaris, pemegang saham, dan data keuangan; Ketiga, memproses penetapan anggota Dewan Komisioner, penyusunan struktur organisasi, dan sistem kepegawaian; Keempat, penyusunan sistem akuntansi dan anggaran LPS. Sedangkan dalam rangka komunikasi publik, Pokja Pendirian LPS membuat iklan layanan masyarakat di media massa dan melakukan sosialisasi kepada bank umum, BPR, serta masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mengenai LPS, program penjaminan simpanan, dan pentahapan pengurangan penjaminan.
Pokja Pendirian LPS melakukan sosialisasi kepada BPR di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk bank umum selain sosialisasi juga dilakukan pelatihan training for trainers. Dengan berakhirnya program penjaminan Pemerintah pada tanggal 21 September 2005, penjaminan simpanan selanjutnya dilaksanakan oleh LPS. Dalam UU LPS diatur mengenai pentahapan pengurangan nilai simpanan yang dijamin oleh LPS, yakni seluruh simpanan nasabah sejak 22 September 2005, sebesar Rp5 milyar sejak 22 Maret 2006, Rp1 milyar sejak 22 September 2006, dan Rp100 juta sejak 22 Maret 2007. *****
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago