Beberapa waktu terakhir ramai diberitakan di media massa mengenai desakan masyarakat agar suku bunga kredit dapat diturunkan seiring dengan penurunan BI Rate. Dalam pemberitaan tersebut, suku bunga penjaminan (SBP) LPS yang lebih tinggi dibanding BI Rate dipandang sebagai salah satu unsur penyebab belum dapat turunnya suku bunga kredit tersebut. Bagaimana duduku persoalan sebenarnya dari permasalahan suku bunga tersebut, berikut uraiannya.
Suku Bunga Penjaminan LPS
Pasal 19 UU LPS mengatur bahwa klaim penjaminan dinyatakan tidak layak bayar apabila berdasarkan hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi:
a) data simpanan nasabah dimaksud tidak tercatat pada bank;
b) nasabah penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar; dan/atau
c) nasabah penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak sehat.
Dalam penjelasan Pasal 19 huruf b tersebut dinyatakan bahwa nasabah penyimpan yang merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar misalnya nasabah yang memperoleh hasil bunga jauh di atas tingkat pasar. Berdasarkan ketentuan tersebut, LPS menetapkan SBP sebagai acuan bagi nasabah dan bank mengenai suku bunga wajar yang memenuhi kriteria dalam program penjaminan. Simpanan yang memperoleh suku bunga melebihi SBP dinyatakan sebagai simpanan yang tidak layak bayar.
BI Rate
Bank Indonesia menetapkan BI Rate secara periodik yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter. Pertimbangan utama penetapan BI rate adalah untuk menjaga agar tingkat inflasi pada periode tertentu konsisten dengan tingkat inflasi yang telah ditargetkan (anchoring inflation expectations). Berdasarkan pertimbangan tersebut, perubahan BI Rate dilakukan jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia pada setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
Upaya Menurunkan Suku Bunga Kredit
Dalam rangka memenuhi harapan banyak pihak, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong ekspansi sektor riil, di antaranya dengan menurunkan BI Rate. Dalam pelaksanaannya, BI menemukan bahwa transmisi kebijakan moneter dari BI Rate ke suku bunga pasar uang, ke suku bunga deposito, dan pada akhirnya ke suku bunga kredit perbankan tidak berjalan sesuai harapan. Sejak awal tahun 2009, BI Rate telah diturunkan sebesar 300 basis poin namun suku bunga kredit turun kurang dari 150 basis poin.
Penyebab adanya distorsi dari transmisi kebijakan tersebut sebagian diarahkan kepada SBP LPS, karena perbankan lebih mengacu pada SBP LPS dalam penetapan suku bunga deposito yang merupakan unsur utama biaya dana perbankan. Namun kalau dicermati, SBP LPS sebenarnya dalam kurun waktu yang sama juga telah mengalami penurunan sebesar 300 basis poin, sama dengan penurunan BI Rate. Oleh karena itu, penyebab distorsi tersebut patut diduga bukan dari SBP LPS melainkan dari kondisi industri perbankan sendiri, antara lain ketidak-efisienan operasional (banyak2an ATM, hadiah, cashback), target laba dari pemilik, atau target deviden bagi bank BUMN, dll.
Dengan harapan untuk lebih membantu menurunkan suku bunga kredit kemudian muncul gagasan agar besarnya SBP LPS diupayakan sama dengan atau bahkan kalau bisa lebih rendah daripada BI Rate. Berdasarkan data yang ada, perbedaan terbesar SBP LPS untuk simpanan di bank umum dengan BI Rate pernah mencapai plus 75 basis poin atau minus 25 basis poin. Dalam perspektif makro, terdapat fenomena hubungan yang dilematis antara SBP dan BI Rate. Apabila SBP LPS lebih tinggi daripada BI Rate, beberapa pihak menganggap LPS menyebabkan biaya dana bagi perbankan menjadi relatif lebih tinggi sehingga tidak mendukung kebijakan suku bunga kredit rendah yang berguna untuk mendorong ekspansi bagi sektor riil. Sebaliknya, apabila SBP LPS lebih rendah daripada BI Rate, LPS akan dipandang menahan perbankan untuk memberikan kredit dan mendorong perbankan menempatkan dananya di BI dalam bentuk SBI, time deposit, dll yang pada akhirnya akan memperbesar biaya operasi moneter BI.
Dampak dan Pengaruh SBP LPS
Apabila dikaji lebih dalam, secara teoritis SBP LPS hanya akan berpengaruh pada simpanan yang berbentuk deposito, karena giro dan tabungan pada umumnya memberikan suku bunga yang lebih rendah dan relatif tidak terpengaruh besarnya SBP LPS. Berdasarkan data per 31 Desember 2011, dari nominal simpanan yang ada pada industri perbankan sebesar Rp2.830 triliun proporsi giro berjumlah sekitar Rp 663 triliun (23%), tabungan berjumlah sekitar Rp900 triliun (32%), dan deposito berjumlah sekitar Rp 1.258 triliun (45%). Sedangkan dari sisi jumah rekening yang ada pada industri perbankan sebanyak 101 juta rekening, yang berbentuk giro sebanyak 2,74 juta rekening (2,7%), tabungan sebanyak 95,80 juta rekening (94,4%), dan deposito sebanyak 2,95 juta rekening (2,9%). Sehingga secara teoritis jumlah simpanan yang terpengaruh SBP LPS sekitar 2,95 juta rekening dengan nominal Rp1.258 triliun. Apabila analisis tersebut dilanjutkan lagi dengan memperhitungkan simpanan yang bersaldo kurang atau lebih dari Rp 2 milyar, dengan asumsi nasabah yang memperhatikan SBP LPS hanya yang simpanannya sampai dengan Rp 2 milyar, jumlah rekening dan nominal deposito yang terpengaruh SBP LPS akan berkurang lagi setidaknya sampai separuhnya.
Dengan profil simpanan tersebut, serta adanya faktor-faktor lain seperti biaya overhead, margin laba, dan premi risiko sebagai pembentuk suku bunga kredit, belum dapat dipastikan bahwa kebijakan penetapan SBP LPS yang sama atau lebih rendah daripada BI Rate akan berkontribusi signifikan dalam menurunkan suku bunga kredit. Sementara kebijakan tersebut, kemungkinan menyebabkan bank yang tidak memiliki keunggulan kompetitif (IT, pelayanan, jaringan, modal) akan semakin sulit mengerahkan simpanan masyarakat tanpa memberi bunga lebih tinggi dari SBP LPS.
Kebijakan tersebut kiranya juga dapat mengundang pertanyaan dari nasabah penyimpan mengenai kriteria diuntungkan secara tidak wajar dan apakah SBP LPS telah ditetapkan jauh di atas tingkat bunga pasar sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang LPS. Apabila persoalan-persoalan tersebut tidak dikelola dengan baik maka kebijakan penetapan SBP LPS yang sama atau lebih rendah daripada BI Rate akan dapat menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa LPS hanya melindungi dengan setengah hati.
Abortion and guns in 2024 spotlight
1 year ago