04 November 2008

Menimbang Pros & Cons Pemberlakuan Penjaminan Penuh di Indonesia

Pada tanggal 13 Oktober 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam Perpu tersebut pada pasal 11 ayat (2) UU LPS ditambahkan satu prasyarat untuk mengubah jumlah simpanan yang dijamin yakni jika terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Sebelumnya dalam UU LPS terdapat 3 syarat untuk mengubah jumlah simpanan yang dijamin, yakni jika terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (rush); terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun; atau jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90 persen dari jumlah seluruh nasabah penyimpan. Selanjutnya dalam peraturan pelaksanaan Perpu tersebut ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 yang mengatur kenaikan jumlah simpanan yang dijamin dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar per nasabah per bank.

Selain komitmen untuk membail-out industri jasa keuangannya, menaikkan jumlah simpanan yang dijamin merupakan salah satu cara yang dilakukan banyak negara untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan serta melindungi sistem keuangan dari kebangkrutan. Beberapa negara seperti Amerika Serikat misalnya telah meningkatkan jumlah simpanan yang dijamin dari USD 100.000 menjadi USD 250.000. Sementara beberapa negara lainnya bahkan memberlakukan penjaminan penuh terhadap simpanan masyarakat yang ada di perbankan mereka. Dalam tulisan ini, istilah penjaminan penuh (full guarantee) merujuk pada penjaminan terhadap seluruh jumlah simpanan, untuk membedakan dengan istilah blanket guarantee yang merujuk pada penjaminan terhadap seluruh jumlah simpanan serta kewajiban bank yang lain.

Pada tanggal 16 Oktober 2008, dua negara tetangga kita Malaysia dan Singapura mulai memberlakukan penjaminan penuh terhadap simpanan yang ada di perbankan mereka. Kebijakan kedua negara tersebut sepertinya telah dikoordinasikan terlebih dahulu mengingat pemberlakuannya dimulai pada tanggal yang sama dan diakhiri pada waktu yang sama pula yakni 31 Desember 2010. Sebelumnya Australia yang dalam kondisi normal tidak mempunyai lembaga penjamin simpanan, juga telah mengumumkan menjamin seluruh simpanan masyarakat yang ada pada perbankan. Sedangkan Thailand yang baru mendirikan Deposit Insurance Agency pada awal 2008 masih memberlakukan tahapan penjaminan penuh pada saat ini.

Melihat pemberlakuan penjaminan penuh di negara-negara tetangga tersebut, kemudian muncul pandangan bahwa penjaminan sebesar Rp 2 Milyar per nasabah per bank yang mulai diberlakukan pada 13 Oktober 2008 menjadi tidak lagi memadai, sehingga memunculkan gagasan untuk memberlakukan penjaminan penuh di negara kita. Berikut ini beberapa pandangan yang melatar-belakangi gagasan untuk mendukung serta pandangan yang tidak mendukung pemberlakuan penjaminan penuh tersebut.

PROS

Usulan untuk memberlakukan penjaminan penuh terutama didasari oleh kekhawatiran bahwa nasabah kita akan terdorong untuk memindahkan dananya ke negara-negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura. Berdasarkan data per akhir Agustus 2008, dengan penjaminan sebesar Rp 2 Milyar jumlah simpanan yang dijamin hanya meliputi sekitar 60% dari seluruh simpanan yang ada pada perbankan. Dengan kata lain, apabila seluruh simpanan yang ada pada perbankan pada saat ini berjumlah Rp 1.500 Triliun, maka sebanyak 40% diantaranya atau sekitar Rp 600 Triliun berpotensi untuk terbang ke luar negeri.

Potensi dana tersebut apabila dipindahkan separuhnya saja ke luar negeri akan dapat menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan likuiditas. Selanjutnya permasalahan likuiditas tersebut berpotensi mempunyai efek berantai kepada bank-bank lain, sehingga pada akhirnya sistem perbankan kita secara keseluruhan juga akan dapat mengalami permasalahan. Berkaca pada pengalaman krisis tahun 1997/1998, upaya menanggulangi krisis memerlukan biaya yang relatif sangat besar apabila dibandingkan dengan biaya untuk mencegahnya.

Pemberlakuan penjaminan penuh menurut beberapa pihak sebagaimana dimuat di media massa, juga akan dapat menurunkan cost of fund. Dengan penjaminan penuh, pengelola bank tidak akan terlalu “disibukkan” dengan urusan mencari dan mengelola sumber pendanaan. Nasabah penyimpan akan berapa pada posisi sama saja (indifference) untuk menempatkan dananya di Bank A atau Bank B, karena dimanapun ditempatkan semua simpanannya akan dijamin. Apalagi premi penjaminan yang dibayarkan kepada LPS menggunakan flat rate premium, di mana bank yang sehat maupun yang kurang sehat membayar tingkat premi yang sama. Dengan cost of fund yang relatif lebih rendah, beberapa pengelola bank telah menyatakan kesanggupan untuk memberikan bunga kredit lebih rendah 2% sampai 3% jika penjaminan penuh diberlakukan. Penurunan bunga kredit tersebut diharapkan dapat mendorong tumbuhnya sektor riil sehingga PHK dapat dicegah dan angka pengangguran dapat diturunkan.

Berita dibatalkannya upaya penyelamatan Bank Indover oleh Bank Indonesia oleh sementara pihak dikhawatirkan akan dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap perbankan kita. Beberapa bank di dalam negeri diberitakan mempunyai dana di Bank Indover, namun secara keseluruhan hanya 1 s.d 2 trilyun rupiah dan diperkirakan tidak akan mengganggu bank yang bersangkutan. Namun yang perlu diperhatikan adalah dampak samping dari penutupan bank tersebut dan kemungkinan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi tersebut untuk menyebarkan rumors mengenai kondisi perbankan kita. Terlebih lagi pada saat ini perbankan kita juga mendapat tekanan dari melemahnya nilai tukar rupiah.

CONS

Pandangan untuk mempertahankan penjaminan sebesar Rp 2 Milyar dan tidak mendukung pemberlakuan penjaminan penuh didasari oleh kenyataan masih stabilnya jumlah simpanan yang ada pada perbankan kita. Selain itu, beberapa pejabat menyatakan bahwa perbankan kita masih dalam kondisi sehat dan stabil yang ditunjukkan dari angka kecukupan modal (CAR) rata-rata industri, profitabilitas, dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, pada saat ini juga belum terlihat tanda yang menunjukkan perpindahan dana secara besar-besaran dari nasabah penyimpan di dalam negeri ke perbankan di luar negeri. Perpindahan dana ke luar negeri tersebut mungkin telah terjadi namun dapat berasal dari dana penjualan saham di bursa efek, redemption reksadana, pembatalan kontrak asuransi jiwa, atau dari sumber lain.

Bagi nasabah penyimpan, keputusan pemindahan dana ke luar negeri tersebut tentunya juga mempertimbangkan banyak hal bukan hanya faktor keamanan saja, misalnya memperhitungkan kemudahan bertransaksi atau tingkat hasil yang diperoleh. Sebagaimana kita ketahui, suku bunga yang ditawarkan perbankan kita masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga yang ditawarkan perbankan di negara tetangga kita. Selain itu, bagi nasabah yang menjadikan simpanannya sebagai jaminan atau fasilitas untuk mendapat kredit dari suatu bank, juga tidak akan mudah memindahkan dananya.

Berdasarkan data pada akhir bulan Agustus 2008, jumlah rekening simpanan bersaldo lebih dari Rp 2 milyar hanya sekitar 62 ribu rekening (o,o8% dari sekitar 81 juta rekening), meskipun dari segi nominal meliputi 40% dari jumlah seluruh simpanan yang ada pada perbankan. Sebagian rekening tersebut dapat diduga merupakan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan/Lembaga Negara, BUMN, BUMD, Yayasan, Koperasi, Perguruan Tinggi, atau perusahaan swasta yang seluruh kegiatan/transaksinya berada di dalam negeri sehingga diperkirakan tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke luar negeri. Apabila premis tersebut benar, potensi dana yang dapat dipindahkan ke luar negeri akan jauh dibawah proporsi 40% tersebut.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemberlakuan penjaminan penuh adalah potensi timbulnya moral hazard para bankir dan nasabah yang dalam jangka panjang akan merugikan perbankan itu sendiri. Penjaminan penuh akan lebih memberi insentif bagi pengelola/pemilik bank untuk mengambil risiko yang lebih besar. Apalagi pada saat ini LPS belum memberlakukan sistem pengenaan premi berbasis risiko masing-masing bank. Jika tindakan lebih berisiko tersebut menghasilkan keuntungan maka akan dinikmati sendiri oleh pengelola/pemilik bank, sebaliknya jika tindakan tersebut menyebabkan kebangkrutan bank maka sudah ada pihak lain yang akan menjamin. Sebagai gambaran, dalam kasus penutupan BPR beberapa tahun terakhir umumnya disebabkan oleh penyelewengan (fraud) yang dilakukan oleh pemilik/pengelola bank yang bersangkutan, hal tersebut dikhawatirkan akan makin meningkat jika penjaminan penuh diberlakukan.

Sedangkan bagi nasabah, pemberlakuan penjaminan penuh akan dapat menyebabkan mereka tidak terdorong untuk memperhatikan kondisi bank sehingga tidak menumbuhkan disiplin pasar yang merupakan unsur penting dalam mendukung tata kelola perbankan. Insentif untuk mengambil risiko yang lebih besar bagi pengelola/pemilik bank, serta keengganan nasabah penyimpan untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi bank tempat mereka menempatkan dananya, dalam jangka panjang akan dapat menyebabkan perbankan menjadi rentan terhadap permasalahan sistemik.

Baca Lanjutannya...